Tafsir Bayani
Bahasa Arab adalah bahasa resmi Al-Qur’an yang memiliki keunikan di antaranya jumlah kosa kata, bentuk hakiki dan metaforanya, susunan dan gramatikanya. Selain itu, masyarakat Arab sebagai pengguna awal Bahasa Arab adalah yang fasih serta mahir dalam mengekspresikan bahasa, peka serta mendalam jangakauan pengetahuannya tentang susunan Bahasa Arab sehingga pesan-pesan dalam Al-Qur’an bisa dipahami dengan mudah (Shihab, 2024: x).
Seiring berjalannya waktu, kepekaan rasa bahasa masyarakat Arab telah berkurang sehingga disusunlah sebuah ilmu yang meluruskan kesalahan dan mengembalikan kepekaan Bahasa dengan tujuan memahami kandungan pesan-pesan Al-Qur’an serta ketelitian, ketetapan makna, dan keindahan bahasanya, yakni Ilmu Bayân. Sebuah ilmu yang memiliki kaitan antara susunan kata dan konteks penyampaian dengan menggunakan kata sesuai makna hakiki, metafora, perumpamaan, atau kinâyah (Shihab, 2024: xi).
Kata bayana ((ب-ي-ن mengandung makna jauhnya dan tersingkapnya sesuatu (Faris, 327, Jilid I). Bayân berarti menjelaskan sesuatu yang tidak jelas serta membukanya sehingga tampak apa yang tidak jelas atau tidak terlihat (Shihab, 2024: xiii). Adapun bayân dalam konteks tafsir bayani merupakan upaya menjelaskan makna-makna kosakata serta susunannya yang terangkai oleh ayat sehingga menjadi jelas sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt.,(Wijaya, 2024).
Tafsir bayani yang dimaksud berbeda dengan Ilmu Bayan dalam arti analisis ini tidak sepenuhnya sama dengan Ilmu Bayan. Hal ini sejalan dengan tujuan utama penafsiran yang menggunakan analisis bayani yang tidak sepenuhnya sama dengan disiplin Ilmu Bayan yang tujuannya mengantar pembicara menyampaikan pesannya dengan cara dan gaya bahasan tertentu sehingga terdengar indah susunannya dan jelas maksudnya (Shihab, 2024: xiii).
Sementara tujuan tafsir bayani sebagaimana penjelasan sebelumnya meletakkan penafsiran untuk berfokus pada dua hal yang secara linguistik mendasar yakni muatan kosakata serta perbedaan-perbedaan susunannya dengan kalimat yang lain yang sekilas diduga sama (Shihab, 2024: xiv). Dari sekian karya tafsir bayani, metode tafsir yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab ini lebih dekat dengan tafsir bayani Aisyah Abdurrahman, perbedaannya Aisyah Abdurrahman atau Bintu Syati’ menggunakan metode tafsir sastra suaminya, Amin Al-Khuli (Ramadhani, 2018: 265).
Adapun metode penyajian tafsir bayani Quraish Shihab (1) menjelaskan secara singkat keutamaan surah, (2) menjelaskan secara rinci tiap huruf atau kata yang terkandung dalam ayat meliputi makna asal dan makna perkembangannya, (3) sesekali menampilkan pendapat ulama untuk memperkuat penjelasan suatu kata, (4) terkadang memperkuat penjelasan dengan pencantuman hadis (Shihab, 2024: 21-285).
Analisis Tafsir Bayani terhadap QS. Al-Taubah (9): 128
- Quraish Shihab dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad di Pusat Studi Qur’an mengatakan bahwa semua uraian yang berbicara tentang Nabi Muhammad saw. belum sempurna karena kunci kepribadian Rasulullah dianalogikan seperti kunci yang membuka sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat ruangan lagi dalam arti lain kunci kepribadian Rasulullah tidak dapat ditetapkan sehingga benarlah perkataan bahwa kepribadian Rasulullah adalah al-Qur’an (Muslim, 1917, Jilid II: 168).
Dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang Rasulullah, QS. Al-Taubah (9): 128 adalah salah satunya:
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Sebagaimana yang diuraikan oleh Fakhruddin Al-Razi bahwa Allah Swt., melalui ayat ini menyifati Rasulullah dengan lima jenis sifat yakni min anfusikum, ‘azîzun, ḥariṣun, raufun, dan rahîmun (Al-Razi, 177-178, Jilid xvi, 1999). Penyebutan sifat-sifat ini berhubungan dengan beban berat dan kesulitan yang digambarkan telah dialami dan diuraikan dalam surah ini salah satunya adalah saat Perang Tabuk terjadi. Ayat ini seakan-akan berkata bahwa sebenarnya hati Rasulullah lebih dahulu teriris-iris melihat kesulitan dan penderitaan yang dialami umatnya (Shihab, Jilid 5: 300).
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ Lam (ل) dalam ayat ini digunakan untuk bersumpah agar mitra bicara menjadi yakin sedangkan qad al-taḥqîq yang bergandengan dengan fi’il mâḍi menguatkan kata kerja setelahnya yakni جاء. Kata جاء digunakan untuk sesuatu yang agung, dahsyat, dan paling baik. Berbeda dengan kata أتى yang juga berarti datang, namun digunakan sesuatu yang ringan sebagaimana penggunaannya dalam QS. Al-Gâsyiah (88): 1 (Shihab, 28/9/2024).
Sehingga dapat dipahami bahwa, “Sesungguhnya telah mendatangimu rasul,” kalimat ini memberi kesan bahwa Rasulullah datang atas kemauannya sendiri. Namun karena fa’il-nya adalah رسول yang memiliki akar ر-س-ل maka memberi kesan bahwa kedatangan Rasulullah sebagai utusan Allah Swt., Gabungan kata ini akhirnya memberi kesan baru bahwa Rasulullah tercipta dengan potensi keimanan yang menjadikannya sangat wajar menjadi utusan-Nya (Shihab, Jilid v, 301).
Saat Rasulullah menerima wahyu, beliau tampil tanpa harus didorong-dorong tetapi otomatis terdorong oleh jiwa dan potensi yang besar dalam diri beliau. Potensi demikianlah yang membuatnya bersungguh-sungguh, senang dan bahagia dalam berdakwah sehingga terkesan bahwa Nabi datang atas kemauannya sendiri (Shihab, Jilid v, 301).
مِّنْ اَنْفُسِكُمْ “dari dirimu,” ن-ف-س dengan segala bentuk derivasinya terulang sebanyak 313 kali dalam Al-Qur’an dan sebanyak 72 kali disebut di dalam bentuk نفس nafs yang berdiri sendiri. Ayat-ayat yang menyebut kata nafs dan anfus menunjukkan arti yang bermacam-macam termasuk dalam ayat ini yang berarti “dari kalanganmu sendiri,” pada ayat lain kata nasf juga berarti jiwa, nafsu, ruh, totalitas manusia, atau diri Tuhan (Shihab, dkk, 2007: 691-692).
Berdasarkan keterangan sebelumnya, maka jelaslah bahwa Rasulullah adalah sejiwa dengan mitra bicaranya, diperkuat juga dengan kata ṣâḥibukum dalam QS. Al-Takwir (81): 22. Namun, ulama berbeda pendapat tentang mitra bicara yang dimaksud pada kata ini, ada yang menyatakan hanya ‘Suku Quraish’ ada pula yang menduga ‘orang-orang Arab’. Berbeda dengan M. Quraish Shihab yang mengartikannya sebagai ‘seluruh manusia’ (Shihab, 28/9/2024).
عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ, kata azîzun terambil dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain dan zai, yang maknanya kekukuhan, kekuatan, dan kamantapan. Maknanya kemudian berkembang sesuai dengan konteks serta dasar muḍari-nya. Ya’uzzu berarti mengalahkan, ya’izzu berarti tidak ada samanya, ya’azzu menguatkan sehingga tidak dapat dibendung. Adapun al-‘azîz berarti angkuh, tidak terbendung, kasar, keras, dukungan, semangat, dan membangkang yang terulang sebanyak 99 kali di dalam Al-Qur’an (Shihab, dkk, 2007: 691-692).
Jika kata azîz disusul dengan huruf jar على maka bermakna “berat hati lagi susah,” sebagaimana yang dimaksud oleh ayat ini. Adapun kata عنتم berasal dari kata عنة yang berarti kesulitan atau sesuatu yang mirip dengan itu dan tidak menunjukkan hal yang baik atau kemudahan. Selaras dengan Al-Zajjaj yang mengartikannya sebagai kesulitan yang sangat berat (Faris, 150, Jilid ix). Dalam ayat ini digunakan fi’il mâḍi yang disertai dengan mâ yang mengubah kata kerja menjadi kata jadian sehingga berarti penderitaan (Shihab, Jilid v, 302).
Alasan tidak digunakannya kata jadian sejak semula untuk mengisyaratkan penderitaan yang selama ini telah mereka alami. Penyebutan hal ini dikarenakan ayat di atas bertujuan menjelaskan bahwa penderitaan tersebut Nabi ketahui tapi itu semua demi kebaikan mereka (Shihab, Jilid v, 302). حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ, ḥarîsun berasal dari kata حرس bersama dengan derivasinya terulang sebanyak lima kali di dalam Al-Qur’an (Shihab, dkk, 2007: 292).
