Peran Sosial Manusia menurut Aisyah Abdurrahman Bint Al-Syathi’

Di dalam Al-Qur’an, manusia disebut dengan istilah yang memuat pesan-pesan khusus yang berbeda dari pengertian lain. Sangat banyak kamus dan kitab-kitab yang ditulis oleh para mufassîr disinyalir bahwa lafadz-lafadz tersebut sinonim sifatnya. (Aisyah Bintu Syathi’, 2003: 1)

Para ahli sosiologi menyebut manusia sebagai makhluk sosial. Ia hidup berdampingan dengan yang lain. Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat, tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain (Uci Sanusi dan Rudi Ahmad Suryadi, 2015: 3). Terdapat beberapa mufassîr yang memiliki perhatian lebih terhadap manusia sehingga terciptalah karya yang membahas tentang manusia.

Bacaan Lainnya

Salah satu mufassir yang menulis sebuah karya tentang manusia adalah Aisyah Abdurrahman dengan nama penanya Bint Al-Syathi’. Beliau seorang mufassîr dan pakar bahasa kontemporer dari Dumyat, Mesir yang terkenal dengan karya tafsirnya berjudul Al-Tafsîr Al-Bayâni li Al-Qur’an Al-Karîm (Fatimah Bintu Thohari, 2016: 89).

Manusia telah disebut di dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat dengan pemaknaan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dan kekurangan sebagaimana fitrah atasnya. Begitupun manusia juga sebagai makhluk yang dapat melakukan kebaikan dan juga berpotensi berbuat keburukan (Abbas Mahmud Al-Aqqad, 2005: 10).

Maka, berikut paparan penulis tentang peran manusia dalam lingkup sosial menurut Aisyah Abdurrahman Bint Al-Syathi’. Kajian ini bertujuan selain mengenalkan diri manusia secara sosiologis ataupun psikologi dalam kehidupan, juga menuntun manusia untuk lebih dekat dengan Allah Subhânahu wa Ta’âla.

Peran Manusia dalam Mu’âmalah dengan Manusia Lainnya

Bint Al-Syathi’ menulis dalam tafsirnya bahwa manusia memikul amanah dan tanggung jawab, walaupun kadang-kadang manusia lupa asal-usul dan tempat kembalinya yaitu Allah. Sehingga tidak jarang manusia yang melupakan beberapa tanggung jawabnya sebagai hamba Allah (Aisyah Abdurrahman, 1977: 18 dan 27).

Dalam hal mu’âmalah dengan manusia lainnya, Bint Al-Syathi’ menyebutkan bahwa manusia harus saling menyayangi antar sesama. Sebagaimana Allah Subhânahu wa ta’âla berfirman dalam Surah Al-Balâd [90]: 17,

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ.

“Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang”

Dalam menafsirkan ayat diatas, Bint Al-Syathi’ menyebutkan bahwa salah satu bentuk kemulian manusia yaitu dengan saling mengajak kepada kesabaran dan berkasih sayang (Aisyah Abdurrahman, 1977: 188).

Kata “التواصوا بِالصبر والتواصي بالمرحمة” di dalam ayat ini bersanding dengan kata iman menggunakan waw mufîdah yang menunjukkan hubungan tanpa tingkatan, menandakan bahwa iman itu bersemayam di dalam jiwa yang baik, menjaga perasaan dan mampu bekerja keras, berderma dan saling berkasih sayang antar sesama. Iman dihubungkan dengan pemahaman tentang hak-hak sosial untuk saling mengingatkan dalam kesabaran dan kasih sayang (Aisyah Abdurrahman, 1977: 189).

Sabar yang dimaksudkan juga dalam hal tanggung jawab demi kebaikan, saling megasihi dan meyayangi untuk menjadikan manusia saling bersaudara, bekerja sama dan saling memiliki keterhubungan yang seolah-olah menyatukannya dalam satu anggota tubuh. Jika salah satunya sakit, maka anggota lain ikut merasakan (Aisyah Abdurrahman, 1977: 189).

Selain perintah dalam kesabaran dan berkasih sayang, Bint Al-Syathi juga menyebutkan dalam tafsirnya bahwa iman yang benar dan murni tidak akan sempurna jika di dalamnya masih terjadi perbudakan manusia dan orang-orang yang sewenang-wenang pada anak yatim serta tak mau menyantuninya (Aisyah Abdurrahman, 1977: 189).

Oleh karena itu peran manusia selanjutnya dalam hal mu’âmalah adalah senantiasa menyantuni anak yatim dan tidak sewenang-wenang terhadapnya. Sebagaimana Allah Subhânahu wa ta’âla berfirman dalam Surah Ad-Dhuhâ [93]: 9,

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ.

“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”

Dilihat bahwa isyarat intuitif dalam kalimat falâ taqhar lebih dalam dan lebih cermat daripada ketentuan yang diberikan penafsiran-penafsiran yang terbatas. Sebab tidak ada pengertian tidak didzalimi dan dikuasai dengan cara menyakitkan dan menahan hak yang lebih mendalam daripada arti yang diberikan firman Allah dalam falâ taqhar (Aisyah Abdurrahman, 1977: 51-52).

Selain itu, bisa saja kesewenang-wenangan terjadi bersamaan dengan perlakuan yang baik terhadap anak yatim. Sebab seorang anak yatim bisa saja tersakiti hatinya oleh perkataan yang kasar, pandangan sinis, dan sindiran yang menyakitkan sekalipun hal ini dilakukan tanpa disertai dengan penguasaan atau perampasan harta dan haknya (Aisyah Abdurrahman, 1977: 51-52).

Disini terdapat petunjuk bahwa tidak halal bagi siapapun untuk berlaku sewenang-wenang terhadap sesama makhluk, terlebih lagi terhadap anak yatim yang memerlukan pemeliharaan dan kasih sayang (Aisyah Abdurrahman, 1977: 52). Karena manusia tidak menjadi mukmin sebelum mempunyai wazi’ atau pengontrol atas dirinya, tidak memperbudak manusia lain serta tidak menutup mata terhadap hak anak yatim (Aisyah Abdurrahman, 1977: 188).

Peran Manusia dalam Khilâfah (Kepemimpinan)

Penamaan manusia dengan nama insân menjadi isyarat tingginya derajat seorang manusia yang menjadikannya layak untuk menjadi seorang khalîfah. Sebagaimana kisah manusia pada awal mulanya. Kala itu Allah memberitahukan kepada para malaikat mengenai penciptaan Adam dan menjadikannya khalîfah di muka bumi (Aisyah Abdurrahman, 1119: 26).

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah [2]: 30,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً….

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalîfah di muka bumi …”

Aisyah Bint Al-Syath’i menyebutkan dalam tafsrinya bahwa manusia diberikan kekhususan oleh Allah dengan ilmu pengetahuan, kemampuan berbicara sebagaimana diberikannya tanggung jawab untuk mengemban amanah dengan kelebihan-kelebihan tersebut (Aisyah Abdurrahman, 1977: 82).

Allah Subhânahu wa ta’âla berfirman dalam Surah Al-Alaq [96]: 4-5,

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5).

“Yang mengajar manusia dengan perantara kalam(4). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya(5.)”

Ilmu menurut Bint Al-Syathi’ adalah mengetahui hakikat sesuatu sebagaimana adanya. Adapun al-qalâm menurutnya adalah alat untuk menulis karena sebagaimana telah ditafsirkan oleh At-Thobari dengan mengatakan bahwa manusia telah diajar menulis dengan pena akan tetapi dia belum mengetahinya (Aisyah Abdurrahman, 1977: 22).

Kembali Bint Al-Syathi’ menjelaskan tentang terma al-bayân dalam Al-Qur’an yang disebut sebanyak 3 kali. Salah satu diantaranya adalah firman Allah Subhânahu wa ta’âla dalam Surah Ar-Rahmân [55]: 1-4.

الرَّحْمَنُ (1) عَلَّمَ الْقُرْآنَ (2) خَلَقَ الْإِنْسَانَ (3) عَلَّمَهُ الْبَيَانَ(4).

“(Tuhan) Yang Maha Pemurah (1) Yang telah mengajarkan Al-Qur’an (2) Dia menciptakan manusia (3) Mengajarnya pandai berbicara (4).”

Kata bayân dalam Al-Qur’an disebut tiga kali. Semuanya tersusun dalam satu kalimat berkaitan dengan Al-Qur’an yang diturunkan kepada seorang nabi dari kalangan Arab yang ummi tidak pandai baca tulis (Aisyah Abdurrahman, 1119: 45). Kemampuan berbicara sebagaimana diterangkan Al-Qur’an merupakan potensi dasar kemanusiaan.

Para filosof dan para pemikir berusaha mencari kelebihan-kelebihan manusia yang dapat membedakannya dengan makhluk lain. Maka keahlian berbicara inilah yang merupakan keahlian khusus yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya (Aisyah Abdurrahman, 1119: 46).
Keahlian berbicara itu adalah alat manusia untuk mengungkapkan dan sarana mengejawantahkan kemampuan berpikir, kecakapan belajar, yang dengan itu semua manusia memiliki hak kekhalifaan di muka bumi (Aisyah Abdurrahman, 1119: 48).

Peran Manusia dalam Dakwah

Bint Al-Syathi’ menyebutkan bahwa sesungguhnya manusia memiliki tanggung jawab pribadi dengan iman dan amal shalihnya. Kemudian juga tanggung jawab berupa menyeru kepada kebaikan. Adapun tanggung jawab sosial itu ialah amar ma’rûf nahi munkar dan ini merupakan dasar dari dakwah Islam itu sendiri (Aisyah Abdurrahman, 1977: 88-93).

Barangsiapa yang senantiasa beriman kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan senantiasa mengajak pada kebenaran dan kesabaran maka dia tidak akan pernah merugi selamanya (Aisyah Abdurrahman, 1977: 85). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhânahu wa ta’âla dalam Surah Al-‘Ashr [103]: 1-3,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3).

“Demi Masa (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati dalam kebenaran dan nasehat menasehati dalam kesabaran (3)”

Menurut Aisyah Bint Al-Syathi’, kata at-tawashau di dalam ayat diatas bermakna wasiat antar sesama. Sedangkan al-haq menurutnya adalah lawan dari kebatilan. Dan dibeberapa ayat, kata al-haq sering dimaknai dengan wahyu dan risâlah keagamaan. Selain itu, kata al-haq yang disebutkan sebanyak 227 kali itu juga memiliki makna yang berbeda-beda. Diantaranya dimaknai sebagai agama, wahyu dan juga nama Allah yang baik (Aisyah Abdurrahman, 1977: 88-89).

Adapun kata ash-shabru di dalam ayat diatas, menurut Imam At-Thobari, ash-shabr sebagai kesabaran atas amal shalih dalam menaati Allah Subhânahu wa ta’âla (Ath-Thabari, 1994: 563). Imam Az-Zamkhasyari juga menyebutkan bahwa ash-shabr adalah kesabaran diatas maksiat, kesabaran diatas ketaatan dan sabar atas setiap ujian dari Allah untuk hamba-Nya (Az-Zamkhasyari, 1998: 427).

Aisyah Bint Al-Syathi’ menemukan ayat-ayat tentang kesabaran dalam Al-Qur’an yang berisi perintah ilâhi kepada Rasulullah untuk bersabar. Kesabaran di dalamnya berkaitan dengan beban yang ditanggung oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallâm dalam menyampaikan risâlah (Aisyah Abdurrahman, 1977: 91).

Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa at-tawashau bisshabr yaitu kesabaran dalam menghadapi musibah juga takdir, dan sabar atas orang-orang yang mencelakakan mereka yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar (Ibnu Katsir, 1419: 457).

Inilah tanggung jawab sosial manusia. Memenuhi hak-hak banyak orang dengan saling menyeru kepada kebaikan dengan amar ma’ruf nahi munkar dan saling menyeru pada kesabaran (Aisyah Abdurrahman, 1977: 92).

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa peran sosial manusia menurut Aisyah Bint Al-Syathi’ terdapat dalam tiga kategori yaitu, dalam mu’âmalah, dalam khilafah dan peran manusia dalam dakwah.
Dalam mu’âmalah, manusia harus saling berkasih sayang, tidak sewenang-wenang terutama pada anak yatim. Iman yang benar dan murni tidak akan sempurna jika di dalamnya masih terjadi perbudakan manusia dan orang-orang yang sewenang-wenang pada anak yatim serta tak mau menyantuninya.

Dalam khilâfah, manusia dengan keahlian pandai berbicara dan dianugerahi ilmu pengetahuan. Maka keahlian berbicara itu adalah alat manusia untuk mengungkapkan dan mengejawantahkan kemampuan berpikir serta dengan itu semua manusia berhak menjadi khalîfah di muka bumi.

Dan dalam dakwah, manusia memiliki tanggung jawab untuk saling amar ma’ruf nahi munkar. Karena barangsiapa yang senantiasa mengajak pada kebenaran dan kesabaran maka dia tidak akan pernah menjadi orang yang merugi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Aisyah. Maqâlun fi Al-Insân. Kairo: Daarul Ma’arif, 1119.
¬___________________. At-Tafsîr Al-Bayâni li Al-Qur’an Al-Karîm. Jilid 1, Kairo: Daarul Ma’arif), 1977.
___________________. At-Tafsîr Al-Bayâni li Al-Qur’an Al-Karîm. Jilid 2, Kairo: Daarul Ma’arif, 1977.
Ad-Damasky, Ibnu Katsir. Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Adzîm. Jilid 8, Beirut: Dârul Kutub Al-Ilmiyah, 1419.
Al-Imam Ath-Thabari. Tafsîr Ath-Thabâri. jilid. 7, Beirut: Muassasah Ar-Risâlah, 1994.
Bintu Thohari, Fatimah. “Aisyah Abdurrahman Bint Al-Syathi’: Mufassir Wanita Zaman Kontemporer,” dalam Jurnal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 1 Tahun 2016.
Bintu Syathi’, Aisyah. terj. Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2003.
Mahmud Al-Aqqad, Abbas. Al-Insan fi Al-Qur’an. Mesir: Nahdha Mesir, 2005.
Mahmud bin Amr Az-Zamkhasyari, Abi Al-Qasim. Al-Kasyf. Riyadh: Maktabah Al-Abikan, 1998.
Sanusi, Uci, et.al. Kenali Dirimu: Upaya Memahami Manusia dalam Al-Qur’an. Yogyakarta : Penerbit Deepublish, 2015.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *