Suku Bugis memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan perkembangan Islam di Nusantara mencakup dalam bidang dakwah dan penyebaran agama. Salah satu cara dalam menyiarkan agama Islam yakni melalui tradisi literasi tafsir Al-Qur’an. Budaya literasi di kalangan ulama Suku Bugis dalam penulisan teks agama, mencakup usaha untuk memahami dan mengajarkan Al-Qur’an dalam konteks budaya lokal.
Sejak masuknya Islam di Sulawesi Selatan, ulama dan cendekiawan Bugis memainkan peran penting dalam merumuskan tafsir yang bisa diakses langsung oleh masyarakat setempat. Tidak hanya memahami teks-teks Islam dari dunia Arab tapi juga menyusun karya tafsir yang menyelaraskan ajaran Al-Qur’an dengan kearifan lokal. Salah satu ulama tersebut yakni Anregurutta Abduh Pabbaja, perannya turut memberikan kontribusi penting terhadap eksistensi literatur Islam Nusantara.
Dengan memberikan perhatian terhadap tafsir lokal, sekaligus melestarikan karya intelektual lokal yang mendeskripsikan bagaimana Islam dipahami dan diinterpretasikan dalam konteks budaya lokal. Selain itu, keberadaan tafsir lokal memiliki tantangannya tersendiri dalam menghadapi modernitas. Oleh karena itu, kajian terhadap tafsir lokal diharap dapat menjembatani usaha untuk menelusuri relevansi perubahan sosial keagamaan dan tafsir berbahasa Bugis di masa kini.
Biografi dan Warisan Intelektual Anregurutta Abduh Pabbaja
Anregurutta Abduh Pabbaja akrab dengan panggilan Kali Pabbaja tergolong sebagai ulama generasi ketiga yang sezaman dengan Anregurutta Yunus Martan, dan Anregurutta Abd Radjah Malili. Adapun generasi kedua Anregurutta Abd Rahman Ambo Dalle, Anregurutta Daud Ismail, Anregurutta Yusuf Hamzah, dan Anregurutta Djunaid Sulaiman, sedangkan generasi pertama Anregurutta Muhammad As’ad, Anregurutta Ahmad Bone, dan Anregurutta Muhammad Thahir Imam Lapeo (Kabry, 2006: 11).
Beliau lahir di Allakkuang, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan pada 26 Oktober 1918 di Tengah keluarga yang terpandang dan religius. Ayahnya bernama Pabbaja bin Amdo Dalle merupakan kepala desa sedangkan ibunya bernama Hj. Latifah binti Kalando, anak perempuan dari imam desa tersebut. Beliau merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara, memiliki empat orang anak dari istri pertama, Khadijah yang kemudian wafat sehingga beliau menikah yang kedua kalinya dengan Hj. Norma (Idris, 2022: 113).
Beliau berguru ilmu agama kepada Anregurtta Muh. As’ad pendiri Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang selama sepuluh tahun kemudian Kembali ke Sidenreng Rappang dan Cabengnge, Soppeng untuk pendirikan perguruan Islam yang pada akhirnya ditutup oleh pemerintah Kolonial Belanda. Beliau kemdian Kembali ke Sidenreng Rappang dan diangkat menjadi Qadi Sidenreng yang merangkap sebagai Matoa (setingkat dengan camat) Allakkuang (Hamang, 2013: 136).
Setelah menjadi Matoa, beliau kemudian diangkat menjadi Kepala Kepala Urusan Agama (KUA) Pare-Pare, pada tahun 1967 beliau dilantik sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin di Pare-Pare (Hamang, 2013: 136). Selain dikenal sebagai ulama besar, beliau juga seorang mubalig yang menyuarakan Islam apa adaya tanpa adanya intervensi dari penguasa manapun. Beliau mendirikan sebuah pondok pesantren yakni Al-Furqan DDI di Kota Pare-Pare (Hamang, 2013: 137).
Di sela kesibukannya, Anregurutta Abduh Pabbaja tetap produktif dalam menulis dan mengabadikan pikiran-pikirannya, di antara karya-karyanya beliau adalah Tafsîr Al-Qur’ân Al-Karîm bi Al-Lugah Al-Bughisiyah; Tafsîr Sûrah Al-Wâqiah; Al-Ma’ṣûrât, Al-Shalat Nur; Al-Mauidzah Al-ḥasanah; Adab Al-Fataḥ, Mir’âh Al-Nâsyi’in, Al-Nasyîdah; Al-Azkar ‘inda Al-‘Asyiyyi wa Al-abkar; Al-Risâlah Al-As’adiyah di Qism Al-Syabâb (As’ad, 2011: 150).
Banyaknya karya Anregurutta Abduh Pabbaja menujukkan kualitas dan kapabilitas yang begitu mumpuni dalam Ilmu Agama Islam, terutama dalam bidang tafsir. Beliau dikenal mampu dalam mempertemukan makna kata dalam Bahasa Bugis dengan Bahasa Arab sehingga tidak heran jika beliau menulis sebuah kitab tafsir akan dijelaskan lebih lengkap selanjutnya.
Tafsir Akorang Beccu (Juz Amma) Anregurutta Abduh Pabbaja
Nama kitab tafsir karangan Anregurutta Abduh Pabbaja adalah Tafsir Juz Amma atau dalam bahasa Bugis disebut Tafsere Akorang Beccu (Bunyamin, 2020), ditulis menggunakan bahasa Bugis dengan aksara Lontara. Aksara Lontara merupakan aksara Bugis asli yang berkembang di Sulawesi Selatan. Penulisan kitab tafsir ini dilatar belakangi oleh dua alasan; pertama, spirit dan komitmennya yang tinggi untuk mengajarkan dan memasyaratkan ajaran-ajaran Islam (Hamang, 2013: 137).
Alasan kedua, sebagai realisasi rekomendasi musyawarah ulama se-Sulawesi Selatan pada pertengahan tahun 1960-an di mana salah satu isinya adalah para ulama melakukan penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an melalui bahasa daerah masing-masing yang menjadi tempat berkiprahnya ulama (Hamang, 2013: 137). Tafsir ini ditulis khusus untuk menjelaskan juz 30 dari Al-Qur’an atau dalam bahasa Bugis disebut dengan istilah Akorang Biccu (Al-Qur’an kecil) (Bunyamin: 2020).
Penafsiran difokuskan pada juz 30 dikarenakan surah-surah dalam juz inilah yang sering digunakan sebagai bacaan dalam shalat dibanding dengan Akorang Loppoe (Al-Qur’an besar; juz 1-29). Dalam konteks demikian kebutuhan masyarakat akan makna dari surah-surah dalam juz Amma yang dibaca dalam shalat sangatlah penting untuk menambah kekusyukan. Metode penafsiran yang digunakan adalah ijmali atau dalam Bahasa Bugis disebut dengan istilah tafsere rippe’ (tafsir ringkas) (Hamang, 2013: 137).
Sumber penafsiran dalam kitab tafsir yang ditulis oleh Anregurutta Abduh Pabbaja adalah gabungan dari tafsir bil matsur dan tafsir bil ra’yi. Hal ini bisa dilihat referensi tafsir yang digunakan yakni tafsir Ibn Katsîr, Tafsir Jalalayn, Tafsir Al-Manar, dan Tafsir Al-Syaukani. Selain itu, juga dapat dilihat melalui cara beliau dalam menafsirkan QS. Al-Lail (92): 3 (وما خلق الذكر و الأنثى), kata الذكر dan الأنثى tidak hanya dipahami secara biologis namun, juga mencakup aspek psikologisnya (Hamang, 2013: 139).
Anregurutta Abduh Pabbaja memiliki ciri khas tersendiri dalam menafsirkan Al-Qur’an, yakni terletak pada kemampuannya dalam memilih kata dari bahasa Bugis yang sepadan dengan makna asal sumber bahasa yang digunakan oleh Al-Qur’an. Contohnya bisa dilihat pada penafsiran QS. Al-Balad (90): 11-12:
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ۖ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ ۗ
(11) Maka, tidakkah sebaiknya dia menempuh jalan (kebajikan) yang mendaki dan sukar? (12) Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (QS. Al-Balad (90): 11-12).
Kata العقبة menurut ulama Indonesia pada umumnya diartikan sebagai “jalan mendaki” akan tetapi menurut Abduh Pabbaja sebagai orang Bugis dan menginginkan penafsiran untuk kebutuhan masyarakat Bugis, maka beliau menafsirkan kata الأقبة dengan “pasunna decengnge” yang berarti bentuk kebaikan yang berkualitas, manfaatnya dalam jangka panjang dan disenangi oleh Allah Swt). Jika الأقبة diartikan secara literal maka diartikan “tuppung mawatang”.
Kata tupppung mawatang menurut Anregurutta Abduh Pabbaja tidak menimbulkan ketertarikan psikologis karena secara umum manusia tidak menyukai jalan yang sukar. Namun, ketika diterjemahkan dengan kata pasunna decengnge, maka orang Bugis spontan dapat memahami dan akan tertarik mempertanyakan lebih lanjut mengenai amalan seperti apa yang dimaksud dengan kata الأقبة. Demikianlah pertimbangan yang digunakan oleh Anregurutta dalam memilih padanan kata yang mudah dipahami oleh masyarakat Bugis.
Demikianlah sekelumit tentang Anregurutta Abduh Pabbaja dan kitab tafsir yang beliau tulis, ulama kharismatik yang sangat besar perhatiannya terhadap masyarakat utamanya dalam menyebarkan ilmu agama melalui dakwah baik secara lisan maupun tulisan, dan tulisan ini menjadi pemantik bagi kajian-kajian selanjutnya yang mencoba memberikan ulasan ringkas atas tafsir-tafsir Nusantara terutama yang lahir di luar tanah Jawa.
Sumber Bacaan
Kabry. Abdul Muiz, Darul Dakwah wal Irsyad (DDI) dalam Simpul Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan, Pare-Pare: DDI, 2006.
Idris. Mariani, dkk, “Pemikiran Anre Gurutta Abduh Pabadja tentang Lailatul Qadr dalam Rekaman Suara di Radio Mesra Pare-Pare,” Tafahus: Jurnal Pengkajian Islam, Vol. 2, No. 2, 2022.
Hamang. M. Nasri, “The Interpretation Method of Holy Quran in Bugis Languange the Work of AGH Muhammad Abduh Pabbaja,” Jurnal Al-Qalam, Vol. 19, No. 1, 2013.
As’ad. Muh, dkk, Buah Pena Sang Ulama, Jakarta Selatan: Orbit Publishing, 2011.