Negara kepulauan ini mengoleksi 3,25 juta kilometer persegi berupa lautan yang luas. Pantaslah jika Indonesia dijuluki archipelagic state atas 17.499 pulau. Adapun bagian daratan yang dikoleksi Indonesia seluas 2,01 juta kilometer (Monika: 2022, 14) Karunia dari Allah SWT tersebut dikhawatirkan berpotensi memantik sikap hewan pada diri manusia yang acap kali diistilahkan dengan term “eksploitasi”. Adapun eksploitasi diartikan dengan sikap meraup maslahat sebanyak mungkin dengan prinsip keserakahan tanpa disertai sikap bertanggungjawab (Hutanpedia: 2022)
Praktik di lapangan menuntut bahwa, Kalimantan menjadi korban dari eksploitasi yang pernah ada. Setidaknya, hutan-hutan di sana mengalami pembabatan yang ditukar menjadi hotel serta gedung-gedung pencakar langit (Vinka: 2022, 556) Aneka kerusakan yang dimaksud tidak lain lantaran tangan-tangan manusia yang tidak bertanggungjawab. Sehingga, cukup masuk akal jika alam mengalami kecacatan fasilitas kepada penghuni daerah tersebut. Dengan ungkapan lain, alam yang ditempati tidak dapat memberikan fasilitas sebagaimana kadar yang telah ditentukan (Dinas: 2020)
Secara lisan, ekosufisme diadopsi berdasarkan dwi istilah, ialah “eko” serta “sufisme”. Masyarakat Yunani mengistilahkan eko dengan “oikos” dengan makna rumah, lalu muncul istilah ekologi, yaitu relasi antar makhluk hidup dengan alam. Adapun “sufisme”, dimaknai sebagai bimbingan melalui insting dalam beragama (Mita: 2022, 172) Dalam hal ini, relasi alam dengan penghuninya selazimnya terus dirawat dan dibenahi. Pasalnya, seluruh posisi menuntut keterkaitan yang saling terkoneksi, sehingga disyaratkan etika yang cocok agar dapat melangsungkan hidup dengan selamat (Ghufron: 2022, 93)
Dengan sederhana, ekosufisme bisa diartikan sebagai nasihat yang bersumber dari agama dengan tuntunan kegiatan yang dapat merawat lingkungan atau alam. Hikmah dari sufisme tidak lain adalah sebagai penghormatan maupun praktik tafakkur serta tadabbur akan ciptaan Allah SWT sebagaimana perintahNya dalam beberapa ayat al-Qur’an. (Mita: 2022) Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Antara Tuhan, Manusia dan Alam menuturkan bahwa, deforestasi lingkungan yang terjadi dikarenakan penghuninya yang mengalami krisis religius. Maksudnya, manusia dalam konteks ini tidak kompeten untuk menuju derajat spiritualnya, atau dengan ungkapan lain, manusia sekadar cukup pada pemenuhan urgensi duniawi. (Ida: 2020)
Ekosufisme dalam Al-Qasas [28]: 77
Dalam kitab al-Hikmat Fi Makhluqatillah, Imam al-Ghazali menggambarkan sebuah ilustrasi bahwa, makhluk hidup selalu menuntut hubungan erat dengan sistem ekologi yang diistilahkan dengan rumah lengkap beserta langit-langit di atapnya, pintu, tembok, lampu rumah dan seluruh perabotannya. Seluruh item yang dimaksud semestinya dilindungi dan dirawat sebaik mungkin agar mendatangkan manfaat sebaik makhluk tersebut merawat item. (Hamid: 1978, 40) Asosiasinya dengan alam, secara langsung akan mengupayakan materi terbaik yang dikandung kepada perawatnya atau makhluk hidup (manusia) sebagaimana ia dirawat dan dijaga. (UMY: 2016)
Sebagai status pembimbing, al-Qur’an membahas hal terkait secara implisit. Hal tersebut dapat dimaklumi dalam Q. S al-Qasas [28]: 77,
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) di akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu (kebahagiaan) di dunia. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”
Di antara mufassir klasik yang cukup berpengaruh akan karyanya ialah Ibnu Katsir. Beliau dikenal dengan Imam Abu Fida’ beserta tafsir beliau tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, beliau memaknai kalimat “wa ahsin kama ahsana Allahu ilayka…” dengan penafsiran “wa ahsin ila khalqihi kama ahsana huwa ilayka”. Seolah-olah, Imam Ibnu Katsir hendak mengatakan bahwa, sebagai makhluk hidup, manusia diperintahkan supaya selalu berbuat baik kepada seluruh ciptaanNya. Termasuk alam dan segala isinya, seeloknya ia senantiasa dirawat semaksimal mungkin sebagaimana alam telah memberikan kebaikannya untuk makhluk hidup. (Fida’: 4)
Lebih jelas lagi, Prof. Quraish Shihab memaknai term ah}sin dengan makna “baik”. Namun, sikap baik yang dituntut tidak memiliki objek yang pasti. Sehingga, sikap tersebut meliputi tiap-tiap perkara yang dapat dikenai kebaikan, termasuk lingkungan, kekayaan, tanaman, hewan dan manusia. Adapun arti “kama” dimaknai para ulama’ dengan arti “sebagaimana”, atau diartikan dengan “disebabkan karena”. Maksudnya, lantaran Allah SWT sudah mengkaruniakan aneka nikmat (termasuk kekayaan alam) kepada manusia, hingga-hingga manusia selazimnya berlaku demikian dengan upaya menjaga alam sesuai kadar yang dikuasai. (Quraish: 2005, 407)
Implikasi Melawan Arus Ekosufisme dalam Al-Qasas [28]: 77
Aneka kiat yang diupayakan guna mewujudkan keseimbangan lingkungan akan terus dikembangkan dengan maksud menjaga alam. Adapun konsep ekosufisme ditetapkan melalui dua dasar pokok, yaitu kepedulian akan lingkungan dan kepedulian akan keagungan Tuhan. (Ahmad: 2023, 28) Dari segi firman Allah SWT, dibahas secara tegas mengenai penyebab utama kerusakan alam baik di daratan maupun di lautan, yaitu manusia. Hal tersebut menuntut sebuah konklusi bahwa sikap ekosufisme wajib dipegang dan diterapkan oleh setiap muslim.
Cita-cita utama ekosufisme bukan hanya sebatas melindungi dan merawat lingkungan. Lebih detailnya, dituntut di dalamnya sebuah budaya yang dapat menumbuhkan lingkungan sekaligus mempererat sosial dan ekonomi. Eksploitasi sumber daya alam yang seenaknya (irrational use) akan mengurangi fungsi alam sebagai sumber kenyamanan dan keindahan. Atau. ia akan menimbulkan polusi udara dan air serta kerusakan ekosistem secara keseluruhan (Maryunani: 2018, 4) Selain itu, impresi keadaan alam menular kepada seluruh penghuni lingkungan yang dituju, seperti punahnya flora fauna dan variabilitas biologis (keanekaragaman hayati). (Defenders: 2023) Sehingga, sikap spiritual atau religious dalam merawat dan memanfaatkan lingkungan harus dipelajari setiap muslim.
Alysia, Vinka “Eksplorasi Sumber Daya Alam Dan Ketahaan Ekonomi Lokal (Studi Literatur Pada Destinasi Wisata Labuan Bajo)”. Journals of Economics Development Issues (JEDI), Vol. 05, No. 01 (Surabaya: 2022), 556.
Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, “5 Dampak Kerusakan Alam Bagi Kehidupan”, dalam https://dlh.semarangkota.go.id/5-dampak-kerusakan-alam-bagi-kehidupan/; (diakses pada 20 November 2024)
Hasanah, Mita Uswatun Mita Uswatun “Eko-Sufisme dalam Upaya Pelestarian Lingkungan di Alam Kandung Rejotangan Tulungagung”, Syifa al-Qulub: Jurnal Studi Psikoterapi Sufistik, Vol. 06, No. 02 (2022), 172.
Maryunani, Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Ekonomi secara Berkelanjutan. Malang: Tim UB Press, 2018.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah. Tangerang: Lentera Hati, 2005.
Suhayati, Monika “Rekonstruksi Regulasi Eksplorasi Dan Eksploitasi Sumber Daya Alam Pada Landas Kontinen”, Kajian: Menjembatani Teori dan Persoalan Masyarakat dalam Perumusan Masalah”, Vol. 27, No. 01 (Juli: 2022), 14
Syahida, Ahmad Ridla. Ekosufisme Di Dalam Tafsir Indonesia Kontemporer. Purbalingga: Eureka Media Aksara, 2023.
Uup Ghufron, “Manusia, Alam dan Tuhan dalam Ekosufisme Al-Ghazali”, JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. 07, No. 01 (2022), 93. Ida Munfarida, “Relevansi Nilai-Nlai Tasawuf bagi Pengembangan Etika Lingkungan Hidup”, Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy, Vol. 02, No. 01 (2020), 22.
Wildlife, Defenders of “Apa itu Eksploitasi Berlebihan dan Bagaimana Dampaknya terhadap Keanekaragaman Hayati?”, dalam https://defenders.org/blog/2023/08/what-overexploitation-and-how-does-it-affect-biodiversity; (diakses pada 21 November 2024)