Metode Tafsir Amin Abdullah: Implikasi Paradigma Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin

Azyumardi Azra, seorang cendikiawan muslim Indonesia mengatakan bahwa Amin Abdullah merupakan seorang yang konsisten menyuarakan integrasi ilmu dan hubungannya dengan antar disiplin ilmu. Menurut Azra, sulit menjadi seorang yang menekuni satu bidang tertentu secara konsisten. Oleh karenanya, banyak karya yang lahir dari konsistensi tersebut. Menurut Al Makin, salah satu guru besar di UIN Sunan Kalijaga mengatakan bahwa Amin Abdullah merupakan cendekiawan yang istiqamah mengembangkan teori dan pemikiran secara utuh: dari soal epistemologi, etika, metodologi, aksiologi, dan lain seterusnya.

Komentar-komentar tersebut merupakan respon terhadap karya Amin Abdullah yang saya bahas dalam tulisan ini. Selanjutnya, dalam tulisan ini, saya akan mengurai celah tafsir dari karya Amin Abdullah yang berjudul Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin: Metode Studi Agama & Studi Islam di Era Kontemporer (2021). Dalam karya ini, ia sangat baik dalam meyakinkan kita akan perlunya pergeseran paradigma dalam studi Islam. Tesis pergeseran paradigma inilah yang berpengaruh pada metode pembacaan penafsir terhadap Al-Qur`an. Oleh karena itu, ulasan ini merupakan implikasi paradigma tersebut.

Bacaan Lainnya

Semula saya hendak mengetengahkan latar belakang gagasan ini. Namun saya memutuskan untuk menulisnya lain waktu supaya artikel ini tidak terlalu panjang. Oleh karenanya, saya hanya akan mengulas implikasi yang saya maksud sebelumnya. Amin Abdullah mengulas hal ini di halaman 223 s/d 260. Adapun sub-sub ulasannya adalah hermeneutika dalam studi Islam, pergeseran metode tafsir: dari tekstualis, semi-tekstualis, ke kontekstualis, dan membangun metode penafsiran kontekstual-progresif.

Metode Tafsir Kontekstual-Progresif

Poin-poin utama dalam metode tafsir ini terletak di sub judul membangun metode penafsiran kontekstual-progresif. Poin-poin tersebut adalah: pertama, setiap penafsir tidak berhenti dengan pembacaan linguistik, namun mengikutsertakan ilmu-ilmu sosial, budaya, dan sains modern; kedua, dua prinsip soal makna: 1) arti bercorak interaktif: pembaca tidak pasif dan terlibat aktif dalam memproduksi makna; 2) makna teks bersifar cair. Ia bisa berubah seiring perubahan konteks zaman; ketiga, asbâb al-nuzûl al-jadîd: Amin Abdullah mendeskripsikannya sebagai “konteks” zaman kita; dan terakhir keempat, penggunaan metode sistem Jasser Auda.

Poin pertama menurut Amin Abdullah perlu dilakukan supaya tidak terjatuh pada pembacaan tekstualis atau semi tekstualis (hal. 248). Pembacaan semacam itu menurut Abdullah memiliki dampak yang berat untuk dipertanggungjawabkan akibat sosial politiknya. Wajah pelaksanaan ajaran Al-Qur`an dalam sisi ethico-legal yang kaku, rigid, keras, ekslusif, totalistik, non-compromise, jauh dari parameter umat yang tengah dan rahmat bagi seluruh alam. Contohnya Ikhwanul Muslimin dan Salafi (Wahabi). Namanya berbeda-beda di setiap negara: Taliban (Afganistan), al-Shahab (Somalia), Boko Haram (Nigeria), Mujahidin Asia Tenggara, Negara Islam di Iraq dan Suria, dan seterusnya.

Mempertimbangkan ilmu-ilmu sosial, budaya, dan sains modern kemudian cara untuk terhindar dari akibat berat pembacaan tekstualis atau semi tekstualis tersebut. Dengan memahami “konteks”, penafsir bisa mengidentifikasi inti dari sebuat ayat. Lebih jauh, penafsir bisa menjelaskan hal-hal yang sifatnya universal dari ajaran agama dan mana yang tidak. Uraian Abdullah Saeed menyangkut soal ini sangat membantu. Ia memberikan panduan bagaimana penafsir mengidentifikasi mana yang universal mana yang tidak atau yang berlaku hanya untuk konteks tertentu (Saeed, 2016: 109-122).

Adapun poin kedua, Amin Abdullah tidak terlalu banyak mengurainya. Kita perlu merujuk ke tulisan-tulisan lain. Dalam uraiannya, ia mengutip Khaled Abou el-Fadhl yang mengatakan bahwa pembacaan yang tertutup antara teks dan pembaca merupakan sebuah kesewenangan intelektual (hal. 249). Oleh karena itu, makna sebuah teks perlu didialogkan secara serius dengan konteks dan menafsirkannya secara lebih konstruktif. Pembacaan yang mengasumsikan teks yang tidak cair menjadikan pembaca menyatu dengan teks: tertutup, tidak tersentuh, transenden.

Dalam kaitan poin kedua ini, Abdullah Saeed mengatakan bahwa penafsir kontekstual berusaha mengaitkan makna teks ayat sebagaimana dipahami oleh generasi pertama Islam di abad 7 M, lalu mendialogkannya dengan konteks zaman yang berbeda (Saeed, 2016: 145). Menurutnya, usaha seperti ini sudah dilakukan dari generasi ke generasi Islam. Usaha ini merupakan sesuatu yang alami karena setiap generasi mengalami dan merasakan perubahan baik dalam bidang politik, sosial, keagamaan, budaya, hukum, ekonomi, dan lain sebagainya.

Adapun poin ketiga sudah disebut beberapa kali dalam poin-poin sebelumnya. Ia merupakan implikasi dari bagaimana Amin Abdullah memandang makna teks yang cair dan juga dibentuk oleh pembaca. Kita memerlukan pemahaman konteks yang baik ketika ingin mendialogkan pemahaman generasi awal Islam. Dalam kondisi ini, penafsir ikut dan memproduksi makna baru dari sebuah teks.

Bagi Amin Abdullah, poin ketiga ini merupakan akibat dari keberhasilan Pendidikan manusia (hal. 251). Keberhasilan ini menyebabkan perubahan sosial yang dahsyat yang jauh berbeda dengan kondisi sosial masyarakat Islam generasi awal. Oleh karena perbedaan yang sangat signifikan ini, kita memembutuhkan ijtihad yang baru.

Lebih jauh, kita memerlukan pergeseran paradigma. Mengunci diri dengan konteks generasi awal atau 1400 tahun lalu akan membuat penafsir jatuh pada pembacaan tekstualis atau semi tekstualis, Pembacaan seperti ini menurut Kusmana sebagai jump to conclusion atau sikap mistifikasi-problematis (Kusmana, Fondasionalisme dalam Pemahaman Al-Qur`an, Webinar Komunitas Ar-Rosikhun pada 27 Desember 2024). Penafsir kontekstual berusaha mendialogkan khazanah pengalaman hidup yang mereka miliki dengan teks-teks Al-Qur`an. Mereka memberikan ruang bagi kedirian mereka atau ruang horizon pembaca—meminjam istilah Gadamer—ketika menafsirkan ayat.

Terakhir adalah penggunaan metode sistem Jasser Auda. Amin Abdullah menyebutnya sebagai tafsîr maqâsidi. Metode sistem Jasser Auda memang erat kaitannya dengan maqâsid al-syarî’ah. Berikut ini adalah enam fitur metode sistem Jasser Auda: 1) kognitif: pemisahan yang jelas antara mana hasil kognisi manusia dengan yang ilahi; 2) kemenyeluruhan: pembacaan yang menggunakan prinsip pembacaan tematik yang holistik; 3) keterbukaan dalam menerima paradigma ilmiah; 4) hierarki-saling berkaitan: pengembangan maqâsid tradisional ke aspek sosial-kemanusiaan yang lebih luas, tidak terbatas kepada umat Islam; 5) multi-dimensionalitas: maqâsid dapat membantu penafsir dalam menjelaskan ayat-ayat yang bertentangan; 6) fitur kebermaksudan: selalu merujuk ke sumber-sumber primer: Al-Qur`an dan hadis dan sumber rasional.

Referensi:

Abdullah, M. Amin. Multidisiplin, Interdisiplin, & Transdisiplin: Metode Studi Agama & Studi Islam di Era Kontemporer, Yogyakarta: IB Pustaka, 2021.
Hardiman, Budi. Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.
Saeed, Abdullah. Al-Qur`an Abad 21, diterjemahkan oleh Evan Nurtawab dari judul Reading the Qur`an in the Twenty first Century A Contextualist Approach, Bandung: Mizan, 2016.
Kusmana, Fondasionalisme dalam Pemahaman Al-Qur`an, Webinar Komunitas Ar-Rosikhun pada 27 Desember 2024.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *