Di dalam bermasyarakat hal yang paling dibutuhkan ialah membangun hubungan sosial yang harmonis, agar tidak terjadinya kesenjangan sosial. Jika sudah terjadi kesenjangan sosial maka yang akan terjadi ialah timbul konflik, hal ini yang harus dihindari. Membangun hubungan sosial yang harmonis ketika bermasyarakat tidak lah mudah. Ada beberapa sifat yang harus ditanamkan di antaranya ialah: kedermawanan, pengendalian amarah, dan sikap pemaaf, yang semuanya menjadi fondasi bagi kehidupan bermasyarakat yang damai.
Sebagaimana di dalam Al-Qur’an dijelaskan:
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Ali Imran [3]:134)
Ayat ini menekankan tiga sifat utama yang sangat relevan dalam kehidupan bermasyarakat. Di anatarnya ialah: kedermawanan atau suka bersedekah, pengendalian emosi, dan sikap memaafkan. Ketiga sifat ini menjadi fondasi penting bagi terciptanya keharmonisan sosial di tengah masyarakat yang beragam.
Dalam Tafsir Al-Azhar (Buya Hamka, 1989: 926) ayat ini menekankan sikap dermawan dalam segala kondisi, baik lapang maupun sempit, dan pentingnya bekerja sama demi kebaikan bersama. Orang yang bertakwa bersedia memberi tanpa mengharap balasan, menahan amarah, dan memaafkan kekurangan orang lain, menjaga semangat gotong royong dan keikhlasan dalam mengejar keridhaan Allah dan surga-Nya yang luas.
Sikap dermawan atau suka bersedekah, pengendalian amarah, dan pemberian maaf ini menjadi bentuk kebaikan yang mendalam, di mana tujuannya bukan sekadar untuk kepentingan duniawi, tetapi sebagai jalan untuk mencapai surga Allah yang luas. Melalui sifat-sifat ini, terciptalah hubungan yang harmonis dalam masyarakat dan kehidupan yang diberkahi, yang akhirnya membawa pada kebahagiaan di akhirat.
Pada Tafsir Ibnu Katsir, (Ibnu Katsir, 2003: 139) ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang berinfak dengan tulus di segala kondisi, baik dalam keadaan senang maupun susah, serta dalam kondisi sehat atau sakit, menunjukkan ketaatan mereka kepada Allah tanpa terhalang oleh apapun. Mereka juga mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain tanpa balas dendam, yang mencerminkan akhlak yang sempurna. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa kekuatan sejati adalah kemampuan untuk menahan diri saat marah. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik, yang menunjukkan tingkatan ihsan dalam berbuat kebaikan.
Dalam Tafsir Al-Misbah (Quraish Shihab, 2002: 221) ayat ini menekankan pentingnya sifat-sifat ketakwaan dalam konteks peristiwa Perang Uhud, di mana kaum Muslim diajarkan untuk berinfak di segala kondisi sebagai tanda ketakwaan dan untuk menghindari ketamakan. Selain itu, ayat ini mendorong tiga tingkatan sikap dalam menghadapi kesalahan orang lain: pertama, menahan amarah tanpa melampiaskannya. Kedua, memaafkan atau menghapus bekas luka di hati akibat kesalahan orang lain. Ketiga, berbuat Baik tidak hanya menahan dan memaafkan, tetapi juga berbuat baik kepada mereka yang telah berbuat salah. Sikap berbuat baik pada tingkat tertinggi ini sangat disukai Allah, yang mencintai orang-orang yang berbuat Kebajikan.
Tujuan bersedekah pada ayat ini adalah meringankan beban orang yang kekurangan, berbeda dengan riba yang mengeksploitasi keadaan sulit mereka. Allah SWT menegaskan bahwa riba dimusnahkan, sedangkan sedekah disuburkan oleh-Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 276). Kemudian tujuan lainnya ialah Bersedekah dalam segala keadaan mencerminkan keimanan yang tulus dan komitmen terhadap kebaikan. Sedekah yang konsisten, meskipun kecil, dapat menutupi kebutuhan berkelanjutan orang yang kekurangan tanpa memberatkan pemberinya. (Wahbah Az-Zuhaili, 2013: 421)
praktiknya, muncul tantangan terkait bagaimana masyarakat memahami berinfak dalam kesempitan. Kritisnya, apakah ajaran ini mengutamakan keberlanjutan ekonomi individu pemberi? Seseorang yang hidup dalam keterbatasan harus tetap menjaga keseimbangan antara bersedekah dan kebutuhan pribadinya. Perspektif ini perlu dilihat melalui kacamata moderasi yang juga diajarkan dalam Islam.
Hikmah Ayat Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Ayat ini mengajarkan untuk berinfak, baik saat kita berada dalam kelapangan maupun kesempitan. Dalam kehidupan sehari-hari, ini mengingatkan kita untuk tetap berbagi, membantu sesama, dan peduli terhadap orang lain, terutama di saat-saat sulit, tanpa mengharapkan imbalan. Ini membangun rasa solidaritas dan kebersamaan dalam masyarakat.
Ayat ini juga mengajarkan kita untuk tidak melampiaskan kemarahan, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam interaksi sosial sehari-hari. Dalam menghadapi konflik atau ketegangan, menahan amarah membantu kita tetap rasional dan menjaga kedamaian, baik di rumah, tempat kerja, atau dalam masyarakat.
Ayat ini mengajarkan bahwa kita harus bisa mengikhlaskan kesalahan orang lain dan tidak menyimpan dendam. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap pemaaf memperkuat hubungan antarindividu, mengurangi ketegangan, dan membantu menciptakan suasana yang lebih damai dan harmonis.
Allah mencintai orang yang berbuat baik. Ayat ini mengajarkan bahwa setiap tindakan baik yang kita lakukan, baik dalam hal membantu sesama, menahan amarah, maupun memaafkan, akan membawa kita lebih dekat dengan Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, ini menginspirasi kita untuk selalu berbuat kebaikan dan mengutamakan niat ikhlas demi mendapatkan ridha Allah.
Dengan berinfak, menahan amarah, dan memaafkan, kita dapat menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan orang lain. Sikap-sikap ini membangun kebersamaan, mengurangi permusuhan, dan menciptakan rasa saling menghargai dalam masyarakat. Ini juga mendorong kita untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga, komunitas, dan lingkungan sosial yang lebih luas.
Keterkaitan Ayat
Pada Q.S Ali Imran ayat 133 memaparkan sedikit tentang surga. Dan pada ayat setelahnya yakni Q.S Ali Imran ayat 134 menggambarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh orang-orang yang berhak menjadi penghuninya. Ciri-ciri yang disebutkan berkaitan erat dengan peristiwa Perang Uhud, di mana kaum Muslimin mengalami kekalahan sebagai akibat dari keinginan sebagian dari mereka untuk segera mengambil harta rampasan sebelum waktunya.
Ayat ini mengingatkan bahwa penghuni surga adalah mereka yang mampu menahan diri, bersabar, dan berpegang teguh pada perintah Allah dalam segala situasi, termasuk dalam kondisi sulit seperti perang. (Quraish Shihab, 2002: 220)
Kesimpulan
Ayat ini menekankan bahwa orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang berinfak di segala keadaan, baik lapang maupun sempit, mampu menahan amarah, serta memaafkan kesalahan orang lain. Sifat-sifat ini tidak hanya mencerminkan keimanan yang kokoh tetapi juga berkontribusi dalam membangun hubungan sosial yang harmonis dan damai.
Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan, sehingga penerapan nilai-nilai ini tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan di dunia tetapi juga menjadi jalan menuju ridha dan pahala Allah di akhirat. Ayat ini mengajarkan bahwa ketakwaan sejati terwujud dalam perilaku yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan masyarakat. Dengan menanamkan sikap dermawan, sabar, dan pemaaf, umat Islam dapat menciptakan kehidupan yang penuh kedamaian dan keberkahan. Ayat ini juga secara keseluruhan menegaskan bahwa akhlak mulia dan hubungan sosial yang baik adalah bagian tak terpisahkan dari ketakwaan dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah. (2013). Tafsir Al-Munir, Jilid 2. (Al-Kattani, Abdul Hayyie, dkk, Terjemahan). Jakarta: Gema Insani.
Ibnu Katsir, Ismail. (2004). Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II. (M Abdul Ghaffar, dkk, Terjemahan). Bogor: Imam Asy-Syafi’i.
Shihab, Quraish. (2008). Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Malik karim Amrullah, Abdul. (1969). Tafsir al-Azhar, Jilid II. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD.