Akidah dan Teologi Berebut Ilmiah: Catatan Ringan Perdebatan Muhammad Nuruddin vs Guru Gembul

Tulisan ini terinspirasi perdebatan antara Muhammad Nuruddin dengan Guru Gembul dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Bisakah Kesahihan Akidah Islam Dibuktikan Secara Ilmiah?”. Diskusi ini terjadi di Pusat Studi Jepang di Universitas Indonesia pada 9 Oktober 2024 secara luring tetapi sudah didaringkan oleh pelaksana pada link https://www.youtube.com/watch?v=azlzo1cMYA0.

Tulisan ini tidak bermaksud melerai atau bahkan memberikan solusi bagi kedua tokoh dalam perdebatannya. Tulisan ini hanya sekadar tumpahan keresahan penulis sebagai salah seorang yang menghadiri diskusi tersebut untuk hal yang berkaitan dengan beberapa istilah yang mengganggu, yaitu teologi, akidah, dan ilmiah yang sepertinya menjadi istilah koentji. Ketiga istilah ini perlu didudukkan dalam posisinya yang kira-kira pas agar pembicaraan tentangnya bisa lebih produktif atau sekalian berhenti sama sekali. Namun, tulisan ini barangkali tetap tergoda untuk mencoba menjawab pertanyaan yang menjadi tema diskusi di atas.

Saat yang Ada Hanya Akidah

Seperti apa akidah Islam? Permintaan bantuan jawaban mungkin bisa diajukan kepada Sabine Schmidtke yang menulis tentang kredo atau akidah dalam Al-Qur`an dalam Encyclopaedia of the Qur’an. Menurutnya, di dalam Al-Qur`an tidak ada hal disebut akidah yang ditetapkan secara jelas, namun biasanya yang disebut akidah adalah hal-hal seperti sifat-sifat Tuhan yang tergambar dalam Ayat Kursi atau QS. Al-Baqarah/2: 255 lalu juga hal-hal yang belakangan disebut Rukun Iman sebagaimana ada di dalam QS. Al-Nisa/4: 136. (Schmidtke: 2001, 480)

Fazlur Rahman menyebutkan bahwa apa yang belakangan melahirkan sepekulasi tentang adanya teori Ketuhanan dalam Al-Qur`an sesungguhnya adalah ayat-ayat yang jumlahnya sangat sedikit dan lebih kepada peneguhan eksistensi dan keagungan-Nya (jalâl) dan keindahan-Nya (jamâl). Tujuannya adalah sebagai landasan etika untuk melahirkan masyarakat yang bermoral baik dan adil. Mereka yang tidak bermoral dan tidak adil mendapatkan ancaman serius pada kehidupan di akhirat kelak. (Rahman: 2000, 116). Hal inilah yang disebutkan oleh Hassan Hanafi bahwa Al-Qur`an tidak berisi akidah dalam pengertian dogma atau kredo sebagaimana dalam Kristiani. (Hanafi: 2003, 10) Kredo dalam Kristiani dilembagakan sehingga menjadi dasar kepercayaan dan tanda identitas pribadi dan komunal dengan Kristus. (catholicworldmission.org)

Baik Rahman maupun Hanafi sepakat bahwa akidah, di dalam Al-Qur`an dan juga dalam praktik Muslim awal, bukan kerangka teoretis yang mendorong perilaku, melainkan sebuah etika (Rahman) atau ideologi (Hanafi) yang memberikan pengaruh pada kehidupan praksis. Secara eksplisit Hanafi menyebutkan bahwa akidah adalah komponen psikologis, bukan hakikat teoretis, fomulasi kebahasaan, atau fakta sejarah yang berdiri sendiri. (Hanafi: 2003, 11). Perjalanan sejarah peradaban Islam memang kemudian mengubah akidah menjadi teoretis. Sejak itulah akidah menjadi ilmu sebagai medan perdebatan para Mutakallimin dan melahirkan apa yang disebut dengan Ilmu Kalam, Ilmu Akidah, Ilmu Tauhid, dan sebagainya.

Dari Akidah ke Teologi

Pergeseran dari akidah ke teologi adalah pergeseran dari sesuatu yang awalnya ideologis dan etis berubah menjadi teoretis. Hanafi menyebutkan bahwa itu terjadi ketika fungsi akidah sebagai ideologi telah lenyap. Hanafi tidak menyebutkan penyebab lenyapnya fungsi ideologis akidah, tetapi menyebutkan gejalanya. Menurutnya, gejala itu tampak pada perdebatan teoretis tentang hal-hal teologis dalam Islam yang seperti hakikat Tuhan, jabariah dan qadariah, perbuatan baik dan buruk, dan sebagainya adalah semata-mata teoretis tanpa nilai praktis. (Hanafi: 2003, 11). Hanafi seperti ingin bertanya: apakah apabila secara teologis umat Islam benar lalu secara praksis mereka menjadi bermoral baik dan bersikap adil? Jangan-jangan malah bermoral baik dan bersikap adil berubah menjadi tidak penting karena yang penting adalah berteologi yang benar. Wajar jika Hanafi meringis.

Jika Hanafi tidak menyebutkan penyebab lenyapnya fungsi ideologis (etis) akidah dan berubah menjadi teoretis-teologis, Rahman menyebutkannya. Adalah pergolakan politik pada masa antara kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menjadi awal pemicunya sekaligus konteks sejarahnya. (Rahman: 2000, 116). Pertanyaan pertama yang diajukan sebagai tonggak sejarah lahirnya teologi teoretis dalam Islam adalah: apakah seorang Muslim masih bisa disebut Muslim setelah dia melakukan dosa besar? Apakah pertanyaan itu untuk secara praksis membuat Muslim menjadi tidak melakukan dosa besar? Bukan. Pertanyaan itu adalah pertanyaan politis untuk mensahkan pengkafiran terhadap orang-orang yang dianggap berdosa besar (dalam hal ini adalah Ali dan Muawiyah). Itu bahkan bukan pertanyaan teologis tetapi belakangan dijadikan landasan untuk membangun aliran-aliran teologis.

Kata “teoretis” yang telah beberapa kali disebutkan di atas adalah untuk membedakan antara akidah yang masih merupakan ideologi dan etika dengan akidah yang sudah ter-teori-tisasi dan menjadi teologi. Kata “logi” membuktikan bahwa memang di sana ada teori. Namun, teori yang dimaksud, pada masa awal pergeseran dari akidah ke teologi, masih sederhana karena belum melibatkan filsafat Yunani. Menurut Khaled El-Rouayheb, barulah pada abad ke-11 dan 12, lewat Al-Gazali (w. 1111) dan Fakhr Al-Din Al-Razi (w. 1210), teologi Islam memasukkan filsafat Yunani sebagai salah satu teorinya. (El-Rouayheb: 2016, 412-413).

Ilmiah Sebagai Medan Pertempuran

Apa yang disebut “ilmiah” saat ini adalah cara berfikir yang mewarnai era di abad ke-20. Adalah Bertrand Russel (1872-1970), seorang pewaris para filsuf empiris dari Inggris seperti Locke, Berkeley, Hume, dan Mill, yang kembali menegaskan bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia luar harus diturunkan dari pengalaman. Dengan cara itu, pengetahuan menusia mencapai titik kepastian. Pemikiran Russel dilanjutkan oleh sekelompok ilmuwan di Wina (Vienna Circle atau Lingkaran Wina dan mungkin suatu saat ada Istiqlal Circle) pada tahun 1920-an. Mereka kemudian dikenal dengan filsafat Positivisme Logis yang menyatakan bahwa hanya pernyataan-pernyataan yang secara empiris diverifikasi sajalah yang bermakna secara empiris, dan makna sesungguhnya dari suatu pernyataan ditampakkan oleh cara verifikasinya. (Magee: 2008, 198-199).

Lalu, apakah akidah dan teologi bisa dibuktikan secara ilmiah? Sebelum pertanyaan itu ditanggapi, mungkin pertanyaan ini lebih dahulu perlu ditanggapi: mengapa akidah dan teologi harus dibuktikan secara ilmiah? Modernitas memang memesona dengan segala kemewahan yang ditawarkannya. Karena modernitas dilahirkan oleh tradisi ilmiah, maka tradisi ilmiah pun juga tidak kalah memesonanya. Meski modernitas, tradisi ilmiah, positivisme, rasionalisme, hingga empirisme sudah mendapatkan kritik yang tajam (baik oleh pelakunya sendiri [Barat] maupun mereka yang semata-mata dengki terhadapnya [Islam]), sesuatu tetap dianggap memiliki nilai lebih jika dia ilmiah dibanding jika tidak. Barangkali karena itu, akidah dan teologi pun harus ilmiah. Jika tidak, tidak keren.

Terlepas dari harus atau tidak, akidah dan teologi memiliki posisi berbeda di hadapan tradisi ilmiah. Akidah Islam, dalam catatan Al-Qur`an, sama sekali tidak memiliki tempat di hadapan tradisi ilmiah dan akidah memang tidak membutuhkan tradisi ilmiah untuk membuktikan diri. Sebagai ideologi dan etika, akidah hanya memerlukan praksis sebagai bukti dia ada. Ungkapan yang mungkin lebih baik dalam hal ini adalah bahwa akidah tidak relevan dengan tradisi ilmiah. Menurut Daniel Bell, ideologi adalah sistem kepercayaan yang berorientasi pada tindakan. (Sypnowich: plato.sanford.edu)

Teologi Islam berbeda. Dengan adanya kata “logi”, teologi memang berada di wilayah diskursif dan karena itu, berada di wilayah “bisa didiskusikan”. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa teologi Islam pada awalnya hadir untuk menegaskan identitas sebuah aliran dan menunjukkan kelemahan identitas alirannya dalam satu lingkup agama yang sama. Permusuhan Syiah, Khawarij, Murjiah, dan lain-lain bisa dipahami di sini. Jika perlu, dalam sebuah polemik dan diskusi yang saling membunuh. Belakangan, teologi Islam juga disusun untuk menegaskan dirinya di hadapan agama yang berbeda atau debat teologi. Sisi misionaris Islam cukup terlihat jelas di sini. Kata lain untuk itu adalah sisi dakwah atau irsyadi.

Sebuah buku karya Franz Magnis-Suseno yang berjudul Menalar Tuhan (2006) adalah karya yang sangat jelas hendak membangun perdebatan terbuka terhadap semua pihak yang menolak eksistensi Tuhan. Karya ini tidak sedang berbicara tentang agama, tetapi tentang Tuhan lewat upaya bernalar yang bisa dipakai oleh semua orang dan semua agama. Meski karya ini ditulis dalam rangka untuk menolak semua pemikiran yang menolak Tuhan, karya ini tetap tidak ingin dianggap sedang “membuktikan” adanya Tuhan, tetapi lebih kepada menunjukkan bahwa dengan nalar paling mutakhir di zaman ini, manusia tetap bisa bertuhan tanpa harus meninggalkan intelektualitasnya. Magnis-Suseno tidak sedang berbicara pada tataran akidah atau kredo, tetapi pada tataran teologi. Klaim ilmiah tidak tampak dalam karya ini. Yang ada hanya klaim filosofis.

Jika teologi Islam dianggap layak dibawa ke dalam arena perdebatan ilmiah dan hendak disebut ilmiah, maka “ilmiah” yang dimaksud pasti bukan dalam definisi yang dibawa oleh positivisme logis yang memang barakar pada tradisi empirisme-rasionalisme. Teologi Islam pasti tidak berbasis empiris meskipun masih sangat mungkin rasional. Cukupkah rasionalisme tanpa empirisme disebut ilmiah? Jika definisi positivisme logis Lingkara Wina yang dipakai, pasti tidak cukup. Cukupkah hanya dengan rasionalisme sebuah perdebatan teologis bisa dilakukan? Cukup. Silakan berdebat, tanpa harus memaksa itu ilmiah, kecuali diawali dengan memberi definisi baru tentang apa itu ilmiah. Ya, Lingkaran Istiqlal barangkali mau menawarkan definisi baru.[]

 

Bahan Bacaan

Catholic World Mission, “What Is the Nicene Creed and Why Is It Important?”, dalam https://catholicworldmission.org/what-is-the-nicene-creed/. Diakses pada 13 Oktober 2024

El-Rouayheb, Khaled, Theology and Logic, dalam Sabine Schmidtke (ed.), The Oxford Handbook of Islamic Theology, Oxford: Oxford University Press, 2016.

Hanafi, Hassan, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Islam Lama, Jakarta: Paramadina, 2003.

Magee, Bryan, The Story of Philosophy: Kisah Tentang Filsafat, Kanisius, 2008.

Magnis-Suseno, Franz, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 2000.

Schmidtke, Sabine, “Creed”, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden: Brill, 2001.

Sypnowich, Christine, “Law and Ideology”, dalam https://plato.stanford.edu/entries/law-ideology/. Diakses pada 14 Oktober 2024.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *