Keraguan dan Ilmu Pengetahuan, Bertukar Tangkap dengan Lepas

Sejarah Keraguan

Salah satu yang sangat penting di dalam perdebatan tentang ilmu pengetahuan adalah hal keraguan. Manusia adalah makhluk terbatas sehingga apapun yang berasal darinya juga penuh keterbatasan, termasuk ilmu pengetahuan. Tidak heran jika ada penolakan kuat terhadap ilmu pengetahuan manusiawi yang dianggap tidak akan pernah sampai kepada kebenaran sejati. Meski skeptisisme dimushi, skeptisisme pun seakan-akan tidak bisa dilawan karena semua bisa tenggelam di dalam keraguan. Namun, tidak semua pihak membiarkan kenyataan keraguan menggelayuti pengetahuan manusia. Seseorang harus bertindak untuk memberikan kepastian untuk ilmu pengetahuan. Orang itu adalah Rene Descartes.

Bacaan Lainnya

Skeptisisme telah ada sejak era filsafat Yunani. Salah seorang yang mewartakannya adalah Xenophanes (570 SM-480 SM) yang mengatakan bahwa kita tidak pernah dapat yakin telah sampai kepada kebenaran final dalam hal apapun. Sokrates (470 SM-399 SM) mewartakan hal yang mirip yaitu bahwa satu-satunya yang kita ketahui adalah kita tidak tahu apapun. Baik Xenophanes maupun Sokrates mewartakan keraguan. Sokrates tetap membuka peluang bagi pengetahuan sedangkan Xenophanes seakan-akan menutupnya. (Magee: 2008, 42).

Seorang bernama Pyrrho (360 SM-270 SM) yang hidup di era Aleksander Agung mewartakan secara gamblang keraguannya hingga berkesimpulan bahwa kita tidak akan pernah bisa mengasumsikan bahwa yang satu lebih benar daripada yang lain. Pyrrho yang merupakan salah seorang serdadu Aleksander Agung dan telah pernah menjelajahi berbagai negeri dan menyimak berbagai masyarakat higgga sampai pada kesimpulan itu karena dia melihat bahwa saat suatu masyarakat memercayai satu hal, maka di saat bersamaa masyarakat lain memercayai hal yang sebaliknya dengan argumennya yang masing-masing kuat. Karena itu, merisaukan mana yang benar dan mana yang salah justru sesuatu yang merisaukan. Pyrrho lalu mempunyai dua pengikut yang mensistematisasi pemikirannya. Mereka adalah Timon dan Phlius. Bagi Timon, setiap argumen dan pembuktian berangkat dari premis-premis yang belum terbukti. (Magee: 2008, 42-43).

Ratusan tahun kemudian hadir seorang bernama John Locke (1632-1704) yang mewartakan tidak adanya pengetahuan bawaan. Semua pengetahuan dilahirkan oleh indera. Indera sebagai alat untuk mengetahui penuh keterbatasan sehinga wajar jika pengetahuan yang dihasilkannya pun terbatas dan karena itu, layak diragukan. Seorang skeptis lain bernama Voltaire (1694-1778) lahir tidak lama kemudian. Dia hidup di Era Pencerahan kala ada kepercayaan besar kepada otoritas Gereja dan juga kepada negara. Menurutnya, memang menenangkan jika kehidupan disandarkan kepada sebuah otoritas, tetapi sebaiknya setiap otoritas dengan kebenaran yang disampaikannya harus ditantang dengan ilmu pengetahuan mutakhir agar pencerahan tetap terjadi dan tidak berubah menjadi kegelapan baru. (Buckingham: 2011, 146-147).

David Hume (1711-1776) yang lahir beberapa tahun kemudian juga mewartakan skeptisisme. Menurutnya, jika kita mau hidup, maka kita harus terus-menerus mengambil pilihan dan keputusan. Suka tidak suka, pilihan dan keputusan yang diambil tidak selalu lewat penilaian yang cukup karena kerbatasan waktu. (Magee: 2008, 43). Suka tidak suka kepada skeptisisme, skeptisisme tetapi dilakukan. Bukan karena skeptisisme itu benar, tetapi karena memang tidak ada pilihan lain selain membuat keputusan agar kehidupan ini berjalan meskipun keputusan tersebut meragukan.

Upaya Menolak Keraguan

Penolakan terhadap skeptisisme absolut adalah keharusan jika manusia hendak sampai kepada pengetahuan karena dengan demikian, tidak ada lagi penghalang untuk mencapai kebenaran. Namun, sekeptisisme tetap harus dijaga untuk tidak terjebak di dalam kubangan kebenaran palsu. Itu disebut skeptisisme moderat yang berarti tidak meragukan segalanya secara absolut, tetapi menyeleksi mana yang layak dianggap pengetahuan dan mana yang tidak atau yang disebut oleh Rene Descartes sebagai keraguan untuk mengatasi keraguan. (Hadi: 1994, 28)

Manusia sudah pasti mampu mengetahui banyak hal dengan akal, indra, dan hati yang dimilikiknya. Persoalannya, tidak semua pengetahuannya itu benar. Hantu kekeliruan selalu membayangi setiap pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Banyak faktor yang bisa membuat pengetahuan menjadi keliru, seperti kecurigaan, keangkuhan, kehendak diri, kelelahan, kejenuhan, keras kepala, ketergesaan, dan seterusnya. (Hadi: 1994, 34). Skeptisisme penting untuk mengatasi semua keadaan tersebut.

Descartes memanfaatkan skeptisisme untuk menghancurkan skeptisisme. Caranya, skepstisisme dibiarkan untuk meragukan segala hal hingga titik terjauhnya sampai tidak ada satupun yang bisa diragukannya lagi. Sebuah pertanyataan keraguan yang masyhur adalah: Apakah ada kepastian semua yang sedang kita alami adalah bukan mimpi? Jangan-jangan semua ini mimpi dan suatu saat kita pasti tersadar dan menyadari bahwa kita sebelumnya sedang bermimpi. Mimpi di sini bukanlah yang dimaksud mimpi kala tertidur, tetapi lebih kepada keadaan pengalaman yang bisa saja keliru karena adanya kemungkinan pengalaman lain yang lebih benar.

Pada titik di mana tidak ada lagi yang tidak diragukan, skeptisisme pun sampai pada sebuah keyakinan bahwa semuanya diragukan. Itu pasti. Lalu, keraguan itu dilakukan oleh sebuah subjek. Itu pun pasti. Terakhir, bagaimana sang subjek bisa meragukan segala hal? Itu terjadi karena dia berfikir. Itu juga pasti. Jadi, paling tidak sudah ada tiga kepastian dan keyakinan di dalam skeptisisme, yaitu keyakinan semuanya telah diragukan, keyakinan bahwa ada subjek yang sedang meragukan segala hal, dan keyakinan bahwa keraguan subjek adalah karena dia berfikir. Sejak itu, pembangunan ilmu pengetahuan bisa dilaksanakan dengan cara berfikir. Menurut, P. Hadono Hadi, berfikir di sini bukan semata-mata kerja otak, tetapi segala hal seperti melihat, mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak, dan apapun yang termasuk dalam kerangka kesadaran termasuk dalam lingkup berfikir. (Hadi: 1994, 30)

Kepastian subjek berfikir melahirkan sebuah problem yaitu keteguhan subjek dan hilangnya objek. Dampaknya adalah hilangnya pengetahuan itu sendiri karena pengetahuan berasal dari pengalaman yang meniscayakan hadirnya objek, bukan dari subjek itu sendiri. Seandainya objek tidak ada dan yang ada hanya subjek, maka pengetahuan tetap ada. Itu adalah pengandaian dari kepastian subjek berfikir ala Descartes dan bukankah itu problem yang sangat serius? Kesadaran ala Descartes adalah kesadaran tentang diri subjek sendiri, bukan tentang sesuatu di luar subjek. Pengetahuan yang benar adalah pengakuan terhadap adanya sesuatu di luar subjek yang selaras dengan subjek itu sendiri. Lalu, bagaimana pengetahuan bisa dikatakan benar jika sesuatu di luar subjek itu tidak benar-benar ada?

Problem ini bisa dipecahkan lewat sebuah cara. Kepastian subjek berfikir memberikan keyakinan yang kuat bahwa subjek berfikir itu pasti ada. Kala subjek ini melihat, maka penglihatan yang terjadi bukanlah semata-mata keinginan subjek untuk melihat sesuatu hingga melahirkan penglihatan tertentu, tetapi juga terjadi karena objek yang terlihat memaksakan dirinya untuk dilihat oleh subjek. (Hadi: 1994, 30) Jika sebuah objek mangga terlihat oleh subjek, maka subjek tidak memaksa itu manggis meskipun dirinya adalah subjek. Subjek harus menerima realitas objek. Jadi, objek memiliki eksistensinya sendiri yang tidak bisa diintervensi oleh subjek.

Berdasar kepada kepastian subjek berfikir, seharusnya apapun yang dihasilkan oleh berfikir juga menjadi kepastian. Salah satu hasil pemikiran yang unik adalah gagasan yang jelas dan terang tentang wujud yang sempurna. Tapi, bagaimana gagasan tentang wujud yang sempurna itu bisa hadir dari manusia yang sesungguhnya tidak sempurna? Bukankah sesuatu yang tidak sempurna diragukan mampu melahirkan sesuatu yang sempurna? Karena itu, gagasan tentang wujud yang sempurna pasti tidak berasal dari manusia, tetapi berasal dari selain manusia. Lalu, dari mana? Seharusnya berasal dari Sang Sempurna itu sendiri. Itulah Tuhan. (Gaarder: 2010, 374) Jadi, gagasan tentang wujud yang sempurna bukanlah bukti Tuhan itu ada, tetapi justru asal dari gagasan tentang wujud yang sempurnya itulah bukti Tuhan itu ada.

Penjelasan tentang eksistensi Tuhan yang merupakan salah satu contoh sekaligus cara kerja dalam perjalanan dari keraguan menuju kepastian terlihat sebagai perjalanan yang semata-mata rasional, bukan empiris. Contoh keraguan atas pengalaman yang bisa saja mimpi juga adalah penegasan supremasi rasio. Mimpi yang dimaksud di situ adalah pengalaman indrawi terhadap segala sesuatu yang berarti pengalaman empiris. Lebih tegasnya, pengalaman indrawi tidak lebih daripada mimpi, bukan kenyataan. Ini adalah serangan telak kepada empirisme.

Muhammad Taqi Mishbah Yazdi merisaukan skeptisisme dan menyebutnya sebagai “wabah kejiawaan”. Menurutnya, skeptsisime melahirkan nestapa spiritual dan material bagi manusia. (Yazdi: 2003, 14). Problem utama bagi skeptisisme adalah tidak adanya landasan bagi kemungkinan lahirnya pengetahuan. Jangankan pengetahuan, alat untuk mengetahui pun diragukan. Rasionalisme, empirisme, dan juga spiritualisme adalah lawan bagi skeptisisme karena ketiganya menawarkan landasan bagi pengetahuan. Memang sering terjadi ketiga landasan itu saling mengkritisi satu sama lain, tetapi sesugguhnya ketiganya sepakat sebagai lawan bagi skeptisisme.[]

Bahan Bacaan

Buckingham, Will, The Philosophy Book: Big Ideas Simply Explained, New York: DK Publishing, 2011.

Gaarder, Jostein, Sunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, Bandung: Mizan, 2010.

Hadi, P. Hardono, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Magee, Bryan, The Story of Philosophy: Kisah Tentang Filsafat, Kanisius, 2008.

Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah, Buku Daras Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *