Siapakah Ulama? Mendedah Diskusi Mufasir mengenai Surah Fâthir (35): 28

Sekitar lima tahun lalu di tengah bergemanya tagar #2019GantiPresiden, seorang politikus salah satu Partai Islam menyebut calon wakil presiden jagoannya sebagai ulama. Sebagian publik tidak menerima sebab istilah “ulama” di tengah masyarakat kita kadung dimonopoli oleh para pakar agama. Sedang calon wakil presiden itu “sebatas” pakar di bidang ekonomi, bisnis.

Namun, terlepas dari itu semua, artikel ini mencoba menelisik makna ulama di dalam diskusi para mufasir lintas zaman pada karya tafsir mereka. Kata ulama sendiri dalam Al-Qur’an hanya disebut dua kali. Pertama pada surah al-Syu‘arâ’ (26): 197 dan kedua, pada surah Fathir (35): 28. Tulisan ini hanya fokus pada bagaimana para mufasir memaknai kata ulama di surah Fathir (35): 28.

Bacaan Lainnya

Diskusi Para Mufasir Klasik Menyoal Makna Ulama

Di antara mufasir klasik awal, Ibn Jarir al-Thabari (310 H) memaknai frasa yakhsyallâh sebagai yakhâfullâh atau takut kepada Allah. Demikian, karena ulama, terang al-Thabari mengetahui akibat dari ketaatan dan akibat dari berbuat menyimpang dari perintah Tuhan. Ulama tahu betul betapa Allah Maha Kuasa, mampu berbuat apa saja, sehingga wajar saja mereka takut bermaksiat kepada Allah.
Tidak hanya itu, ketika memaknai potongan ayat tersebut al-Thabari mengutip sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbas yang menyatakan bahwa kata yakhsâ berarti ya‘lamu yang berarti mengetahui bukan takut. Para ulama mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (al-Thabari, 20/463).

Ibn Faris, ahli leksikal bahasa Arab juga menyatakan hal serupa bahwa kata khasyiya berkonotasi mengetahui (Ibn Faris, 1979, 2/184). Ini menarik karena bahwa kata yakhsyâ dapat dimaknai dua arti sekaligus: takut dan tahu. Para ulama itu takut karena pengetahuannya kepada Allah, bukan takut karena ketidaktahuannya kepada Allah.

Di samping itu, al-Thabari juga mengutip riwayat yang uniknya, tidak dikutip oleh para mufasir setelahnya. Riwayat tersebut berbunyi: kafâ birrahbati ‘ilman, cukuplah rasa takut sebagai pengetahuan. Akan tetapi, masih menurut Ibn Faris kata “rahaba” semakna dengan kata “Diqqah” yang berarti Ketangkasan, kecekatan, ketelitian, keakuratan, kemahiran. (Ibn Faris, 1979)

Makna yakhsyâ yang mengandung dua makna sekaligus diperkuat dengan pendapat al-Samarqandi (w. 373 H) dirinya berujar bahwa para ulama mengenali ciptaan Allah serta merenungkannya (Al-Samarqandi, n.d.). Tidak heran penafsiran seperti ini muncul, sebab sebelum ayat “khasyyah ‘Ulama’” Allah terlebih dahulu menjelaskan tentang alam semesta dengan segala keajaibannya.

Sedang al-Zamakhsyari (w. 538 H) ketika menafsirkan ayat ini lebih fokus kepada gaya kebahasaan Al-Qur’an. Struktur kalimat bahasa Arab yang diawali kata kerja (jumlah Fi‘liyyah) pada umumnya terdiri dari fi‘il (Predikat), Fa‘il (subjek) dan Maf‘ul (objek). Namun, dalam ayat ini susunannya menjadi fi‘il (yakhsya), maf‘ul (Allah) dan fa‘il (al-‘Ulama) dengan mendahulukan maf‘ul dari fa‘ilnya.

Al-Zamakhsyari mengemukakan bahwa susunan seperti ini, di mana fa’il diletakkan setelah maf’ul bih, memiliki dua kemungkinan makna: pertama, Jika susunannya fi’il, maf’ul bih, fa’il seperti yang tampak pada ayat tersebut, maka artinya adalah “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” Makna ini menunjukkan bahwa hanya ulama yang benar-benar takut kepada Allah, sedangkan orang lain, meskipun mungkin mengaku takut, sebenarnya tidak memiliki rasa takut yang mendalam sebagaimana para ulama.

Kedua, Jika susunannya diubah menjadi fi’il, fa’il, maf’ul bih, sebagaimana jamaknya susunan kalimat bahasa Arab maka maknanya menjadi “Sesungguhnya para ulama hanya takut kepada Allah.” Makna ini menekankan ketauhidan para ulama, di mana rasa takut mereka hanya ditujukan kepada Allah dan tidak kepada siapapun selain-Nya.

Meskipun mengakui kedua kemungkinan tersebut, Al-Zamakhsyari lebih condong pada makna pertama, yaitu bahwa hanya para ulama yang benar-benar takut kepada Allah. Ia berpendapat bahwa susunan kalimat dalam ayat tersebut memang disengaja untuk mengkhususkan sifat takut kepada Allah hanya pada para ulama. Hal ini sejalan dengan pendapatnya bahwa khasyyah atau rasa takut yang dimiliki ulama bersumber dari pengetahuan mendalam mereka tentang Allah (Al-Zamakhsyari, n.d.)

Sementara itu, Ibn ‘Athiyyah (w. 546 H) membuka diskusi pada ayat ini secara lebih luas dengan merekam perbedaan pendapat mufasir mengenai tanda berhenti (waqaf). Menurutnya, mayoritas ulama memilih untuk berhenti pada kata “kadzâlik” serta menganggap ungkapan “Innamâ yakhsyallâha min ‘ibâdihî al-‘ulama’” sebagai kalimat pembuka baru. Sebaliknya sebagian mufasir lain lebih memilih berhenti pada kata “mukhtalifun alwânuh” sehingga kalimat pembuka baru berawal dari firman Allah “kadzâlik”.

Perbedaan cara berhenti itu memengaruhi pemaknaan ayat. Jika mengikuti pendapat mayoritas ulama, fenomena alam yang diceritakan pada ayat sebelumnya bukan sebagai sebab langsung timbulnya rasa takut di hati para ulama. Artinya rasa takut para ulama bukan konsekuensi dari merenungkan keanekaragaman hayati, melainkan lebih kepada pengetahuan kepada sifat Allah (Ibn ’Atiyyah, 1422, 4/436). Menurut saya, pendapat ini mengesankan adanya dualisme kepakaran antara “ulama agama” dan “ulama ilmu dunia”.

Kesan berbeda justru akan kita dapatkan dari sebagian kecil ulama yang memilih berhenti pada kata “alwânuh” dan memulai kembali dari kata “kadzâlik”. Jelas mereka kata “kadzâlik” mengimplikasikan ayat sebelumnya yang mengisahkan keajaiban alam semesta menjadi sebab hadirnya rasa takut. Jadi, rasa takut itu muncul tidak hanya berasal dari pengetahuan mendalamnya terhadap sifat Allah, tetapi juga bersumber dari perenungan mendalam mereka terhadap alam raya (’Atiyyah, 1422).

Ulama dalam Pandangan Mufasir Kontemporer

Di antara ulama kontemporer yang tegas memilih berhenti pada kata “alwânuh” dan memulai kembali dari kata “kadzâlik” adalah Ibn ‘Asyûr (w.1393 H). Al-Tahrîr wa al-Tanwîr menyebut berhenti pada kata “kadzâlik” bukan gaya bahasa khas Al-Qur’an. Oleh sebab itu, Ibn ‘Asyûr termasuk yang meyakini bahwa ulama adalah mereka yang juga memerhatikan dan memiliki pengetahuan mendalam tentang fenomena alam akan tetapi pengetahuan tersebut menjadikan dirinya takut kepada Allah bukan malah sebaliknya (Ibn ‘Asyûr, 1984, 22/304).

Selain itu, M. Quraish Shihab tampak berusaha memadukan pendapat para mufasir sebelumnya. Ia memaknai ulama sebagai mereka yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Allah dan syariat. Ia berpendapat bahwa semakin besar kadar pengetahuan seseorang tentang hal tersebut, semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah (Shihab, 2002, 11/466).

Akan tetapi, ia juga tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa ulama bisa merujuk pada mereka yang memiliki pengetahuan di bidang ilmu yang lain, seperti ilmu alam atau sosial. Menurutnya, puncak ilmu agama adalah pengetahuan tentang Allah, dan ilmuwan di bidang lain pun dapat memiliki rasa takut dan kagum kepada Allah yang lahir dari pengetahuan mereka tentang fenomena alam dan sosial (Shihab, 2002, 11/468).

M. Quraish Shihab juga menyoroti pentingnya memahami ayat ini dalam konteks keseluruhan surah Fathir. Ia menjelaskan bahwa ayat ini berbicara tentang fenomena alam dan sosial, dan bahwa Al-Qur’an menuntut agar ilmuwan di kedua bidang tersebut mewarnai ilmu mereka dengan nilai-nilai spiritual (Shihab, 2002, 11/467).

Ia menggarisbawahi bahwa ayat ini tidak hanya berbicara tentang kesatuan antara “ilmu agama” dan “ilmu umum”, tetapi juga tentang keanekaragaman dan perbedaan pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan dalam hal tanggapan manusia terhadap kebenaran kitab suci (Shihab, 2002).

Sumber Bacaan

Al-Samarqandi, A. al-L. (n.d.). Bahr al-‘ulûm.
Al-Zamakhsyari, M. ’Ibn ’Umar. (n.d.). Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid at-Tanzîl wa ‘uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh at-Ta’wîl. Dâr ar-Rayân lit-Turâts.
’Atiyyah, A. M. ’Abdul H. I. G. I. ’Abdurrahman I. T. I. (1422). Al-Muharrar al-wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz. Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Faris, I., & Ahmad, A. al-H. (1979). Mu’jam Maqâyîs al-Lughah. Beirut: Dar al-Fikr, 2, 447.
Ibn ‘Asyûr, M. T. (1984). At-Tahrîr wa at-Tanwîr. Ad-dâr at-Tûnisiah.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir al-misbah. In Jakarta: lentera hati (Vol. 11).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *