Book Review: The Qur’an and Its Biblical Subtext (Gabriel Sayd Reynolds Memandang Metode Pembacaan al-Qur’an)

Landasan Kritis di balik The Qur’an and Its Biblical Subtext

Sebenarnya bisakah al-Qur’an dimaknai dengan sepenuhnya bergantung pada informasi historis kehidupan Nabi Muhammad, sebagaimana pandangan mayoritas mufasir abad pertengahan maupun beberapa penekun studi Qur’an?

Bacaan Lainnya

Bagi pembaca karya ini, setidaknya pada bagian pengantar, pertanyaan utama ini akan bisa langsung teridentifikasi dan bahkan beserta jawabannya. Ketidaksetujuan Reynolds terhadap penggunaan narasi historis yang berkaitan dengan kisah perjalanan hidup Nabi Muhammad yang digunakan sebagai materi intrepretatif satu-satunya dalam proses penafsiran al-Qur’an menjadi alasan utama di balik lahirnya karya ini.

Untuk menjawab “tidak bisa” dan sekaligus menawarkan model metode penafsiran alternatif yang diyakininya, Reynolds harus menulis buku ini sepanjang 300-an halaman lengkap dengan berbagai landasan referensial yang mendukung argumennya. Buku penting yang wajib masuk salah satu daftar bacaan penunjang dalam ranah studi Qur’an ini, terutama yang berkaitan dengan isu dialog kitab suci (intertektualitas), diterbitkan oleh Routledge di tahun 2010. Jika harus mengacu pada standar-standar penulisan artikel ilmiah terkini, maka buku ini sangat mungkin untuk dinilai outdated.

Ada dua argumen pengantar yang bisa diuraikan secara ringkas di sini untuk memberikan gambaran awal kegelisahan Reynolds. Pertama, Reynolds melihat perkembangan studi Qur’an terkini, bahkan yang berkembang di universitas yang membawa model kajian kritis sekalipun, terkesan stagnan dan taken for granted (menerima begitu saja) metodologi yang diwariskan oleh cendekiawan (mufasir) Islam klasik serta dilanjutkan oleh beberapa sarjanawan Barat “lama”, meskipun dengan orientasi berbeda, terhadap penggunaan biografi Nabi Muhammad sebagai materi paling reliabel untuk membaca al-Qur’an.

Kedua, ada banyak partikel dalam al-Qur’an yang juga terekam atau setidaknya memiliki irisan dengan literatur Biblikal yang lahir sebelumnya. Reynolds berkeyakinan bahwa kemunculan narasi Biblikal dalam al-Qur’an, yang umumnya diadopsi dalam bentuk kiasan (allusion), memiliki hubungan dengan “ekspektasi” mengenai familiaritas audiens awal al-Qur’an dengan narasi-narasi itu. Familiaritas ini dimaksimalkan oleh al-Qur’an dengan meminjamnya sembari mentransfer pesan-pesan religiusnya. Hal ini yang kemudian dimaksud dengan biblical subtext.

Kutipan yang diambil Reynolds dari pembacaan dan kesetujuannya terhadap Salwa El-Awa akan menjelaskannya:
“I will argue that the Qur’an expects its audience to be familiar with Biblical literature … The Qur’an awakens the audience’s memory of these traditions and then proceeds without pause to deliver its religious message. This means, in other words, that the task of reading the Qur’an is a task of listening and response. The audience must follow the Qur’an’s lead to some subtext of traditions.”

Kedua argumen Reynolds yang terdapat di latar belakang bukunya menunjukkan betapa tidak puasnya ia terhadap dinamika studi Qur’an yang berkembang di kalangan sarjanawan Barat yang disebutnya tidak lagi kritis, serta keinginannya untuk mengembangkan model metodologi alternatif yang bisa membuka ruang bagi lahirnya narasi baru yang lebih segar dan kaya. Bagian terakhir ini kemudian diteoritisasi dengan istilah reading the Qur’an as homily. Kegelisahan Reynolds menjadi penting dan sentral untuk kemudian melihat posisinya di tengah belantara kajian sarjanawan Barat terhadap al-Qur’an.

Sebagai catatan, silakan akses tulisan mengenai ulasan lanjutan atas teori reading the Qur’an as homily di sini, serta contoh aplikatifnya di sini.

G.S. Reynolds dan Posisinya dalam Peta Kajian Orientalis

The Crisis of Qur’anic Studies menjadi bagian penting yang perlu dinikmati untuk mengidentifikasi posisi Reynolds dalam kajian ini. Reynolds menarasikan hasil anotasinya terhadap beberapa karya sarjanawan yang memperlihatkan peta historis dari ide-ide kesarjanaan yang berupaya melihat keterhubungan al-Qur’an dengan literatur-literatur keagamaan sebelumnya, terutama dari Yahudi dan Kristen, dari sisi origin (asal-usul). Gagasan awal yang berkembang dalam kesarjanaan awal Barat terhadap al-Qur’an memperlihatkan betapa sentralnya peran narasi historis biografi Nabi Muhammad untuk melacak jejak-jejak historis dari asumsi adanya keterpengaruhan Yahudi dan Kristen terhadap Islam.

“In their search for sources, they tended to ask when, where, and how Muhammad learned something from Biblical literature. In other words, these scholars generally assume that the Prophet, as it were, stood between the Bible and the Qur’an.”

Abraham Geiger dengan karya monumentalnya Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen (Apa yang diambil Muhammad dari agama Yahudi) menjadi pembuka di abad 18. Lalu, Die Geschichte des Qorans (Sejarah al-Qur’an) yang fenomenal dan dikembangkan serta disempurnakan oleh empat penulis berbeda: Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergstrasser, dan Otto Pretzl menjadi karya selanjutnya yang memberikan posisi penting terhadap biografi Nabi sebagai sumber untuk mengulik sejarah kemunculan al-Qur’an. Model kronologis dan divisi-divisi historis geografis, Makkiyah-Madaniyah, yang dikonstruksi Noldeke menjadi produk fenomenal dari pendekatannya. Sebagai catatan, hal inilah yang kemudian dikatakan mewarisi para cendekiawan muslim (mufassir) abad pertengahan.

Secara umum, tanpa menyebut dan mengulas keseluruhan sarjana yang dielaborasi oleh Reynolds di posisi ini, para sarjana di era ini meyakini bahwa kajian kritis yang bisa dilakukan, dalam kaitannya dengan model metodis ini, diejawantahkan dengan melakukan morceaux (pencocokkan) suatu ayat dengan bagian dari kisah perjalanan Nabi. Mereka meyakini bahwa data-data historis yang digali melalui tafsir dan sirah dalam bingkai kronologis dapat menjadi basis bagi pengetahuan mereka tentang kapan dan di mana al-Qur’an ditulis serta kemungkinan pengaruh eksternal dari Yahudi maupun Nasrani dalam proses penulisan al-Qur’an (idiosyncratic nature).

Sebagai respon kontra, sarjanawan lain mulai mempertanyakan ulang metode yang diwariskan sebelumnya atau bisa disebut sebagai kesarjanaan revisionis ini. Henri Lammens, yang gagasannya kemudian didukung oleh Regis Blachere, mendudukkan biografi atau informasi historis perjalanan hidup/ sirah Nabi sebagai sesuatu yang datang belakangan. Sirah merupakan hasil pengembangan para mufasir untuk menginterpretasi al-Qur’an, maka secara filosofis ia merupakan produk dari tafsir. Lantas akan sangat memusingkan jika sirah digunakan sebagai materi penafsiran.

Penegasan posisi kontra ini datang dari John Wansbrough melalui karyanya Qur’anic Studies. Reynolds mengulas dua poin penting dari Wansbrough yang kemudian ia kembangkan lebih lanjut untuk menguatkan tesisnya. Dua hal yang ditegaskan oleh Wansbrough berkaitan dengan ketiadaan otoritas historis dari catatan atas biografi Nabi Muhammad, dan tafsir tidak bisa menyediakan data yang memadai mengenai makna original yang dimaksudkan al-Qur’an. Bagi Reynolds, dua konklusi rejeksi Wansbrough telah memperkuat argumennya bahwa al-Qur’an harus dibaca dengan materi pra-Qur’anik bukan post-Qur’anik.

“I will argue that the Qur’an–from a critical perspective at least–should not be read in conversation with what came after it (tafsir) but with what came before it (Biblical literature).”

Namun, Reynolds memberi catatan bahwa meskipun ia sepakat pada dua kesimpulan Wansbrough perihal penolakannya terhadap penggunaan sirah dan tafsir, ia tidak sama sekali mengikuti pikiran Wansbrough soal orisinalitas maupun proses kanonisasi al-Qur’an. Persoalan itu bukan menjadi perhatiannya dan bahkan saat mengurai versi dan edisi al-Qur’an yang ia gunakan pada penelitiannya ini, salah satunya al-Qur’an edisi Kairo 1924, Reynolds memberikan klarifikasi yang sama sekali tidak berintensi pada upaya mempertanyakan ulang posisinya sebagai al-Qur’an standar saat ini. Hal yang berbeda jika membaca pengantarnya pada edisi The Qur’an in Its Historical Context (Routledge, 2007).
Statemennya penting untuk disajikan:

“my interest is not a historical deconstruction of the Qur’an, but rather an appreciation of the canonical text of the Qur’an in the light of Biblical literature.”

Uraian di atas mungkin sudah cukup memperlihatkan posisi Reynolds dalam peta kesarjanaan ini. Namun, mungkin masih ada pertanyaan lain, yang saya asumsikan karena begitu familiarnya tokoh ini di Indonesia dalam kajian intertekstulitas al-Qur’an dengan literatur abad antik akhir (the late antique), “apa bedanya metodologi G.S. Reynolds dengan Angelika Neuwirth?”

Reynolds menjawabnya sendiri bahwa meskipun Neuwirth membawa semangat yang sama untuk tidak membaca al-Qur’an dalam terang tafsir, namun Neuwirth masih meneruskan spirit Noldeke. Supaya lebih menyederhanakan diskusi ini, kutipan ini akan sangat membantu:

“Neuwirth argues that the Qur’an should be studied for its literary forms and its internal indications of a community of believers, not on the basis of tafsir. Despite this, Neuwirth bases her work on the traditional division of the Qur’an into Meccan and Medinan periods of Muhammad’s life .. In practice, however, her division of Suras between Meccan and Medinan is essentially that proposed by Nöldeke in the middle of the nineteenth century. Indeed, in a recent publication Prof. Neuwirth laments that more scholars have not returned to Nöldeke’s chronology, which she names the “foundation for any historical Qur’an research”.”

Sikap Reynolds terhadap Tafsir

Ketidakpuasan Reynolds terhadap tafsir (dan mufasir tentunya) yang memperlihatkan posisinya yang terkesan kontra menjadi pembuka yang pas sembari melanjutkan perbincangan sebelumnya yang belum sepenuhnya terselesaikan. Reynolds mengemukakan sikap yang ia pegang dalam menilai tafsir sebagai sumber yang tidak reliabel dalam membaca al-Qur’an ialah karena tafsir merupakan produk masyarakat yang terpisah dari asal-usul Islam dan mencerminkan kepedulian intelektual dan sektarian masing-masing sarjana (mufassir) itu sendiri.

Reynolds mengurai dalam kasus yang kompleks nan rumit, seperti halnya aẖruf muqathth’ah, para mufassir seakan tidak memiliki memori yang bisa membawa mereka memberikan penerangan atas masalah ini. Dalam Tafsīr al-Thabarī misalnya, meskipun ada beberapa tafsiran yang disampaikan al-Thabari, namun upaya yang dilakukannya sangat spekulatif untuk menjelaskan secara rasional makna dari huruf-huruf itu, bukan untuk menarasikan bagaimana kisah historis huruf-huruf ini diwahyukan.

Hal ini tentu berbeda, kata Reynolds, jika melihat mufasir memperlakukan Q.S. al-Fīl (105) yang bisa dinarasikan sebagai kisah Abrahah dan pasukan Gajah, lalu al-Lahab (111) dengan narasi kisah Abu Lahab dan istrinya. Para mufasir mampu menghadirkan narasi interpretasi karena mereka memiliki materi untuk menceritakannya. Lantas mengapa pada kasus aẖruf muqathth’ah mereka tidak mampu? Jadi apakah para mufasir itu benar-benar mewarisi original context and meaning dari para pendahulunya dan bisa dijamin ketersambungannya sampai pada masa pewahyuan al-Qur’an?

Oleh karena inilah, Reynolds menolak mentah-mentah premis Montgomery Watt yang membela mufasir dan mengatakan bahwa para mufasir sangat mungkin lupa dalam kasus-kasus seperti aẖruf muqathth’ah itu. Lalu mengapa Reynolds membawa beberapa tafsir dan memberikannya porsi dalam bukunya ini? Jawabannya, Reynolds ingin membuktikan premis penilaiannya terhadap tafsir yang tidak mampu menjadi sumber paling realiabel untuk membaca al-Qur’an.

Sebagai penutup, ulasan ringkas ini telah mencoba memotret beberapa hal penting dalam alam pikir Gabriel Said Reynolds ketika menawarkan gagasannya tentang subteks biblikal al-Qur’an. Tentu, tidak semua hal penting berhasil tercatat dan mungkin saja terlewatkan. Namun satu hal yang perlu untuk disoroti ialah nalar kritis Reynolds dan apresiasinya terhadap al-Qur’an serta studi yang berkaitan dengannya. Reynolds “berhasil” memperlihatkan kerentanan dalam konstruksi metodologi revisionis dan oleh karena itu ia ingin melihat al-Qur’an dengan cara yang berbeda dan apresiatif.
Maka, saya ingin membawa satu poin refleksi, dengan dinamika dan gairah serta model studi Qur’an di Indonesia, “apakah kita bisa melakukan hal yang sama dan mengejar apa yang telah Reynolds berhasil lakukan 15 tahun yang lalu?”

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *