Pemikiran Fazlur Rahman dalam konteks hermeneutika Al-Qur’an telah membuka ruang bagi gagasan Islam yang lebih inklusif, dinamis, dan relevan dengan kebutuhan zaman modern. Gagasan Rahman memiliki urgensi tinggi di tengah perdebatan global tentang modernisasi Islam, terutama dalam menjembatani kesenjangan antara metode penafsiran tradisional dan kebutuhan aktual masyarakat Muslim. Fokus utama dari tulisan ini adalah mengeksplorasi metodologi hermeneutika Rahman, khususnya metode double movement yang terkenal, serta bagaimana pendekatan ini memungkinkan umat Islam bersikap lebih kritis dalam memahami dan mengimplementasikan pesan-pesan moral Al-Qur’an dalam konteks kehidupan kontemporer.
Dalam konteks perkembangan pemikiran Islam, penafsiran Al-Qur’an telah melalui berbagai transformasi yang mencerminkan dinamika sosial, politik, dan intelektual di kalangan umat Muslim. Salah satu cendekiawan yang memberikan kontribusi signifikan dalam ranah ini adalah Fazlur Rahman (selanjutnya disebut Rahman), seorang pemikir Muslim terkemuka yang dikenal karena pendekatannya yang progresif terhadap penafsiran teks-teks suci.
Rahman berupaya mengkaji prinsip-prinsip dasar dari metode dan konsep pembaruan yang ia kembangkan, serta pentingnya pemahaman tematik dan kontekstual yang membentuk gagasan dan cara berpikir yang mendalam dan relevan dengan konteks zaman. Pemikiran ini menjadi landasan metodologisnya dalam memahami teks, sebagaimana tercermin dalam banyak karyanya, seperti Major Themes of the Qur’an, Islamic Methodology in History, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oneworld Publications, 1999), Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (University of Chicago Press, 2011), dan Islam (University of Chicago Press, 1979).
Melalui gagasannya, Rahman mengkritik metode penafsiran tradisional yang cenderung terjebak dalam pembahasan detail-detail teknis dan komentar berlebihan tanpa melihat relevansi ajaran tersebut dalam konteks kekinian. Sebagai contoh, metode penafsiran tradisional yang lebih berfokus pada aspek literal dan gramatikal sering kali mengabaikan relevansi kontekstual dari pesan Al-Qur’an dalam kehidupan modern (Femi Putri Nursyifa, dkk, 2023:11).
Lebih lanjut, ia mengkritik para ahli tafsir abad klasik dan pertengahan atas kegagalan sistematis mereka dalam menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia) yang universal dan efektif, yaitu pandangan yang kohesif dan bermakna bagi keseluruhan kehidupan dari Al-Qur’an. Rahman menyimpulkan bahwa terdapat kebutuhan mendesak untuk mengembangkan teori hermeneutika yang dapat membantu untuk memahami makna Al-Qur’an secara komprehensif sehingga bagian teologis Al-Qur’an dan bagian akhlak serta etika-hukumnya dapat membentuk kesatuan yang utuh (Rahman, 1982: 45).
Sebagai pelopor neo-modernisme Islam, Rahman berusaha menjembatani ketegangan antara pemikiran tradisional Muslim dan pemikiran modern Barat. Ia menyadari bahwa sikap ekstrem yang hanya berpegang pada salah satu pendekatan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam memahami Islam. Di sisi lain, mengabaikan salah satu pendekatan sepenuhnya dapat menyebabkan hilangnya warisan tradisi yang bernilai penting. Oleh karena itu, prinsip Ushul Fiqh yang berbunyi al-muḥâfazhatu ‘alâ al-qadîm al-shâliḥ wa al-akhdzu bi al-jadîdi al-ashlâḥ, yang berarti “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik,” menjadi sangat relevan dalam mengatasi ketegangan ini.
Melalui upaya hermeneutika ini, Rahman (1982: 14) sampai pada kesimpulan bahwa fokus utama Al-Qur’an adalah perilaku manusia. Dengan kata lain, Al-Qur’an secara keseluruhan adalah panduan etika dalam hubungan antar manusia. Menurutnya, etika adalah inti dari ajaran Al-Qur’an dan menjadi mata rantai penting yang menghubungkan teologi dan hukum (Rahman, 1982: 154).
Selanjutnya, Rahman berupaya mengintegrasikan gagasan-gagasan klasik Islam dengan apresiasi terhadap temuan dan metodologi ilmu pengetahuan Barat (Ajahari, 2016). Rahman menyadari bahwa membedakan antara aspek positif dan negatif dari suatu pemikiran bukanlah hal yang sederhana, sehingga diperlukan alat verifikasi yang andal. Ia meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan satu-satunya tolok ukur utama kebenaran dalam agama.
Namun, karena Al-Qur’an sebagai teks suci terbuka terhadap berbagai interpretasi yang sering kali bersifat subjektif, diperlukan perangkat teoritis yang dapat memastikan pembacaan yang lebih objektif dan sistematis. Oleh karena itu, Rahman kemudian memusatkan perhatian pada pengembangan metodologi untuk memahami Al-Qur’an secara lebih terstruktur dan relevan dengan konteks zaman. ( Garwan, 2020: 59).
Seperti yang telah disampaikan di awal tulisan ini, aspek historis menjadi gagasan yang paling dipertimbangkan Rahman dalam pemikiran hermeneutikanya. Ia meyakini bahwa pemahaman Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari konteks sosio-historis saat wahyu tersebut diturunkan. Rahman berpendapat bahwa setiap ayat Al-Qur’an memiliki latar belakang historis tertentu yang memengaruhi pesan dan tujuan dari ayat tersebut. Oleh karena itu, untuk memahami pesan moral dan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya, seseorang harus memahami konteks awal dari wahyu tersebut (Rahman, 1982: 5-7).
Pendekatan ini terwujud dalam metode double movement atau gerakan ganda yang diperkenalkan oleh Rahman. Metode ini memiliki dua tahapan yaitu pertama memahami latar belakang historis ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk konteks sosial, budaya, dan politik pada masa Nabi Muhammad dan kedua menarik prinsip-prinsip universal dari ayat-ayat tersebut, yang kemudian diterapkan dalam konteks kehidupan manusia di masa kini (Rahman, 1994: 12-15). Menurut Rahman, tanpa memahami konteks awal wahyu, pembacaan terhadap Al-Qur’an cenderung bersifat literal dan atomistik (terpisah-pisah) sehingga tidak mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer (Garwan, 2020: 59).
Selain itu, perhatian terhadap aspek historis juga berkaitan dengan kritik Rahman terhadap pendekatan para mufassir klasik dan fuqaha (ahli hukum Islam). Para mufassir klasik, menurutnya, cenderung terjebak dalam penafsiran literal yang mengabaikan konteks historis dan lebih berfokus pada hukum-hukum partikular dari ayat-ayat tertentu. Padahal, Al-Qur’an, menurut Rahman, bertujuan untuk membentuk pandangan dunia yang komprehensif dan panduan moral bagi perilaku manusia. Oleh karena itu, mengabaikan konteks historis akan menghilangkan esensi dan tujuan utama dari wahyu itu sendiri (Saeed, 2006: 46-50).
Sebagai pendukung pendekatannya, Rahman mengutip prinsip kaidah ushul fiqh, yaitu al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafẓi lâ bi khusûs as-sabâb (yang diperhatikan adalah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab). Namun, ia memberikan tafsiran baru terhadap prinsip ini. Bagi Rahman, memahami sebab khusus dari turunnya ayat (asbâb al-nuzûl) tetap penting, tetapi tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pesan moral universal yang bisa diterapkan di luar konteks tersebut. Inilah mengapa aspek historis menjadi perhatian utama, karena tanpa memahami sebab khusus dari turunnya ayat, akan sulit untuk menarik nilai-nilai universal dari ayat tersebut (Rahman, 1994: 12-15; Saeed, 2006: 48).
Melalui pendekatan gerakan ganda ini, Rahman tidak hanya berusaha menghidupkan kembali nilai-nilai etika dan moral dalam ajaran Islam, tetapi juga menawarkan solusi bagi kebutuhan masyarakat modern yang terus berkembang. Contoh tantangan global yang dapat diatasi melalui pendekatan ini adalah isu-isu kesetaraan gender, keadilan sosial, dan kebebasan beragama. Kerangka kerja yang ia tawarkan memungkinkan umat Islam untuk menjembatani tradisi dan modernitas, menciptakan pemikiran Islam yang lebih dinamis dan adaptif.
Pendekatan ini semakin relevan di tengah tantangan global yang dihadapi masyarakat Muslim saat ini. Di era modern, diperlukan pemahaman ajaran Islam yang mendalam dan aplikatif untuk membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan beradab. Rahman memberikan dasar bagi umat Islam untuk tidak hanya mempertahankan nilai-nilai keislaman, tetapi juga berkontribusi secara aktif dalam peradaban global.
Kesimpulan
Hermeneutika Fazlur Rahman, terutama metode double movement, memberikan paradigma baru dalam penafsiran Al-Qur’an. Melalui perhatian terhadap konteks historis dan penggalian nilai-nilai universal, metode ini menjembatani kesenjangan antara tradisi keislaman dan kebutuhan modernitas. Pendekatan ini tidak hanya memungkinkan pembaruan pemikiran keislaman, tetapi juga membuka ruang dialog yang lebih luas antara Islam dan peradaban global.
Kontribusi Rahman terhadap hermeneutika Al-Qur’an sangat relevan di tengah tantangan modernitas. Dengan metode yang memungkinkan dialog antara tradisi dan modernitas, Rahman menciptakan kerangka penafsiran yang responsif terhadap perubahan zaman. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut tentang penerapan metode ini terhadap isu-isu kontemporer, seperti kesetaraan gender, pluralisme, dan keadilan sosial, sangat diperlukan. Ini tidak hanya akan memperkaya wacana keislaman, tetapi juga memperkuat relevansi Islam di era modern.
Referensi
Ajahari, “Pemikiran Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun,” dalam Jurnal IAIN Palangkaraya, 2016.
Garwan, M.S. “Relasi Teori Double Movement Dengan Kaidah Al-Ibrah Bi Umumil-Lafdz La Bi Khusus As-Sabab Dalam Interpretasi QS. Al-Ahzab (33): 36-38,” dalam Jurnal Ushuluddin, Vol 28 No 01 Tahun 2020.
Nursyifa, Femi Putri, dkk, “Criticism of Fazlur Rahman’s Al-Qur’an Hermeneutics,” dalam Journal of Ulum Al-Qur’an and Tafsir Studies, Vol 02 No. 01 Tahun 2023.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity (Transformation of an Intellectual Tradition). London: The University of Chicago Press, 1982.
Rahman, Fazlur. Major Themes of The Qur’an. Chicago: Bibliotheca Islamica, 1994.
Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London: Routledge, 2006.