Al-Furqān Tafsir Al-Qur’an merupakan tafsir berbahasa Indonesia yang dikarang oleh Ahmad Hassan. Ia masih keturunan India melihat Ibunya yang bernama Muznah merupakan orang Indonesia (keturunan India) yang menikah dengan Ahmad, Ayahnya yang merupakan orang berkebangsaan India.
Uniknya, ia tidak lahir di Indonesia maupun India, melainkan di Singapura pada tahun 1887 M.
Meskipun lahir di Singapura Ia tidak menyelesaikan pendidikannya di negeri tersebut dan hanya sampai kelas empat di sekolah Melayu dan belajar bahasa Arab Inggris dan Tamil. Kecenderungannya pada bahasa Arab membuatnya lebih menguasai bahasa tersebut dibandingkan bahasa lainnya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh ayahnya yang menguasai bahasa Arab dan Tamil, bahkan pernah menjadi redaktur majalah Nur al-Islam yang merupakan majalah Sastra Tamil (Mafri Amir, 2013: 112).
Benih Pemikiran Reformis Ahmad Hassan
Kenapa dikatakan tafsirnya bias puritan? Hal ini tidak terlepas dari pemikirannya. Di Singapura ia berkenalan dengan pemikiran reformis yang nantinya sangat berkontribusi dalam progam radikalnya. Ia mengenal empat tokoh pemimpin agama India di kotanya, termasuk ayahnya sendiri yang telah mengadopsi ide-ide reformis idolanya yang telah direkomendasikan oleh Wahabi.
Di daerah itu pula Hassan telah bersinergi dengan publikasi reformis al-Manar dari Kairo, al-Imam dari Singapura dan al-Munir dari Padang yang nantinya diterbitkan di Padang Panjang pada tahun 1914/1945. Ia juga menemukan buku “Kafa’ah” milik Ahmad al-Surkati yang merupakan salah satu orang yang mempengaruhi perkembangan permikiran reformisnya Ahmad Hassan (Akh Minhaji, 1997: 97).
Pada tahun 1926, Ahmad Hassan masuk dalam organisasi PERSIS (Persatuan Islam) yang berpusat di Bandung. Ia masuk dalam organisasi tersebut di saat titik di mana organisasi tersebut didominasi oleh pemikiran modernis Hadji Zamzam. Sebelumnya Persis tidak mempunyai ideologi atau corak tertentu, dikarenakan orang yang masuk menjadi beragam, ada yang tradisionalis dan juga modern maka Persis terpecah menjadi dua kubu; modernis dan tradisionalis.
Hal ini tentu saja karena masuknya Ahmad Hassan sehingga menguatkan pemikiran Hadji Zamzam yang modernis. Kelompok yang memisahkan diri yang terdiri dari orang-orang tradisionalis kemudian mendirikan organisasi tandingan yang dikenal dengan Pemufakatan Islam, sementara sisanya tetap mempertahankan nama Persis dengan identitas modernisnya. Namun, nasib Pemufakatan Islam tidak diketahui keberadaaanya, kemungkinan besar terserap ke dalam Nadhlatul Ulama yang didirikan pada waktu yang hampir sama (Howard Federspiel, 2004:114).
Al-Furqān Tafsir Al-Qur’an
Kitab ini dimulai dengan sepatah kata dari penerbit, pengantar dari tim penyunting, dilanjutkan oleh pendahuluan yang terbagi ke dalam beberapa pasal sampai pasal 33 mengenai penafsiran. Lalu berlanjut dengan Glosarium (kosa kata), kemudian dituliskan pula mengenai petunjuk pencarian kata dalam al-Qur’an, lalu diteruskan dengan keterangan tentang penelusuran pokok-pokok ajaran al-Qur’an baru kemudian daftar isi yang dijelaskan satu persatu sesuai dengan sub-sub tema dalam setiap surat-surat dalam al-Qur’an.
Jika melihat karakter dari Tafsir al-Furqān ini akan terlihat ciri khasnya dengan tafsir-tafsir awal yang sezaman dengannya. Misalnya saja dalam pendahuluan penulis menguraikan beberapa hal yang dibagi ke dalam 35 pasal, mulai dari riwayat singkat proses penulisan, keterangan ringkas tentang metodologi penerjemahan (dan juga penafsiran), sejarah, isi Al-Qur’an, gramatika Arab, makna konsep-konsep tertentu dalam Al-Qur’an, hingga glosarium yang berisi beberapa kata atau konsep penting dalam Al-Qur’an (Nur Hizbullah, 2014: 291).
Adapun jenis tafsir ini adalah tafsīr bi ra’yī, yaitu penafsirannya berdasarkan rasio pemikirannya sendiri yang ia torehkan dalam footnote dibagian bawah tafsirnya. Sedangkan metodenya menggunakan metode Ijmālī, yaitu menafsirkan ayat-ayat secara global dari juz satu sampai tiga puluh dengan urutan mushaf.
Bias Puritan dalam Sebuah Penafsiran
Dalam perjalan hidup Hassan, pada tahun 1920/1921 ia pergi ke Surabaya karena di sana ada bisnis batik milik pamannya Abdul Latif. Namun di tempat itu ia justru menyaksikan sendiri konflik antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Kaum Tua yang dipimpin oleh Abdul Wahab Hasbullah yang kemudian berpatisipasi pada pembentukan organisasi tradisionalis Nahdlatul Ulama. Sedangkan dari kubu Kaum Muda dibawah komando dua reformis, Mas Mansur yang mendirikan sekolah reformis Madrasah Hizbul Wathan, dan Faqih Hasyim yang menggunakan forum al-Irsyad untuk melancarkan ide-ide pembaruan.
Orang-orang yang mewakili Kaum Muda disinyalir telah terpengaruh oleh ide-ide reformasi Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah (Hamka), Zainuddin Labay yang semuanya berasal dari Sumatra, dan Ahmad Surkati dari Jawa. Dalam hal ini, pamannya sendiri mengingatkan untuk tidak ikut andil dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Faqih Hasyim, karena dimata pamannya mereka pengikut kelompok Wahabi yang sesat (Akh Minhaji, 1997: 88).
Hassan umumnya dianggap sebagai pendukung utama reformasi di kalangan muslim Indonesia. Karena itu ia dikritik karena pengaruhnya pada kaum muslim di Indonesia. Salah satu kelompok yang menolak gagasannya adalah kelompok tradisionalis yang bersikeras mempertahankan prinsip dan penggunaan tradisional. Mungkin tanggapan yang paling responsif datang dari anggota Persatuan Tabiyah Islamiyah (Perti) dan orang-orang dari Nahdlatul Ulama atau dikenal sebagai NU. Organisasi ini memang diciptakan untuk melawan gerakan reformasi. Tanggapan kritis lain disampaikan oleh seorang tradisionalis Arab Husain al-Habsyi (Akh Minhaji, 1997: 292).
Jika melihat realitas ini, sebenarnya kita diajak untuk melihat jati diri Indonesia di masa lalu. Ahmad Hassan yang notabenenya mempunyai identitas pemikiran puritan-reformis yang seringkali dihadapkan dengan kalangan kaum tradisionalis, sampai kemudian menyelipkan—untuk tidak mengatakannya menaruh dalam porsi yang besar—gagasan puritanismenya dalam tafsirnya. Keberadaan tafsir tersebut, tentu juga dengan keberadaan Ahmad Hassan itu sendiri menunjukkan bahwa kondisi Indonesia pada saat itu betapa sangat demokrasi secara intelektual.
Hal ini dilihat dari kondisi mayoritas masyarakat Indonesia yang bermadzhab Syafi’i tapi tidak menentang keberadaan dari Ahmad Hassan ini yang sebenarnya lebih condong ke Muhammadiyah (dalam beberapa tahun yang lalu); tidak terpaku dengan madzhab dan membuang segala hal yang bisa memicu kesyirikan. Inilah salah satu hal yang menarik yang bisa kita ambil dari peristiwa masa lalu tersebut.
Berikut salah satu ayat yang menunjukkan dimensi puritan, yaitu ayat yang menolak wasilah:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا۟ فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ ۚ فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَٰتٍ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ عِندَ ٱلْمَشْعَرِ ٱلْحَرَامِ ۖ وَٱذْكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ
“Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari rezeki dari Tuhan Kalian. Apabila kalian berduyun-duyun beranjak dari (gunung) arafah. Maka sebutlah Asma Allah di Masy’aril Haram. Sebutlah Dia sebagaimana Dia telah menunjukkan kepada kalian.* Sesungguhnya kalian dahulu termasuk orang-orang sesat.” (al-Baqarah/2:198).
*) maksudnya, sebut, ingat, dan mohonlah kepada Allah menurut cara yang telah Dia tunjukkan dan ajarkan kepada kalian, yaitu janganlah kalian mengingat dan memohon kepada Allah dengan menggunakan perantara (wasilah) seperti yang pernah dilakukan oleh kaum jahiliyah (Ahmad Hassan, 2010: 53).
Pada dasarnya Ahmad Hassan tidak melarang menggunakan perantara (wasilah) yang menggunakan amal perbuatan sendiri, bukan perbuatan orang lain. Jadi tidak melarang tawasul secara mutlak tapi dengan syarat. Namun tetap saja melarang berwasilah kepada orang yang sudah meninggal dunia, meskipun itu seorang nabi atau wali.
Proses pemurnian Islam inilah yang dinamakan dengan puritan, di mana Ahmad Hassan ingin menjaga kemurnian Islam dengan menyingkirkan suatu hal yang mendekati kemusyrikan, salah satunya adalah wasilah. Tentu masih banyak penafsiran lainnya yang bercorak puritan di dalam tafsirnya, seperti kembali ke al-Qur’an dan Hadis dan Bid’ah.
Referensi
Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Tangerang Selatan: Mazhab Ciputat, 2013.
Federspiel, M. Howard. penerjemah: Ruslani dan Kurniawan, Labirin Ideologi Muslim Pencarian dan Pergulatan Persis di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), Jakarta: Serambi, 2004.
Minhaji, Akh, “Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958)”, Disertation of Faculty of Graduate Studies and Research, Institute of Islamic Studies McGill University, 1997.
Hizbullah, Nur. Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama Dan Pejuang Pemikiran Islam Di Nusantara Dan Semenanjung Melayu. Buletin Al-Turas 20.2 (2014): 285-296.
Hassan, Ahmad, Al-Furqān Tafsir Qur’an, Jakarta: Universitas Al-Azhar Indonesia, 2010.