Tafsir Bayani
Quraish Shihab, salah satu Mufassir Indonesia, baru saja memperkenalkan karya terbarunya, yaitu Tafsir Bayani; Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Quran. Di bukunya ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ilmu al-bayān adalah ilmu yang berkaitan dengan susunan kata dalam konteks penyampaian pesan dengan cara-cara tertentu. (Shihab, 2024, xi)
Para pakar berpendapat bahwa tokoh yang membidani lahirnya ilmu ini adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin al-Mutsanna, bermula saat mendapatkan pertanyaan mengenai maksud sebuah ayat. Jadi dapat dipahami bahwa ilmu al-bayān ini adalah sebuah upaya untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pemahaman makna ayat-ayat Al-Quran, termasuk rahasia perbedaan redaksinya walaupun berbicara tentang persoalan yang sama. (Shihab, 2024, xii)
Jadi, bayān yang dimaksud dalam konteks Tafsir Bayani adalah upaya menjelaskan makna-makna yang dikandung oleh kosakata dan susunannya yang dirangkai oleh ayat, tujuannya adalah untuk menjangkau maksud ayat-ayat Al-Quran yang ditafsirkan, sesuai kemampuan manusia, serta menyingkap apa yang belum jelas dari kandungannya sambil merasakan keindahannya. Sederhananya, tujuan tersebut dalam pengertian kebahasaan (Shihab, 2024, xiii), atau penafsiran yang bertumpu pada teks dengan menggunakan analisis kebahasaan. (Wijaya, 2024)
Makna Al-Ītā` dan Penggunaannya dalam Al-Quran
Al-Ītā` merupakan bentuk mashdar atau bentuk infinitif dari ātā – yu’tī – ītā`an yang berarti kegiatan memberi, yaitu mendatangkan atau menunaikan, berbeda dengan atā – ya`tī – ityānan yang berarti datang. Ātā dan atā dengan berbagai derivasinya terdapat sebanyak 549 kali dalam Al-Quran. Ātā yang berarti telah mendatangkan atau telah menunaikan sebanyak 271 kali, āti yang berarti orang yang datang sebanyak 9 kali, atā yang berarti telah datang sebanyak 264 kali, ītā` berarti kegiatan memberi terdapat sebanyak 3 kali, ma`tiyy yang berarti didatangkan hanya 1 kali, dan mu`tī yang berarti orang yang mendatangkan hanya terdapat 1 kali dalam Al-Quran.
Raghib Al-Ashfahani menjelaskan makna atā/ityān dan ātā/ītā` dalam Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur `ān, bahwa Al-Ityān artinya datang dengan mudah. Karena itulah, banjir yang mengalir deras di permukaan disebut dengan atiyy dan atāwiyy. Orang asing juga diibaratkan dengan banjir sehingga disebut atawiyy. Kata ini digunakan untuk menyatakan datang dengan diri sendiri, dengan perintah, dan dengan rencana. Kata ini digunakan baik untuk kebaikan maupun keburukan, dan baik untuk benda maupun sifat. (Al-Ashfahani, 1412 H, 60)
Sedangkan makna dari ītā`, artinya memberi, dan pembayaran zakat dalam Al-Quran secara khusus disebut dengan redaksi ini. Contohnya: “Dan mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat” (Al-Baqarah [2]: 277), “Dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat” (Al-Anbiya [21]: 73), “Dan tidak halal bagimu mengambil kembali sesuatu dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka” (Al-Baqarah [2]: 229], “Dan dia tidak diberi kelapangan harta” (Al-Baqarah [2]: 247). (Al-Ashfahani, 1412 H, 61)
Analisis Tafsir Bayani pada QS. Al-Nahl [16]: 90
QS. Al-Nahl (16): 90 ini mengandung semua ajakan kebaikan, baik yang wajib maupun yang sunnah, juga mengandung anjuran yang berkaitan dengan akhlak dan adab, baik yang umum maupun yang khusus (Al-Razi, 1420 H, 20/259). Ibnu Mas’ud menjelaskan bahwa “Sesungguhnya ayat yang paling lengkap dalam Al-Quran tentang kebaikan dan kejahatan adalah ayat ini.”, juga dari Qatadah: “Tidak ada akhlak baik yang dilakukan dan disukai pada masa jahiliah kecuali Allah SWT telah memerintahkannya dalam ayat ini, dan tidak ada akhlak buruk kecuali Allah SWT telah melarangnya dalam ayat ini.” (Al-Razi, 1420 H, 20/259)
Al-‘Adl, adil adalah al-Inshāf. Ibnu ‘Abbas menukil pendapat Sayyiduna ‘Ali bahwa ‘adl itu adalah bersyahadat (Al-Thabari, 13/334). Ibnu ‘Athiyyah menjelaskan bahwa ‘adl adalah segala sesuatu yang diwajibkan, baik berupa akidah maupun syariat, seperti menunaikan amanah, meninggalkan kezaliman, bersikap adil, dan memberikan hak. (Al-Qurthubi, 1964, 10/166).
Pendapat Ibnu ‘Abbas yang menafsirkan ‘adl dengan syahadat, tidak serta merta menyiratkan bahwa beliau membatasi definisi keadilan hanya pada pengakuan keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad. Dalam konteks penafsiran, terkadang seorang mufassir tidak bermaksud membatasi makna suatu istilah secara rigid, melainkan memberikan contoh yang representatif untuk memperjelas konsep yang sedang dijelaskan.
Jadi, adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan antonim dari kata ini adalah al-zhulm, yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya (Al-Sindi, 1951, Jilid 2, 134). Contoh yang diberikan Ibnu ‘Abbas saat menafsirkan ‘adl dengan syahadat ini sesuai dengan QS. Luqman [31]: 13, “Syirik adalah kezhaliman yang besar”. Dengan demikian, syahadat pada penafsiran adil ini bukan pembatasan definisi, melainkan contoh yang representatif dari konsep adil.
Al-Ihsān, sebelum melanjutkan ke pembahasan al-Ihsān, beberapa mufassir juga menafsirkan ‘adl dengan farāidh dan al-Ihsān dengan nawāfil (Al-Mughamsi, Dars 27, 3), maksudnya ‘adl adalah menenunaikan kewajiban dan ihsān mengerjakan yang sunnah. Ibnu ‘Athiyyah menjelaskan bahwa ihsān lebih luas daripada ‘adl, yaitu melakukan segala sesuatu yang dianjurkan, baik yang hanya anjuran atau kewajiban. Melakukan kebaikan pada batas minimal yang diwajibkan disebut ‘adl, dan melebihinya pada perkara-perkara sunnah merupakan konsep ihsān. (Al-Qurthubi, 1964, 10/166)
Menurut pendapat yang kuat, azhhar al-aqwāl, ihsān artinya berbuat baik lebih dari yang seharusnya, Sayyiduna ‘Ali menjelaskan di antara contoh ihsān atau berbuat baik kepada manusia adalah memaafkan mereka dan tidak membalas dendam kepada mereka (Al-Mughamsi, 27/3). Jadi, al-ihsān itu lebih dari sekadar al-‘adl. Menunaikan ‘adl adalah suatu keharusan, sementara al-ihsān merupakan kesunnahan yang diamalkan secara sukarela (Al-Ashfahani, 237), dengan kata lain al-ihsān adalah bentuk penghambaan yang lebih sempurna.
Dengan demikian, al-ihsān adalah dorongan lebih baik bagi manusia agar hidup tidak hanya dalam batas minimal kebaikan, namun bisa lebih dari apa yang diwajibkan, karena hidup bukan hanya tentang hubungan kita dengan Tuhan saja, namun juga tentang hubungan dengan sesama.
Al-Ītā`, sebagaimana sudah dijelaskan di awal bahwa al-ītā` artinya al’i’thā`; memberi (Al-Ashfahani, 61). Al-Juwayni membedakan antara al-ītā` dan al’i’thā`, bahwa al-ītā` lebih kuat karena merupakan fi’l yang tidak mempunyai muthāwi’ (Al-Zarkasyi, 1957, 4/86). Fi’l yang mempunyai muthāwi’ adalah perbuatan yang tergantung pada objek. Jika sesuai dengan perbuatan, maka itulah muthawa’ah, dan jika menolak, maka tidak terjadi muthawa’ah (Al-‘Athiyyah, 2012, 11). Jadi, al-ītā` lebih kuat karena perbuatannya tidak tergantung kepada objek. Kemudian Dzī al-Qurbā, berarti dekat karena sebab kekerabatan atau silaturrahmi. (Al-Thabari, 13/335)
Relevansi terhadap Moderasi Agama
Muchlis Hanafi dan tim penyusun dalam buku Tafsir Tematik Moderasi Beragama merumuskan indikator-indikator moderasi beragama, di antaranya adalah menghargai kemajemukan, mewujudkan kedamaian dan anti kekerasan, terbuka dan menerima budaya, menaati komitmen kebangsaan, cinta tanah air, menaati pemerintah dan undang-undang, menjaga persatuan dan kesatuan, sinergi antar umat beragama, memahami teks agama secara komprehensif dan memahami realitas dan prioritas. (Muchlis Hanafi, dkk., 2022, x)
Konsep ‘adl dan ihsān dalam Islam memiliki implikasi praktis yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam moderasi beragama dengan indikator-indikator di atas.
‘Adl, yang berarti keadilan, menuntut perlakuan yang setimpal terhadap individu berdasarkan tindakan mereka, baik dibalas baik, begitu juga sebaliknya. Di dalam Al-Quran juga terdapat ayat-ayat mengenai hal ini, seperti QS. Al-Baqarah [2]: 194, QS Al-Nahl [16]: 126, dan QS. Al-Syura [42]: 40. Awal-awal ayat tersebut menjelaskan bolehnya konsep ‘adl, namun lanjutan setelahnya, atau ayat setelahnya pada QS. Al-Baqarah [2]; 194, menjelaskan konsep ihsān.
Wahbah Al-Zuhayli menjelaskan bahwa Allah tidak selalu menganjurkan untuk membalas, bahkan Al-Quran menjelaskan bahwa membalas itu hanya diperbolehkan, dengan syarat memperhatikan kadar balasan yang harus setara, bi mitsl mā i’tadā ilaykum, bi mitsl mā ‘ūqibtum bih. ‘Adl, meski diperbolehkan, belum sampai kepada tingkat ideal, karenanya balasan keburukan juga dinamakan keburukan karena menyakiti orang yang menimpanya. (Al-Zuhayli, 1991, 25/84-85). Ini kurang begitu ideal karena dalam realitanya jarang sekali satu pukulan dibalas dengan satu pukulan, dan ini tidak menyelesaikan masalah.
Ihsān adalah tingkatan yang lebih ideal dan bisa membuat orang yang memusuhi bisa sadar dengan sendirinya karena merasa salah memusuhi seseorang. Al-Zuhayli menjelaskan ketika menafsirkan al-muhsin, yaitu orang yang membalas keburukan dengan kebaikan (Al-Zuhayli, Al-Wasith, 1422 H, 1/238). Memberikan maaf bukanlah sebuah kehinaan, melainkan sebuah kemuliaan, sebagaimana pesan Rasulullah (Al-Naysaburi, 1334, 8/21). Memaafkan adalah solusi menciptakan kehidupan sosial yang harmonis. Ada ungkapan orang Arab, lā yuqbal minh sharf (ihsān) wa lā ‘adl (‘adl), bukanlah kebaikan apabila berbuat baik karena menerima kebaikan. (Al-Ashfahani, 1412 H, 552)
Jika diperhatikan dan diurut, Al-Quran sedang memberikan pendidikan mulai dari yang paling awal sampai kepada tingkat lanjutan; ‘adl melakukan sesuatu dengan mengambil hak diri sendiri, ihsān melakukan sesuatu dengan sedikit mengorbankan perasaan dan ītā` adalah lebih dari keduanya, yaitu mengutamakan kebaikan orang banyak daripada kepentingan diri sendiri.
Pendidikan seperti ini juga bisa kita dapatkan dari QS. Ali ‘Imrān [3]: 159. Ayat tersebut memberikan panduan komprehensif tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap seseorang yang telah berbuat buruk kepadanya, dimulai dengan pemaafan, ditingkatkan dengan mendoakan orang yang bersalah tersebut agar diampuni oleh Allah, dan puncaknya dengan meminta pendapat dan masukannya sebagai bentuk penghormatan, pendidikan bertahap ini mencerminkan kematangan emosional dan spiritual.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, konsep al-Ītā` memberikan pesan untuk berbuat baik, bahkan lebih aktif dan inisiatif dalam berbuat baik tersebut, juga mengutamakan kebaikan orang banyak daripada kepentingan diri sendiri, sehingga mudah bersosialisasi dan berbuat baik kepada siapapun tanpa memandang agamanya.
Daftar Rujukan
Al-Ashfahani, Raghib. Al-Mufradāt fī Gharīb Al-Qur ān, Bairut: al-Dar al-Syamiyah, 1412 H.
Al-‘Athiyyah, Ayyub Jirjis. Af’āl al-Muthāwa’ah, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2012.
Al-Mughamsi, Abu Hasyim. Ta’ammulāt Al-Qur āniyyah.
Al-Naysaburi, Muslim. Shahīh Muslim, Turki: Dar al-Thiba’ah al-‘Amirah, 1334 H.
Al-Qurthubi, Abu ‘Abdullah. Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Qur ān, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964.
Al-Razi, Fakhruddin. Mafātīh al-Ghayb, Bairut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H.
Al-Sindi, M. ‘Abid. Tartīb Musnad Al-Imām Al-Syāfi’iyy, Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1951.
Al-Thabari, Ibn Jarir. Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Āy Al-Qur ān, Makkah: Dar al-Tarbiyah wa al-Turats.
Al-Zarkasyi, Badruddin. Al-Burhān fī ‘Ulūm Al-Qur ān, Bairut: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957.
Al-Zuhayli, Wahbah. Al-Tafsīr Al-Munīr, Dimasyq: Dar al-Fikr, 1991.
_________. Al-Tafsīr Al-Wasīth, Dimasyq: Dar al-Fikr, 1422 H.
Hanafi, Muchlis, dkk.. Tafsir Tematik Moderasi Beragama, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran – Badan Litbang dan Diklat – Kemenag RI, 2022.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Bayani: Paradigma Bahasa dalam Kosakata Al-Qur’an, Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2024.
Wijaya, Aksin. “Tafsir Bayâni; Paradigma Bahasa dalam Kosakata al-Qur’an (Review Karya M. Quraish Shihab),” diakses dari Tafsir Bayāni; Paradigma Bahasa dalam Kosakata al-Qur’an (Review Karya M. Quraish Shihab) – Pesantren.ID