Tafsir melayu menjadi salah satu warisan intelektual yang penting dalam Sejarah Islam dan terus memainkan perannya di Nusantara. Diawali dengan ditemukannya sebuah karya anonim Tafsir Surah al-Kahfi [18]: 9 yang diyakini berasal dari abad ke-16. Selanjutnya, hadir pula tafsir lengkap Turjuman al-Mustafid karya ulama Aceh, Syekh ‘Abd al-Ra’uf bin Ali al-Fanshuri, yang selesai ditulis sekitar tahun 1675 M (Azra, 2004: 247).
Di abad ke-19 ditemukan kembali manuskrip tafsir surah al-Nisa’ [4]: 11-12, tafsir ini berjudul Tafsir Fara’id al-Qur’an, namun penulisnya tidak diketahui. Meskipun demikian, naskah ini pernah diterbitkan oleh penerbit Bulaq dalam kumpulan karya ulama Aceh yang disunting oleh Ismā’īl bin ‘Abd al-Muthallib al-‘Asyī, dengan judul: Jāmi’ al-Jawāmi’ al-Mushannafat: Majmu’ Beberapa Kitab Karangan Beberapa Ulama Aceh (Gusmian, 2017: 42-43).
Eskitensi tafsir Melayu ini bertahan hingga pada abad ke-20 M, berlanjut dengan hadirnya tafsir Nur al-Ihsan karya ulama Kedah-Malaysia Bernama Syekh Muhammad Sa’id bin Umar al-Qadhi. Ditulis dalam kurun waktu kurang lebih selama satu setengah tahun, 1344-1346 H / 1926-1927 M (Sa’īd al-Qadhī, 1391 H: 311).
Keunikan dari tafsir ini adalah ia disebut-sebut sebagai tafsir lengkap ‘kedua’ dalam Bahasa Melayu pasca Turjuman al-Mustafid. Dengan demikian, hadirnya Nur al-Ihsan telah berhasil memecah kebekuan produksi tafsir yang ditulis secara lengkap selama 252 tahun (1675-1927) atau 2,5 abad (Azra, 2004: 247).
Mengingat pentingnya dan menariknya tafsir ini untuk dibahas, penulis dalam tulisan ini berusaha memperkenalkan dan menggali berbagai aspek terkait dengan tafsir Nur al-Ihsan, mulai dari biografi penulisnya, metode dan corak yang digunakan, praktik penafsirannya, hingga kelebihan dan kekurangan yang ada dalam tafsir tersebut.
Biografi dan Warisan Intelektual Syekh Muhammad Sa’id al-Qahdi
Syekh Muhammad Sa’id bernama lengkap Al-Alim al-Fadhil al-Hajj Muhammad Sa’id bin ‘Umar Qadhi Jitra al-Qadhi. Bahkan di khatimah (penutup) tafsir ini Muhammad Sa’id dengan mantap menyebutkan Namanya:
سعيد بن عمر القدحي بلدا الشافعي مذهبا النقشبندي الأحمدي طريقة القاضي شرعيا.
“Said bin ‘Umar al-Qadhi baladan al-Syafi’i mazhaban al-Naqsyabandi al-Ahmadi tariqatun al-Qadhi syar’iyan.”
Kutipan ini menunjukkan bahwa Muhammad Sa’id berasal dari negeri Kedah, sebuah wilayah bagian di negara Malaysia. Ia menganut mazhab Syafi’i dalam masalah fiqih, bertariqat al-Naqsyabandi al-Ahmadi, dan pernah menduduki jabbatan Qadhi. Mengenai tahun kelahirannya terdapat perbedaan pendapat, antara pada tahun 1854 M dan tahun 1859 M. Muhammad Sa’id meninggal dunia pada hari Rabu 22 Dzulqaidah 1350 H/ 9 Maret 1932 M.
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai kelahirannya, ia merupakan anak dari seorang Khatib, sebab itulah ayahnya dikenal dengan gelar “Umar Khatib”. Muhammad Sa’īd menjabat sebagai Qādhi negeri Kedah Dar al-Aman pada masa pemerintahan Sultan Abd al-Hamīd Halīm Syah bin Sultan Ahmad Taj al-Dīn Mukarram Syah, sebagaimana yang diungkapkannya sendiri dalam penutup tafsir Nūr al-Ihsān.
Muhammad Sa’īd menghasialkan beberapa karya tulis, diantara karyanya yang paling popular ialah: Pertama, Fatawa al-Qadah fī Ahkamin Nikah. Dari judulnya kita bisa mengetahui bahwa kitab ini berisi tentang persoalan fiqih pernikahan. Kedua, Tafsir Nūr al-Ihsān, tafsir ini ditulis dalam bahasa Melayu-Kedah dengan menggunakan aksara Arab-Jawi.
Jika dilihat pada bagian kata pengantar diperoleh informasi bahwa tafsir ini hadir disebabkan adanya permintaan dari beberapa orang teman dari penulisnya. Sebagaimana berikut;
فقد سألني بعض الإخوان أن أكتب لهم بلغة الكدحى القرآن كي يفهموا أمره و نهيه بالسرعان ولا يتجلجلوا فى الطاعة والإيمان….
“…Adapun kemudian daripada itu sungguh telah pinta pada hamba oleh setengah ikhwan yang mulia-mulia bahwa hamba surat bagi mereka itu dengan bahasa Melayu Kedah akan Qur’an supaya dapat faham mereka itu akan suruhan-Nya dan tegah-Nya dengan mudah dan tiada bergoyang-goyang hati pada ta’at dan iman (Sa’īd al-Qadhī, 1391 H Juz 1: 2).
Tujuan penulisan kitab tafsir ini adalah beliau menulis atas permintaan dari rekan-rekannya serta dorongan dari pemerintah pada masa itu, yang mungkin mempengaruhi nuansa politik dalam kitab tafsir tersebut, dapat disimpulkan bahwa tafsir Nur al-Ihsan di kategorikan sebagai tafsir yang berbasis pada politik kekuasaan. Konteks demikian juga terjadi dalam tafsir Turjuman Al-Mustafid karya ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkiili (Gusmian, 2015: 4-5).
Selain itu, beliau juga memperoleh izin dari seorang ulama besar di negerinya, yaitu Syekh Sulaiman, yang menjadi salah satu motivasi utama beliau dalam menulis kitab tafsir ini. Penulisannya selesai ditulis pada bulan Rabi’ al-Akhir 1346 H / Oktober 1927 M.
Deskripsi Kitab
Tafsir Nur al-Ihsan ditulis secara global, namun corak penafsirannya masih dapat di identifikasi, yakni menggunakan corak umum. Tafsir ini mencakup 30 juz, terdiri atas empat jilid; jilid pertama berisi 5 surah (dari surah al-Fātihah hingga al- Māidah); Jilid kedua berisi 12 surah (dari surah al-An’ām hingga al-Isra’); Jilid ketiga berisi 22 surah (dari surah al-Kahfi hingga al-Zumar); dan Jilid keempat berisi 75 surah (dari surah al-Mu’min hingga al-Nās).
Untuk gaya penulisan, beliau mengawali dengan menyebutkan tentang periode turunnya surah, lalu mengelompokkan apakah termasuk bagian makiyah atau madaniyah. Namun ada keunikan ketika menyebutkan jumlah ayat, beliau mengelompokkan surah makiyah atau madaniyah dibawahnya disebutkan jumlah ayat. Contoh dalam surah al-Baqarah ditulis “dua ratus delapan puluh enam atau tujuh”.
Ada banyak nuansa praktik penafsiran yang mempengaruhi dan mewarnai penafsiran al-Quran. Adapun nuansa paling umum ditemukan dalam Tafsir Nur al-Ihsan diantaranya:
Pertama, Penafsiran Bernuansa Teologis. Ajaran tauhid yang terkandung dalam surah al-Ikhlas diuraikan oleh Muhammad Sa’īd dalam tafsirnya:
“(bismillah al-rahmān al-rahīm. Qul) kata olehmu (huwa Allah ahad) yaitu Allah Tuhan yang Esa yakni Tuhan yang kamu tanya aku itu Tuhan yang Esa, atau yaitu Tuhan yang aku seru kamu kepada sembah-Nya itu Allah yang Esa, atau Tuhan yang kamu suruh aku nasabkan itu Allah yang Esa tiada bernasab tiada beranak dan tiada diperanak maka lafazh Allah itu menunjuk atas zat yang berhimpun segala sifat Kamal pada-Nya yakni sifat kesempurnaan yaitu sifat tsubutiyah yang tujuh seperti Qudrat, Iradat, Ilmu. Dan lafazh ‘ahad’ menunjuk atas zat yang bersifat Jalal yaitu sifat salbiyah yang lima seperti Qidam, Baqa (Sa’īd al-Qadhī, 1391 H Juz 4: 307).
Kedua, Penafsiran Berbentuk Fiqih, salah satu pendekatan penafsiran yang dilakukan oleh Muhammad Sa’īd cenderung berfokus pada penjelasan persoalan yang berkaitan dengan Nuansa fiqih dan hukum, seperti yang terlihat dalam penafsirannya terhadap surah al-Maidah [5]: 38 yang diberi judul ‘hukum mencuri’.
“(wa al-sāriq wa al-sāriqat fāqtha’ū aidihumā) dan bermula lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri itu maka kerat oleh kamu akan tangan keduanya pada pergelengan tangan kanan dan jika balik dikerat kaki kiri dan yang ketiga tangan kiri dan yang keempat kaki kanan kemudian dita’dzir dengan api yang dipikir oleh Raja- raja (jazāam bimā kasabā) balasan dengan barang yang diusahakan mencuri (nakālām min allah) siksa daripada Allah bagi keduanya teladan atas lainnya (wallahu ‘azīzun hakīm) dan bermula Allah ta’ala itu Tuhan yang amat berkekerasan di atas kerajaan lagi amat hakim pada perbuatannya”( Sa’īd al-Qadhī, 1391 H Juz 1: 221).
Ketiga, Penafsiran Bernuansa Sufistik, praktik tafsir isyarat dapat dilihat ketika Muhammad Sa’īd memberikan makna pada huruf ba’ dalam lafazh basmalah.
“…dan makna al-fatihah terhimpun pada ‘bismillah’, dan makna bismillah terhimpun pada ‘ba’nya’, dan makna ba’ (bī kana ma kana) dengan aku jadi barang yang telah jadi (wa bi yakunu ma yakunu) dan dengan aku lagi jadi barang yang akan jadi, wallahu a’lam (Sa’īd al-Qadhī, 1391 H Juz 1: 6).
Penafsiran semacam ini pernah dikritik oleh Hamka di dalam tafsir al-Azhar, penafsiran semacam itu menurut Hamka merupakan penafsiran yang tidak berdasar pada ilmu, melainkan hanya khayalan belaka (Hamka, Tafsir al-Azhar juz 1: 71).
Kelebihan dan Kekurangan Tafsir
Setiap karya pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, yang merupakan hal yang wajar. Jika kita terus menunggu hingga sempurna dari segala aspek dan cakupannya, tentu itu akan memakan waktu yang sangat lama dan tak pasti kapan akan selesai. Namun, ada beberapa hal yang bisa dianggap sebagai kelebihan utama dari tafsir Nūr al-Ihsān, antara lain:
Tafsir ini menunjukkan bahwa usaha penafsiran al-Qur’an dalam bahasa Melayu dengan aksara Jawi di Nusantara tetap hidup dan berkembang, bahkan bertahan hingga abad ke-20 Masehi, dengan penyelesaian penulisannya pada tahun 1346 H atau sekitar tahun 1927 M.
Selain itu, tafsir ini cocok dijadikan referensi pertama bagi pemula atau orang awam yang ingin mempelajari dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan mudah, tanpa perlu menguasai bahasa Arab secara mendalam, karena tafsir ini menggunakan bahasa Melayu lokal yang dekat dengan kehidupan masyarakat di Semenanjung Malaya dan Indonesia.
Selain beberapa kelebihan tersebut, tafsir Nūr al-Ihsān juga memiliki kekurangan dan kelemahan yang dirasakan oleh pembaca, seperti: Tidak adanya nomor ayat, yang menyebabkan kesulitan bagi pembaca dan peneliti dalam mencari dan menandai ayat yang ingin dibaca atau diteliti.
Selain itu, tafsir ini terasa terlalu sederhana, sehingga menimbulkan keraguan apakah ini hanya terjemahan al-Qur’an, terjemahan dari tafsir tertentu, atau memang karya tafsir asli dari penulisnya.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abda XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004).
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Yogyakarta: LKis, 2013).
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).
Sa’īd al-Qadhī, Muhammad. Tafsīr Nūr al-Ihsān, Jilid. I, II, III, dan IV. Cet. III. (T.tp: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad al- Hindi wa Awladih, 1391 H).