Mengenal Lebih Dekat Tafsir Al-Qaul Al-Bayān Fī Tafsīr Al-Qur’ān

Pendahuluan

Khazanah tafsir Al-Qur’an memang tak pernah ada habisnya. Tafsir-tafsir baru terus lahir selama berabad-abad, mulai dari tafsir berbahasa Arab hingga yang berbahasa lokal. Dalam konteks kenusantaraan, tafsir-tafsir hadir dengan berbagai bahasa lokal, aksara, metode, dan corak penafsiran. Lokalitas ini mewarnai geliat keilmuan tafsir di bumi Nusantara.
Ulama Nusantara menorehkan tafsirnya dalam berbagai bahasa dan aksara. Ada Marāh Labīd tafsir berbahasa Arab karya Syekh Nawawi al-Bantani, tafsir al-Mishbāh karya Quraish Shihab dan al-Azhar karya Buya Hamka dalam Bahasa Indonesia, tafsir al-Ibrīz karya KH. Bisri Musthofa dalam bahasa Jawa, serta tafsir Al-Qaul Al-Bayān karya Syekh Sulaiman Arrasuli sebagai fokus utama dalam tulisan ini.

Menurut Aldomi Putra, walaupun para ulama Nusantara telah menyumbangkan karya-karya monumentalnya, mayoritas Muslim Indonesia masih lebih mengunggulkan dan merujuk ke tafsir ulama Timur Tengah. (Aldomi Putra, 2021: 5). Untuk itu, diperlukan kajian lebih mendalam atas tafsir-tafsir Al-Qur’an karya ulama Nusantara sebagai langkah utama melestarikan khazanah tafsir Nusantara.

Bacaan Lainnya

Biografi “Inyiak Canduang” Syekh Sulaiman Arrasuli

Syekh Sulaiman Arrasuli atau yang lebih populer dengan “Inyiak Canduang”, lahir pada 10 Desember 1871 M (Muharram 1297 H) di Canduang, Agam, Sumatera Barat. Nama lengkapnya adalah Muhammad Sulaiman bin Muhammad Rasul (Mustika Zed, dkk, 2021: 5). Dari nama akhir ayahnya inilah ia kemudian mendapatkan tambahan nama “Arrasuli”. Sulaiman Arrasuli wafat pada tahun 1970 dalam usia 99 tahun.

Arrasuli adalah seorang ulama multitalenta yang produktif menulis dan menerbitkan banyak karya tulis. Beberapa di antaranya adalah Pedoman Hidoep di Alam Minangkabau (Nasihat Siti Boediman) Menoeroet Garisan Adat dan Sjara’, Kitab Pedoman Puasa, Tsamarāt Al-Ihsān Fī Wiladāt Sayyid al-Insān, Al-Jawāhir Al-Kalāmiyah Fī Bayān ‘Aqāid Al-Imāniyah, Al-Qaul Al-Bayān Fī Tafsīr Al-Qur’ān, dan lain-lain.

Arrasuli berasal dari keluarga yang religius, maka tidak mengherankan jika ia kemudian tumbuh sebagai tokoh ulama yang berpengaruh di bumi Minangakabau. Sejak kecil ia dikirim untuk belajar ilmu agama ke ulama-ulama di daerah Minangkabau. Ia belajar banyak hal, mulai dari ilmu Al-Qur’an, tajwid, qiraat, ilmu hadis, fikih, tafsir, tauhid, tasawuf, bahasa Arab, dan lain-lain.

Di antara gurunya adalah Syekh Abdurrahman, Syekh Abdus Samad Tuanku Samiak, Syekh Muhammad Ali Tuanku Kolok, Syekh Abdul Salam, Syekh Muhammad Salim al-Khalidi, dan Syekh Amdullah (Asril, 2018: 59). Setelah menyelesaikan belajarnya di tanah Minang, Arrasuli kemudian bertolak ke Mekah untuk menunaikan haji dan sekaligus melanjutkan pendidikannya di sana.

Selama di Mekah, Arrasuli menghabiskan waktu dengan berguru kepada ulama-ulama kenamaan pada masa itu. Di antaranya adalah Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Muchtar al-Tharid, Syekh Sayyid Umar Bajanid, dan Syekh Sayyid Babasil al-Yamani (Mustika Zed, dkk, 2021: 19). Perjalanan intelektual ini kemudian memberikan pengaruh besar pada kontribusi Arrasuli di bumi Minangkabau.

Mengenal Tafsir Al-Qaul Al-Bayān Fī Tafsīr Al-Qur’ān

Salah satu karya monumental Syekh Sulaiman Arrasuli adalah tafsir Al-Qaul Al-Bayān Fī Tafsīr Al-Qur’ān. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu Minangkabau menggunakan aksara Arab-Melayu atau Jawi. Fokus penafsirannya adalah surat-surat pendek (juz amma) yang lazim dijadikan bacaan dalam salat. Arrasuli mengungkapkan bahwa penulisan tafsir ini bertujuan sebagai penghela kekhusyukan dalam salat.

Tafsir Al-Qaul Al-Bayān ditulis karena adanya permintaan dari sebagian kerabat agar beliau menuliskan tafsir berbahasa Melayu. Pada awalnya, Arrasuli meragu antara meluluskan permintaan tersebut atau tidak. Menurutnya, untuk menafsirkan Al-Qur’an seseorang harus menguasai minimal 12 macam ilmu, yaitu ilmu Al-Qur’an, qiraat, ilmu hadis, ilmu ushul, dan lain-lain (Sulaiman Arrasuli, 1346 H/1929 M: 1).

Arrasuli menuliskan tafsirnya, Al-Qaul Al-Bayān, dengan sistematika yang cukup sederhana. Ia memulainya dengan memberikan mukadimah yang menerangkan alasan penulisan tafsir, penamaan, penjelasan singkat tentang tafsir, dan menjelaskan makna kalimat istiazah. Selain itu, Arrasuli juga menambahkan tafsir surat Al-Fatihah sebagai pembuka pada tafsirnya.

Sebelum memulai penafsirannya, Arrasuli terlebih dahulu memberikan penjelasan singkat mengenai asbabunnuzul surat, kategori makkiyah-madaniyah, jumlah ayat, jumlah kalimat, bahkan sampai jumlah huruf. Secara umum, Arrasuli menampilkan ayat Al-Qur’an yang hendak ditafsirkan. Kemudian memberikan terjemahan dan menjelaskan makna ayat secara singkat.

Penafsiran sederhana semacam ini disebut ijmali, yaitu metode penafsiran ayat secara global. Walaupun begitu, Arrasuli juga mengutip hadis Nabi sebagai rujukan dalam beberapa kesempatan, baik kutipan langsung maupun tidak. Kutipan hadis tersebut tersebar di beberapa halaman, yaitu halaman 5, 33, 45, 54, 83, 84, 92, 118, dan 123. Kutipan hadis ini berfungsi sebagai penjelas asbabunnuzul dan makna ayat.

Lokalitas Tafsir Al-Qaul Al-Bayān Fī Tafsīr Al-Qur’ān

Jika ditilik dari aspek corak penafsiran, maka Al-Qaul Al-Bayān ini masuk pada kategori al-Adab wa al-Ijtimā’i. Hal ini menjadi jelas karena penafsiran Al-Qur’an di Minangkabau amat menonjolkan lokalitas dalam penafsirannya. Contohnya adalah ketika beliau menafsirkan QS. Al-Mā’ūn [107]: 2 dengan menyentuh aspek lokal, yaitu tindakan masyarakat Minang terhadap anak yatim (Aldomi Putra, dkk, 2021: 312-313).

Arrasuli beberapa kali melayangkan kritiknya atas praktik-praktik keagamaan di Minangkabau, seperti kritiknya pada kelompok Wahabi yang menyalahkan dan melarang amaliah-amaliah “Kaum Tuo”, seperti berdoa setelah salat fardu (Sulaiman Arrasuli, 1346 H./1929 M: 89). Selain itu, ia juga mengkritik guru-guru tarikat yang sunyi akan ilmu, yang mencari untung melalui wirid-wirid dan zikir-zikir (Sulaiman Arrasuli, 1346 H./1929 M: 129).

Arrasuli menuliskan tafsirnya ini sebagai respon atas permintaan beberapa kerabat agar ia menuliskan tafsir Al-Qur’an berbahasa Melayu. Pada awalnya, ia ragu apakah akan menuruti permintaan tersebut atau tidak. Namun, setelah bimbang hatinya menyirna, ia kemudian menuliskan tafsirnya dengan tujuan sebagai penghela atau pembawa khusyuk dalam salat.
Menurut Aldomi Putra, penggunaan bahasa Minang dalam tafsir ini sangatlah wajar, hal ini karena sosok Syekh Sulaiman Arrasuli adalah tokoh yang begitu melekat dengan bahasa lokal Minangkabau (Aldomi Putra, 2021: 310). Ini tidak mengherankan, karena Arrasuli pun dalam mukadimahnya menyebut bahwa tafsirnya ditulis dalam bahasa Melayu-Minang.

Penulis menemukan sekitar 14 kosa kata dalam Bahasa Minang yang dipakai dalam tasir Al-Qaul Al-Bayān ini. Beberapa di antaranya adalah diburu, nan, kalamnya/mengalamkan, galak, menggantang, camin, masiak, baun, kuduak, urang, malintang, berpitaruah, dilantiangkan, dan tagah/menegah. Keterserapan bahasa lokal ini menunjukkan melekatnya bahasa Minang dengan sosok Sulaiman Arrasuli.

Kata diburu berarti ‘diusir’, nan berarti ‘yang’, kalamnya/mengalamkan berarti ‘gelapnya/menggelapkan’, galak berarti ‘tertawa’, menggantang berarti ‘menakar/mengukur’, camin berarti ‘cermin’, masiak berarti ‘kering’, baun berarti ‘bau’, kuduak berarti ‘tengkuk’, berpitaruah berarti ‘berpetaruh/berwasiat’, dilantiangkan berarti ‘dibuang/dilemparkan’, tagah/menagah berarti ‘larang/melarang’ (Marah Rusmali, dkk, 1985: 49, 196, 193, 261, 99, 54, 190, 37, 151, 315, 177, 224, 163, 280).

Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Qaul Al-Bayān Fī Tafsīr Al-Qur’ān

Kelebihan tafsir ini tentunya adalah dari sisi kebahasaan. Penggunaan Bahasa Melayu memudahkan para pembaca untuk memahami dan mempelajari tafsir tanpa harus menguasai Bahasa Arab terlebih dahulu. Di samping itu, pembubuhan catatan kaki juga bisa dinilai sebagai nilai lebih. Catatan kaki ini berfungsi sebagai penjelas untuk kata-kata muskil yang sukar dipahami.

Sulaiman Arrasuli setidaknya membubuhkan sekitar 25 catatan kaki yang tersebar di berbagai halaman, seperti pada halaman 1, 8, 12 (2 buah catatan kaki), 13, 20, 22, 23 (2 buah catatan kaki), 24, 28 (2 buah catatan kaki), 32, 35, 42, 60, 66, 68, 74, 78, 84 (2 buah catatan kaki), 92, 121, dan 122.

Sebuah karya tentu saja bukan tanpa kekurangan. Menurut penulis, setidaknya ada 5 hal kekurangan dalam tafsir ini. Pertama, struktur kebahasaan yang cukup pelik bisa membingungkan pembaca, membuatnya harus memerah otak untuk bisa menangkap pesan tafsir ini. Kedua, adanya kesalahan penulisan aksara Arab pada beberapa kata dan tidak adanya tanda baca juga menyulitkan pembacaan.

Ketiga, penulisan ayat-ayat Al-Qur’an dengan khat yang tidak memadai dan terkadang salah, serta tanpa penomoran ayat juga menyulitkan pembaca untuk menandai dan mengidentifikasi ayat-ayat tertentu yang hendak dibaca dan dipelajari tafsirnya. Keempat, pengutipan hadis tanpa menerangkan kualitas kesahihannya dan tanpa takhrij juga menjadi nilai minus tafsir ini.

Referensi

Arrasūli, Sulaimān. Al-Qaul Al-Bayān Fī Tafsīr Al-Qur’ān. Fort De Kock, Bukittingi: Mathba’ah Al-Islāmiyah, 1346 H./1929 M.
Putra, Aldomi. Tafsir Al-Qur’an Minangkabau: Epistemologi, Lokalitas, & Dialektika (Studi Tafsir Minangkabau Abad ke-20). Tangerang Selatan: Ikatan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (IMTI), 2021.
Asril. Syekh Sulaiman Arrasuli: Ulama Multi Talenta. Khazanah: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, 8 (16), 2018, 55-68.
Zed, Mustika, dkk. Biografi Inyiak Canduang: Perjalanan Hidup dan Perjuangan Syekh Sulaiman Arrasuli. Depok: Murai Kencana, 2021.
Putra, Aldomi. Lokalitas Tafsir Al-Qur’an Minangkabau (Studi Tafsir Minangkabau Abad ke-20). Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadis, 5 (1), 2021, 309-336.
Rusmali, Marah, dkk. Kamus Minangkabau-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *