Keberagaman adalah kekayaan yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia. Keberagaman bukan untuk ditawar tapi untuk diterima (taken for granted). Dengan adanya keberagaman masyarakat Indonesia, maka begitu banyak pendapat, pandangan, keyakinan, yang dimiliki oleh setiap warga negara. Di samping itu, setiap agama memiliki variasi penafsiran terhadap ajarannya, terutama ketika membahas pelaksanaan ritual keagamaan (Kemenag, 2019: 3-4).
Hanya saja pemahaman dan praktik agama yang sempit dan radikal masih menjadi tantangan serius, seperti menyebabkan terjadinya konflik keagamaan. Dalam menghadapi keberagaman yang kompleks, membutuhkan solusi yang mampu mendorong keharmonisan dalam kehidupan beragama, langkah tersebut adalah dengan mengutamakan sikap moderat dalam beragama, menghormati keanekaragaman praktik keagamaan, dan menjauhi sikap ekstremisme, intoleransi, serta kekerasan.
Moderasi dalam Islam disebut dengan wasatiyah, Islam telah mengajarkan wasaṭiyyah, yaitu sikap seimbang yang menghindari sikap ekstrem dalam beragama. Konsep ini sejalan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan kasih sayang (Kurniawan, 2024: 12).
Adapun konsep moderasi beragama mengharuskan kita untuk selalu berada di tengah-tengah dua kutub yang berseberangan. Namun, mencapai posisi tengah ini bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan pemahaman yang mendalam dan kemampuan untuk menyelaraskan berbagai perspektif agar tercipta keseimbangan (Shihab, 2019: 3).
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang, menggabungkan pengamalan ajaran agama sendiri (ekslusif) dengan penghormatan terhadap keyakinan orang lain (inklusif), sehingga menjadi solusi atas sikap ekstrem baik yang terlalu konservatif maupun terlalu liberal ( Kemenag, 2019: 18). Penegakan keseimbangan dalam beragama menjadi kunci untuk mewujudkan moderasi beragama tersebut.
Keseimbangan dalam Islam dikenal dengan istilah tawāzun “ keseimbangan” yang berasal dari bahasa Arab dengan akar kata tawāzana dengan makna “menjadikan seimbang” (Munawwir 1984, 1556).
Menurut Quraish Shihab keseimbangan juga dikenal dengan istilah al-mīzān. Adapun kata al-mīzān berasal dari akar kata wazana “menimbang” (Munawwir, 1984: 1556), al-mīzān juga merupakan ṣigah isim alat yang berarti alat menimbang atau timbangan (Rahman, 2018: 1).
Dalam konteks moderasi beragama, al-mīzān memiliki makna yang lebih luas, yaitu mencakup seluruh aspek kehidupan, sebagaimana tercermin dalam penggunaan istilah ini dalam Al-Qur’an, terutama dalam surah ar-Rahman yang diimplemetasikan dalam praktik keagamaan, hubungan sosial, dan perilaku sehari-hari.
Keseimbangan dalam beragama berarti menjalankan ajaran agama dengan moderat, tidak berlebihan, dan tidak pula terlalu kurang. Konsep ini sejalan dengan ajaran agama-agama besar yang mengajarkan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan kedamaian. Dalam konteks masyarakat multikultural, keseimbangan dalam beragama menjadi sangat penting untuk menjaga harmoni dan persatuan.
Tawāzun atau keseimbangan merupakan konsep fundamental dalam Islam yang sangat erat kaitannya dengan moderasi beragama. Konsep ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam beragama, spiritual maupun duniawi, sehingga tercipta harmoni dan kedamaian.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, meskipun konsep keseimbangan atau tawazun dalam beragama telah banyak dibahas, namun dalam praktiknya banyak individu termasuk umat Islam masih belum mampu mengimplementasikan prinsip ini secara utuh dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, keseimbangan dalam beragama merupakan salah satu pilar penting dalam moderasi beragama atau wasatiyyah ( Ulya & Wardha, 2024: 295).
Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk kembali merujuk pada sumber ajaran agama yang mengajarkan nilai-nilai kedamaian dan keseimbangan. Salah satu ayat yang relevan untuk dikaji adalah surah ar-Rahman ayat 7-9.
Ayat ini, berbicara tentang penciptaan langit dan penetapan timbangan keadilan, mengandung pesan mendalam tentang keseimbangan yang menjadi fondasi bagi kehidupan beragama yang moderat. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbāh memberikan penafsiran yang mendalam mengenai konsep keseimbangan dalam ayat ini. Keseimbangan tidak hanya dalam konteks timbangan fisik, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Interpretasi QS. Surah Ar-Rahman Ayat 7-9 dalam Tafsir Al-Mishbāh
Moderasi beragama pada dasarnya merupakan penerapan nilai-nilai keseimbangan yang diajarkan dalam Al-Qur’an, termasuk dalam QS. Ar-Rahman [55]: 7-9:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ ۚ أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ ۖ وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ.
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman [55]: 7-9)
Ayat tersebut secara jelas menunjukkan kekuasaan Allah dalam mengatur alam semesta. Allah telah menciptakan sistem yang sangat teratur, seperti peredaran matahari dan bulan, serta memisahkan langit dan bumi dari keadaan yang semula kacau. Selain itu, ayat-ayat tersebut juga menekankan pentingnya keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Allah telah menetapkan neraca keadilan yang harus ditegakkan oleh setiap manusia, baik dalam urusan pribadi maupun sosial (Shihab, 2005: 498).
Kata الميزان, al-mīzān, memiliki makna yang sangat kaya dan mendalam. Selain sebagai alat menimbang, “mizan” juga merujuk pada konsep keseimbangan (Shihab, 2005: 499). Kata الميزان, al-mīzān, yang berulang kali digunakan dalam ayat-ayat tersebut menyoroti betapa krusialnya prinsip keadilan dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan, baik secara individu maupun sosial.
Pada potongan ayat ألا تطغوا في الميزان mengingatkan kita akan tujuan Allah menurunkan mizan itu. Jika memahaminya dengan keseimbangan maka implikasinya adalah mengajarkan kita untuk tidak berlebihan dalam segala hal. Baik itu dalam bekerja, beribadah, atau bersosialisasi, kita harus selalu mencari titik tengah yang seimbang.
Pada potongan ayat “في الميزان”, kata “في” pada kalimat tersebut memperkuat larangan yang secara tegas melarang segala bentuk kecurangan dan penyimpangan dalam semua aspek kehidupan (Shihab, 2005: 500).
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (QS. Ar-Rahman [55]: 9)
Dalam ayat ini, Allah menciptakan segala sesuatu dengan keseimbangan dan menuntut kita untuk menegakkannya di setiap aspek kehidupan. Keseimbangan ini menghasilkan moderasi dalam interaksi sehari-hari, dan mengajarkan untuk memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan (Shihab, 2005: 500).
Berangkat dari penafsiran dapat diketahui bahwa ketiga ayat pada surah ar-Rahman: 7-9 sebagai ayat yang menjelaskan keseimbangan dalam kehidupan. Manusia diharapkan mampu meneladani penciptaan alam, yang tidak terlepas dari pertimbangan dan perimbangan. Hal tersebut meliputi dua catatan, yaitu Allah SWT memerintahkan kita untuk bersikap adil dan seimbang dan melarang sikap melalui batas maupun melarang manusia bersikap curang dan merugikan orang lain.
Ayat ini memberikan pesan yang sangat universal dan relevan. Prinsip keseimbangan yang terkandung dalam ayat ini tidak hanya berlaku dalam konteks agama, tetapi juga dalam semua aspek kehidupan. Dengan mengimplementasikan prinsip keseimbangan dalam kehidupan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan damai.
Adapun implementasi keseimbangan dalam moderasi beragama sebagai solusi menyikapi keberagaman antara lain:
Pertama menemukan keseimbangan dalam keteraturan Alam (Kosmik), ayat ini mengaitkan penciptaan langit dengan penempatan neraca. Ini menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta dengan keseimbangan yang sempurna. Sebagai bagian dari alam semesta, manusia juga dituntut untuk hidup dalam keseimbangan.
Kedua menghindari ekstremisme, ayat ini secara tegas melarang kita untuk melampaui batas, hal ini dapat diartikan sebagai larangan untuk bersikap ekstrem. Moderasi mengajarkan kita untuk mencari jalan tengah dan menghindari sikap keras dalam beragama yang dapat memicu konflik.
Ketiga keseimbangan dalam ibadah, ayat ini menekankan pentingnya tidak berlebihan dalam menjalankan ibadah. Moderasi mengajarkan kita untuk menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan agama tanpa meninggalkan kewajiban duniawi lainnya.
Keempat keseimbangan dalam muamalah, ayat ini juga menekankan pentingnya keadilan dan keseimbangan dalam bermuamalah. Ini berarti kita harus berlaku adil dalam segala transaksi dan hubungan dengan sesama.
Kelima menyeimbangkan antara toleransi dan prinsip, toleransi tidak berarti mengorbankan prinsip agama. Moderasi mengajarkan kita untuk bersikap toleran terhadap perbedaan, tetapi tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama yang benar.
Keseimbangan adalah salah satu kunci dalam moderasi beragama. Dengan menerapkan prinsip keseimbangan, kita dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan pemeluk agama lain ataupun dengan pemeluk agama yang sama, dan membangun masyarakat yang damai. Prinsip keseimbangan yang terkandung dalam ayat ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural. Ayat ini memberikan kita landasan yang kuat untuk mengimplementasikan keseimbangan dalam kehidupan.
Referensi
Kementrian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta Pusat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Kurniawan, M. Agus. (2024). “Mencari Keseimbangan dalam Modersai Beragama.” Jurnal Pendidikan Al-Ikmal, Vol. 3, No. 5, hal 12.
Ulya, Erviana Iradah, dan Azalia Wardha Aziz. (2024). “Tawazun Sebagai Prinsip Moderasi Beragama Perspektif Mufasir Moderat.” Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Vol. 4. No. 2, hal. 295.
Rahman, Azman Abu, dan Mahazan Abd Mutalib. (2018). Al-Mizan: Konsep Prinsip & Aplikasinya Bagi Kelestarian Ummah. Malaysia: USIM Press.
Shihab, M. Q.uraish. (2019). Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Tangerang Selatan: Lentera Hati Group.
Shihab, M. Q.uraish. (2005). Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Cet III. Tangerang : Lentera Hati.
Munawwir, Ahmad Warson. (1984). Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, Surabaya Pustaka Progresif.