Ḥarîsun mengandung dua makna pokok yakni membelah dan keinginan yang amat besar terhadap sesuatu (Faris, 40, jilid ii). Dari semua lima kata yang disebutkan di Al-Qur’an, semua bentuk berkisar pada makna yang kedua (Shihab, dkk, 2007: 293). Berbeda dengan kata أراد yang menunjukkan keinginan yang tidak sekuat saat menggunakan kata حرص. Hal ini menujukkan bahwa Rasulullah sangat menginginkan dengan kuat kebaikan untuk umatnya. Kebaikan yang dimaksud dijelaskan pada QS. Al-Imrân (163): 165.
بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ, raûf tersusun dari kata râ, hamzah, dan fâ yang bermakna kelemahlembutan (Shihab, dkk, 2007: 292). Kata ini menggambarkan rasa belas kasih yang lebih halus dan dalam dibanding dengan rahmat (Faris, 471, jilid ii). Selain itu ra’fah menggambarkan melimpah ruahnya anugrah karena pelaku yang amat kasih sedangkan kata rahîm menggambarkan pemberian kasih sayang berdasarkan kebutuhan (Shihab, Jilid v, 303). Maka itu, seseorang yang dapat mengasihi melebihi dari yang dibutuhkan oleh orang yang dikasihi disebut ra’ûfun sebagaimana Rasulullah.
Relevansi QS. Al-Taubah (9): 128 dalam Peringatan Maulid Nabi
Ayat di atas memperkenalkan sebagian kepribadian Rasulullah yang merupakan utusan yang sejiwa dengan kita, merasakan penderitaan umatnya, sangat menginginkan kebaikan untuk kita, serta amat besar kasih sayangnya. Masih banyak ayat lain yang berbicara tentang keagungan Rasulullah. Namun, sebanyak apapun uraian tersebut, masih belum bisa mewakili kepribadian beliau dengan sempurna (Shihab, 28/9/2024).
Dengan demikian Rasulullah telah sangat berjasa bukan hanya pada orang-orang Muslim tetapi juga non-Muslim maka sudah sepatutnya kita berterima kasih meskipun Rasulullah tidak meminta imbalan kecuali al-mawaddata fi al-qurbâ ‘mencintai keluarganya’ sebagaiamana dalam QS. Asy-Syura (22): 24. Keluarga yang dimaksud menurut M. Quraish Shihab adalah semuanya yang dekat kepada beliau termasuk umatnya secara keseluruhan (Shihab, 28/9/2024)..
Berangkat dari kecintaan terhadap keluarga Rasulullah yang dipahami dalam arti luas, kita belajar untuk peduli, menghargai, dan melindungi setiap insan. Dengan menanamkan cinta antarsesama dapat memperkuat ikatan kemanusia yang universal menjadikan kasih sayang sebagai dasar hubungan manusia dan membawa kebaikan bagi seluruh umat. Maka sudah semestinya kita merayakan maulid Nabi Muhammad saw. dengan cara-cara yang demikian.
Daftar Rujukan
Al-Hajjaj, Abu Al-Husain Muslim, Al-Jâmi’ Al-Shahîh, Turki: Dâr al-Ṭiba’ah al-Âmirah, 1916.
Al-Razi, Abû Abd Allah Muhammad, Mafâtiḥ Al-Gaib, Beirut: Dâr Iḥya Al-Turâṣ Al-Arâbi, 1999.
Fâris, Ahmad ibn. Mu’jâm Maqâyîs Al-Lugah, Beirut: Dâr Al-Fikr, 1979.
Ramadhani, Wali. “Bintu Syâṭi dan Penafsirannya terhadap Surah Al-‘Aṣr dalam Kitab Tafsir At-Tafsîr Al-Bayânî Lil Qur’anil Karîm,” Jurnal At-Tibyan, Vol. 3, No. 2, 2018.
Shihab, M. Quraish dalam Perayaan Maulid Nabi di Pusat Studi Al-Qur’an.
______, M. Quraish. & dkk, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2007.
______, M. Quraish. Tafsir AL-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2021.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur’an, Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2024.
Wijaya, Aksin. “Tafsir Bayâni; Paradigma Bahasa dalam Kosakata al-Qur’an (Review Karya M. Quraish Shihab),” diakses dari Tafsir Bayāni; Paradigma Bahasa dalam Kosakata al-Qur’an (Review Karya M. Quraish Shihab) – Pesantren.ID