Analisis Linguistik terhadap Keterbukaan Makna dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an tidak turun dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan turun di dalam masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan religius. Di  kawasan-kawasan Timur Tengah, ketika itu sudah ada tiga kekuatan yang cukup berpengaruh yaitu; agama Kristen Romawi yang berpengaruh di sepanjang Laut Merah.

Agama Zoroaster di Persia yang berpusat di Ctesiphon di Mesopotamia berpengaruh luas di sebelah timur jazirah Arab sampai di pesisir pantai Yaman dan kerajaan-kerajaan kecil di Arabia Selatan dengan kekhasan peradabannya, terkadang muncul menjadi kerajaan yang intensif, seperti kerajaan Himyar pada abad ke-6. (Marshall G.S. Hodgston, 1977: 139).

Bacaan Lainnya

Makkah saat itu sudah memegang peranan penting ketika terjadi migrasi dari berbagai kabilah, termasuk dari kabilah asing. Perkawinan antara kelompok suku Quraisy dengan anggota migran dari luar sulit dihindari kemudian terjadilah percampuran etnik, seperti etnik Yahudi, Kristen kalbi, Taghlibi, Tamimi, dan Quraisy. (M.J. Kister, 1990: 330).

Bahasa-bahasa di kawasan jazirah Arab dikategorikan sebagai keluarga bahasa Semit (Semit linguistik families). Keluarga bahasa Semit mempunyai persamaan ciri sebagai satu rumpun keluarga bahasa. Paling menonjol seperti apa yang disebut Al-Faruqi sebagai tiga serangkai (triliterality) yaitu akar kata pada setiap kosakata terdiri atas tiga konsonan.

Bahasa semit juga mempunyai banyak persamaan dalam fonetik dan tata-bahasa (grammar/nahwu), sintaksis, stail, dan kesusastraan. Kelompok bahasa Semit terkenal dengan kekayaan perbendaharaan kata dan ketepatan penggunaannya. (Ismail Razi Al Faruqi & Louis Lamya, 1986: 29).

Penemuan-penemuan arkeologis menunjukkan bahwa bahasa-bahasa yang pernah ada di kawasan ini masih tergolong sebagai satu keluarga demografis (one demographic family) sebagaimana diketahui penghuni kawasan jazirah Arab adalah penduduk yang mudah berpindah-pindah tempat (mobile).

Dengan demikian secara geografis dan demografis kawasan ini merupakan suatu rangkaian kesatuan, baik yang berada di dataran subur maupun yang berada di gurun sahara. Proses dan arus perpindahan bahasa-bahasa kawasan Utara ke kawasan Selatan berlangsung semenjak tahun 3000-1800 SM, terutama mengikuti mobilitas orang-orang Akkadia dan Amorit. (Ismail Razi Al Faruqi & Louis Lamya, 1986: 23).

Bahasa Semit di kawasan jazirah Arab dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Pertama, Separuh wilayah bagian Utara, meliputi: 1) Timur: Bahasa Akkadia atau Babilonia dan Asiria; 2) Utara: Bahasa Aramaik dengan beberapa cabangnya di timur seperti bahasa Syria, Madain, Nabaten. Beberapa cabang lainnya di barat seperti bahasa Samaritan, Yahudi, Aramaik, dan Palmira; 3) Barat: Bahasa Polinesia, Yahudi Injil (Biblical Hebrew), beberapa dialek Canaan lainnya.

Kedua, Separuh wilayah bagian Selatan, meliputi: 1) Utara: Bahasa Arab; 2) Selatan: Bahasa Sabak atau Himyar dengan berbagai cabangnya yang terdiri atas bahasa Minaea, Mahri dan dialek Hakili dan Geez atau Habsyah (Ethiopia) dengan pelbagai cabang bahasa Tigree, Amharik dan Harari. (Ismail Razi Al Faruqi & Louis Lamya, 1986: 23).

Sebagian besar bahasa-bahasa tersebut di atas tidak ditemukan lagi kecuali bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’an, Kitab Suci agama Islam yang dianut mayoritas penduduk jazirah Arab. Kini bahasa Arab merupakan bahasa ibu (vernacular language) untuk sekitar 15 juta jiwa di dalam 20 negara yang tergabung dalam liga Arab di Asia Barat dan Afrika Utara.

Bahkan bahasa Arab berpengaruh luas pada bahasa Persi, Turki, Urdu, Melayu, Husa, dan Sawahili. Bahasa Arab adalah bahasa untuk satu miliar umat Islam, bahasa kebudayaan Islam yang diajarkan pada ribuan sekolah di luar dunia Arab, termasuk Indonesia dan kantong-kantong umat Islam di Asia tenggara.

Dominannya bahasa Arab di kawasan ini terutama setelah Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk “Al-Qur’an yang berbahasa Arab” Qur’aanan ‘Arabiyyan (Qs. Al-Zukhruf/43: 3), atau “dalam cita rasa Arab” Lisanan ‘Arabiyyan (Qs. Al-Ahqaf/46: 12). Seperti diketahui bahwa bentuk lahir Al-Qur’an ialah berbahasa Arab karena itu kedudukan bahasa Arab menjadi penting.

Bahasa Arab dimuliakan di dalam Islam bukan karena sebagai bahasa kultural atau bahasa ilmiah, sebab dalam hal ini bahasa Persi dan bahasa-bahasa lainnya juga memegang peranan penting.

Bahasa Arab dianggap suci karena menjadi bagian integral dari Al-Qur’an, yang bunyi dan pengucapannya memegang peranan penting dalam ritus Islam. Ibadah salat misalnya, semua bacaan-bacaan di dalamnya berbahasa Arab.

Untuk memahami peranan bahasa Arab di dalam Islam, Sayyed Hossein Nasr membandingkannya dengan berbagai tradisi keagamaan. Secara umum ada dua tradisi keagamaan, pertama yang didasarkan kepada pribadi penyebarnya yang dianggap inkarnasi Tuhan yang di dalam Hinduisme disebut ‘avatara’, sehingga penyebar agama ini dipandang sebagai kalam-Nya. Sang penyebar agama disamakan dengan bentuk lahir dari kalam tersebut.

Dalam tradisi buddhisme, Budha adalah avatara atau inkarnasi. Teks Budha awal tertulis di dalam bahasa Sanskrit, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Tamil, Pali, Cina, Jepang dan sebagainya. Seseorang dapat menjadi budhis yang baik tanpa perlu menguasai bahasa Sanskrit. (Sayyed Hossein Nasr, 1972: 45).

Dalam masa awal kedatangan Islam, masih dapat dijumpai sejumlah bahasa yang cukup dominan di kawasan ini. Rahasia penunjukkan Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris pribadi Nabi, karena Zaid mempunyai kemampuan bahasa di atas rata-rata sahabat Nabi. Zaid menguasai 5 bahasa besar di samping bahasa Arab di kawasan Timur Tengah ketika itu yaitu bahasa Suryani, Persi, Habasyah, Qibthi, dan Romawi. (Abdul ‘Aziz Kamil, 1975: 43).

Al-Qur’an sendiri mengintrodusir beberapa kata non-Arab di dalamnya, seperti: Al-Thaiir (Suryani) berarti gunung; Thafiqa (Romawi) berarti maksud; Al-Qisth/al-Qisthas (Persia) berarti adil; Innaa hudnaa ilaika (Ibrani) berarti batang (tibna’); Al-Sijjil (Persia) berarti kitab; Al-Raqam (Romawi) berarti papan tulis; Al-Muhl (Marocco) berarti minyak keruh; Al-Sundus (India Tengah) berarti hamba/budak; Al-Istibraq (Persia) berarti menyalahkan; Al-Sirriy (Yunani) berarti sungai kecil; Yusahhara (Marocco) berarti masak atau matang; Al-Misykat (Habasyah) berarti cermin; Al-Dariyy (Habasyah) berarti lewat. (Muhammad ibn Abdillah al-Zarkasiy, 1988: 360).

Di samping bahasa asing (‘ajamiy), menurut Subhi Shalih, bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an tidak monoton, tetapi mengintrodusir beberapa corak, seperti Quraisy, Huzail, Tamim, Azd, Rabi’ah, Hawazin. (Subhi Shalih, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, 105). Logat Quraisy dinyatakan paling utama, sehingga ketika Utsman melakukan unifikasi dan kodifikasi, jika terdapat perselisihan dalam suatu naskah maka yang dimenangkan ialah logat Quraisy.

Jumhur ulama sependapat bahwa Al-Qur’an bukan perkataan Nabi atau Jibril. Beberapa ayat yang mendukung pernyataan ini antara lain; Qs. al-Naml /27:6, Qs. Yunus/10:15, dan Qs. Al-Haqqah/69:44-47. Bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an bukanlah redaksi Nabi Muhammad atau Jibril, melainkan Jibril menerima wahyu Al-Qur’an dalam bentuk makna dan lafaz yang berbahasa Arab (Qs. Al-Isra/42:7 dan Qs. Yusuf/12: 2).

Keterbukaan bahasa Al-Qur’an adalah salah satu keajaiban yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an adalah kitab suci yang universal dan relevan untuk semua zaman dan tempat. Dengan memahami keterbukaan bahasa Al-Qur’an, kita dapat lebih dekat dengan maksud kalam-Nya dan menjangkaunya dalam realitas sebagai manusia yang berupaya membawanya dalam ruang-ruang dimensional yang menjadi bagian dari kemanusiaan itu sendiri.

Daftar Referensi

Marshall G.S. Hodgston, The Venture of Islam, Councience and History in A World Civilization, The Clasical Age of Islam. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1977.

M.J. Kister, On The Wife on The Goldsmith of Fadak and Her Progeny: A Study in Jahili Genealogical Tradition dalam Society and Religion from Jahiliyya to Islam, Vermont USA: Gower Publishing Company, 1990.

Ismail Razi Al Faruqi & Louis Lamya’, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan Publishing Company, 1986.

Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, London: Goerge Allin & Unwin Ltd, 1972.

Abdul ‘Aziz Kamil, Al-Islam al-Mustaqbal, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1975.

Muhammad ibn Abdillah al-Zarkasiy, al-Burhan fi ‘ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *