Teori Embodied text atau ‘teks yang menubuh’ yang digagas oleh Rudolph T Ware (1974-sekarang), sarjanawan muslim antropolog afrika nampaknya dimaksudkan sebagai sesuatu yang menunjukan makna teks, khususnya transmisi teks yang menubuh pada diri seseorang, tetapi posisi nya berada diluar dari teks itu sendiri. Artinya makna teks itu tidak sebatas pengetahuan-pengetahuan yang lahir dibalik teks itu saja, melainkan juga bagaimana cara seseorang dalam merefleksikan teks tersebut, mentransmisikan ataupun bahkan mempraktikannya dalam beragam cara.
Dalam tulisannya Rudolph, ia menjelaskan secara panjang lebar bagaimana pengetahuan-pengetahuan islam itu menyebar tidak hanya lewat tafsir-tafsir semata, tetapi juga melalui beragam praktik keagamaan dan tubuh manusia.. Di sekolah tahfidz al-Quran afrika barat, suatu tempat yang menjadi obyek penelitiannya, ia menemukan setidaknya beberapa fenomena unik, terutama bagaimana murid-murid disana -secara sadar maupun tidak sadar- menginternalisasikan pengetahuan al-Quran kedalam tubuhnya(Rudolph T Ware, 2014).
Embodied text inilah yang kemudian menjadi basis dalam memahami studi ‘living quran’ yang kerap mulai marak dilakukan oleh berbagai mahasiswa PTKIN hari ini. living quran sendiri merupakan sebuah studi yang dapat dikatakan baru dan segar, khususnya bagi akademisi tafsir atau studi quran. Dan oleh karenanya memahami dasar-dasar berpikirnya adalah suatu keharusan mengingat secara episteme ia belum mendapatkan dasar pijakan yang mumpuni (A. Rafiq, 2021) Sebagian orang bahkan masih meyakini bahwa studi ini diperuntukan untuk memahami beberapa ritual-ritual keislaman, sehingga ketika kita mendapati praktik-praktik seperti syawalan, tahlil, grebeg atau mocopat maka menganalisa tradisi tersebut dengan pendekatan living quran adalah pilihan yang cukup tepat dan layak (recomended),tapi apakah benar begitu ?
Nampak ada semacam potret simplifikasi (penyederhanaan) dan generalisasi secara berlebihan dalam penerapan teori ini di lapangan studi al-Quran Indonesia. Inilah setidaknya yang dipaparkan A. Rafiq didalam seminar yang ia hadiri pada kamis lalu (10/23) di Gedung Convention Hall, UIN Sunan Kalijaga. Rafiq bahkan menimpali bahwa, jangan semena-mena karena menemukan tradisi lantas terus bisa kita cocokan dengan teori-teori living begitu saja, hal yang paling dikhawatirkan adalah dikemudian penelitian-penelitian semacam ini dikemudian menjadi template tersendiri, dimana mahasiswa hanya sekedar mengganti ‘kasus’ saja dari teori yang begitu-begitu saja. Dan tak ayal, dalam tahap tertentu justru malah cenderung mengarah kepada penelitian kuantitatif (sebagaimana umumnya mahasiswa-mahasiswa non tafsir) alih-alih kualitatif.
Jika sudah demikian, kita mungkin perlu merenungkan urgensi memahami ‘embodied text’ hari ini. Fenomena embodied knowledge atau embodied text ini juga dapat kita temukan dibeberapa tulisan-tulisan para sarjanawan antropolog lain, khususnya mereka yang telah meneliti beberapa fenomenologi al-Quran, seperti misalnya Neil Robinson dalam tulisannya Discovering The Quran (2003), kemudian Natalia K Suit dalam Qur’anic Matters_ Material Mediations and Religious Practice in Egypt-Bloomsbury Academic (2020) dan Samuli Schielke dalam Ordinary Lives and Grand Schemes; An Anthropology of Everyday Religion.
Neil Robinson (1948-sekarang) dalam tulisannya Discovering The Quran , menjelaskan secara panjang lebar bahwa unsur “bunyi” didalam al-Quran itu juga ada kemungkinan mempengaruhi makna ayat, dalam artian terutama ketika bagaimana cara kita meresapi pesan-pesan dari ayat-ayat-Nya itu. Robinson mengaitkan ini dengan kasus pembacaan kita terhadap QS al-alaq 1-5, dimana didalam ayat pertama dari surat tersebut begitupun ayat keduanya, secara fonologi itu memiliki kemiripan sama-sama berakhiran huruf qaf, dimana qaf dalam pelafalan itu menandakan ketegasan pengucapan .sedangkan ayat ke 4 begitupun ayat ke 5, itu memiliki kemiripan sama-sama berakhiran huruf lam, dimana lam dalam pelafalan itu menandakan kelembutan dan kasih sayang. Semua keindahan pelafalan-pelafalan ini kata Robinson memberikan sumbangsih tersendiri pada makna, karena ayat 1 dan ayat 2 itu berbicara tentang ketegasan Allah sebagai pencipta manusia, sedangkan ayat ke 4 dan 5 itu berbicara tentang kasih sayang Tuhan.(Neal Robinson, 2003)
Sedangkan Natalia K Suit berbicara lain lagi, bagi Natalia, makna itu tidak hanya yang ada didalam al-Quran, melainkan aspek-aspek fisik dari mushaf al-Quran juga berbicara tentang makna. Aspek-aspek luar itu termasuk didalamnya bentuk cover, jenis kertas,sampai jenis kaligrafi yang digunakan, natalia menyebut semua aspek ini dengan obyek material. (Natalia K Suit, 2020)
Natalia melakukan penelitian yang cukup komprehensif terkait obyek material al-Quran ini di salah satu kota yang paling berpengaruh di Islam, yakni Kairo, Mesir. Pada akhirnya, Natalia menemukan bahwa orang-orang Kairo memiliki refleksi, sikap ,perilaku dan pemaknaan tersendiri terhadap segala bentuk obyek material al-Quran tersebut. Lalu pada akhirnya semua respon masyarakat tersebut mewujud menjadi sebuah pengetahuan sendiri tentang al-Quran.
Demikianlah sekilas potret bagaimana ‘embodied text’ atau ‘embodied knowledge’ menjadi pilihan yang cukup mendasar daripada penelitan-penelitan yang berbasis pada studi living quran. Catatan-catatan ini pun penulis sari kan dari sekian banyak pertemuan kuliah daripada penulis kepada salah satu pakar living quran di Indonesia, yakni Ahmad Rofiq, P.h.D. di UIN Sunan Kalijaga. Mudah-mudah dapat menjadi tambahan wawasan bagi pembaca, khususnya bagi mereka yang berminat pada studi ini.
Ahmad Rafiq, al-Quran yang Hidup: Teks dan Praktiknya dalam Fungsi-Fungsi Kitab Suci ,Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Quran dan Hadits, Vol 22, No.2 Juli 2021
Rudolph T Ware III, The Walking Quran; Islamic Education, Embodied Knowledge and History in West Africa . North Carolina: The University of North Carolina Press, 2014
Neal Robinson, Discovering The Quran; A Contemporary Approach to A Veiled Text, London: SCM Press, 2003
Natalia K Suit, Quranic Matters ; Material Mediations and Religious Practice in Egypt . Blomsbury Academic, 2020