Hermeneutika Paul Ricoeur dan Relevansinya dengan Penafsiran Ayat Al-Qur’an

Le symbole donne a penser, yang berarti “simbol menimbulkan pemikiran”, merupakan slogan khas Paul Ricoeur, seorang filsuf asal Prancis yang lahir pada tahun 1913. Baginya, simbol yang terkandung dalam teks adalah bahasa yang memanggil untuk diinterpretasi. Teks sendiri didefinisikan sebagai “any discourse fixed by writing” yakni diskursus (wacana) yang dibatasi oleh tulisan. Wacana secara umum dibagi menjadi dua, yakni bahasa oral dan bahasa tulisan. Bahasa oral tidak terlalu memerlukan metode hermeneutika, sebab cenderung lebih mudah dipahami karena melekat langsung pada penuturnya. Adapun bahasa tulisan atau teks menurut Ricoeur merupakan korpus yang berdiri sendiri dan memiliki empat ciri (Najib, 2023: 159).

Ciri yang pertama adalah makna yang diungkapkan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying). Kedua, Makna yang diungkapkan tidak lagi terikat pada sang pengungkap (author), sebab intensi atau maksud asli sang pengungkap terhalang oleh teks yang telah menjadi baku. Ketiga, makna yang diungkapkan tidak lagi terikat pada konteks awal pengungkapannya. Ricoeur meyakini teks memiliki dunianya sendiri, baik dunia yang dibangun oleh teks itu sendiri, maupun dunia yang dibangun dari hubungan dengan teks lain. Keempat, makna yang diungkapkan terlepas dari audiens awal, berbeda dengan bahasa oral yang terikat pada pendengarnya. Teks ditujukan untuk audiens siapa saja dan kapan saja, tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Bacaan Lainnya

Hermeneutika Ricoeur populer dikenal dengan hermeneutika simbol. Hal ini disebabkan pandangannya bahwa kata-kata dalam teks merupakan simbol-simbol yang menggambarkan makna lain selain dari teks itu sendiri. Ada dua jenis dua simbol yang menjadi kajian hermeneutika. Pertama, simbol univocal, yaitu tanda dengan satu makna; dan kedua, simbol equivocal, tanda dengan makna ganda. Simbol-simbol equivocal menjadi fokus kajian hermeneutika yang sesungguhnya, sebab hermeneutika memang terkait dengan teks simbolik yang memiliki makna ganda (multiple-meaning) (Wasim, 2020: 12).

Ricoeur meyakini bahwa filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutika, yakni metode interpretasi yang berusaha menyingkap makna bertingkat yang terkandung dalam teks. Namun, tak hanya berhenti pada interpretasi, hermeneutika Ricoeur juga memberi penekanan terhadap refleksi filosofis atas teks. Menurut Ricoeur, teks tidak hanya menceritakan makna tentang hal-hal yang ada di dalam dirinya, tapi juga di luar dirinya, yakni tentang kehidupan manusia. Dengan demikian, hermeneutik Ricoeur bukan hanya bertujuan untuk memahami simbol dan makna dalam teks, tetapi juga untuk memahami kehidupan itu sendiri (Fuadi, 2022).

Langkah Hermeneutik Ricoeur

Upaya hermeneutik Ricoeur mensyaratkan unsur pemahaman (‘verstehen’/understanding) dan penjelasan (‘erklaren’/explanation) sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Memahami dan menjelaskan memiliki hubungan dialektis, dimana setiap pemahaman terhadap teks harus selalu disertai penjelasan sehingga didapatkan pemahaman yang kritis (Hardiman, 2015: 261). Penggabungan antara pemahaman dan penjelasan dalam satu proses penafsiran dalam hermeneutika Ricoeur meliputi tiga tahap.

Pertama, tahap pra-penafsiran. Pembaca mencoba memahami makna teks secara umum, belum sampai mendetail (pre-reflective understanding). Tahap ini juga disebut sebagai pembacaan naif (pra-pemahaman atau presuposisi), dimana pembacaan terhadap teks atau simbol dilakukan secara langsung tanpa mediasi nalar kritis. Filsuf hermeneutik sebelumnya seperti Heidegger dan Bultmann juga mengamini tahap ini, bahkan menjadikannya sebagai syarat untuk melakukan interpretasi.

Kedua, tahap penafsiran. Pembaca melakukan analisis kritis dan metodis dari pemahaman awal yang dihasilkan pada tahap pertama. Pada tahap ini, terjadi validasi, koreksi, serta pendalaman melalui analisis strukturalis-linguistik dan argumentatif rasional. Tujuan dari tahap kedua ini adalah untuk mengungkap makna “behind the text” (di balik teks) dan “within the text” (di dalam teks). Dalam melaksanakan tahap ini, Ricoeur terinspirasi oleh masters of suspicion yang menerapkan analisis kritis, yakni Sigmund Freud dengan teori psikonalisanya, Karl Marx dengan teori kelas sosialnya, serta Friedrich Nietzsche dengan filsafat moralnya.

Ketiga, tahap apropriasi (appropriation), yakni proses dialog antara pembaca dengan teks yang menghasilkan refleksi filosofis. Tidak cukup dengan analisis kritis dan metodis, seorang pembaca bagi Ricoeur harus merefleksikan makna teks, yakni dengan memperlakukan teks seolah teks tersebut berbicara tentang dirinya dan kehidupannya. Dengan demikian, lahirlah pemahaman baru sesudah memahami teks, yakni pemahaman yang lebih baik tentang dirinya dan kehidupannya. Makna inilah yang disebut oleh Ricoeur sebagai makna “in front of the text”. Bagi Ricoeur, tahapan apropriasi atau refleksi filosofis ini adalah tahapan puncak sekaligus inti. Tanpanya, tahap pertama dan kedua dalam proses penafsiran adalah sia-sia (Ricoeur, 2016:145).

Relevansi Hermeneutik Ricoeur dengan Tafsir Al-Qur’an

Setelah memahami tahapan hermeneutik Ricoeur, pertanyaan berikutnya adalah: apakah hermeneutik Ricoeur relevan dengan tafsir Al-Qur’an? Apabila melihat tujuan dari hermeneutik Ricoeur, pada dasarnya ia ingin seorang pembaca atau penafsir menghidupkan kembali makna dalam teks. Hal tersebut menurutnya dapat dilakukan dengan dialog dengan teks melalui tiga tahap yang ia rumuskan di atas. Keinginannya ini sesungguhnya relevan dengan apa yang telah dicontohkan para mufassir klasik maupun kontemporer dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Misalnya berkaitan dengan tahap pertama hermeneutiknya, yakni memahami makna teks secara umum. Apabila merujuk kitab-kitab tafsir, maka akan kita jumpai bahwa para mufassir pada umumnya memulai penafsiran dengan menjelaskan secara deskriptif sebuah surah. Mulai dari makna dari nama surah, nama-nama lain yang disandang surah tersebut, keutamaan dan kedudukannya dalam Al-Qur’an, hingga poin-poin pembahasan umum yang terkandung kandungan surah.

Tahap kedua hermeneutik Ricoeur yakni penjelasan kritis dan metodis. Pendekatan yang digunakan dalam tahap ini adalah pendekatan kebahasaan atau analisis linguistik yang melibatkan ilmu alat seperti nahwu, sharaf dan balaghah. Para mufassir yang kental dengan analisis kritis dan metodis umumnya adalah mufassir yang menggunakan metode penafsiran lughawi (linguistik) dan bil ra’yi (rasio).

Fakhruddin Ar-Razi, misalnya, dalam Mafâtih al-Ghaib menggunakan pendekatan bil ra’yi dalam menafsirkan Surah Ali Imran ayat 183. Ayat ini mengisahkan tentang orang kafir yang menolak mengimani Nabi Muhammad sebagai rasul Allah. Hal ini didasarkan pada klaim mereka bahwa nabi-nabi sebelumnya membawa hewan kurban yang dimakan oleh api dari langit, yang mereka anggap sebagai simbol penentu kenabian. Ar-Razi mengomentari ayat tersebut sebagai berikut:

“Dan ketahuilah bahwa Allah Ta’ala tidak berfirman “Sungguh telah datang kepada kalian rasul-rasul sebelumku dengan apa yang kalian katakan,” tetapi Dia berfirman: “Sungguh telah datang kepada kalian rasul-rasul sebelumku dengan membawa bukti-bukti nyata dan dengan apa yang kalian katakan.” Seandainya Nabi ﷺ berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya para nabi terdahulu telah membawa kurban ini,’ maka hal itu tidak serta-merta mengharuskan mereka untuk mengakui kenabian para nabi tersebut. Hal ini karena mendatangkan kurban ini hanyalah sebuah syarat untuk kenabian, bukan sebab kenabian. Syarat adalah sesuatu yang apabila tidak ada, menyebabkan ketiadaan dari sesuatu yang disyaratkan; namun jika ia ada, tidak harus menyebabkan adanya sesuatu yang disyaratkan.”

Penafsiran Ar-Razi di atas menunjukkan analisis kritisnya dengan pendekatan ilmu mantiq (logika) dalam mengungkap makna peristiwa dan simbol yang terkandung dalam ayat 183 Surah Ali Imran. Ar-Razi membedakan secara tegas antara syarat dan penyebab. Menurutnya, keberadaan syarat (hewan kurban dimakan api), sebagaimana anggapan orang-orang kafir, tidak serta-merta menjadi penyebab yang menentukan keberadaan sesuatu yang disyaratkan (kenabian). Dengan demikian, ketiadaan mukjizat berupa hewan kurban yang dibakar api dari langit pada Rasulullah bukanlah menjadi alasan untuk menolak kenabiannya (Ar-Razi: 2000).

Adapun mengenai tahap ketiga hermeneutik Ricoeur, yakni tahap apropriasi atau refleksi filosofis, tahap ini juga telah diterapkan oleh para mufassir, terlebih mufassir kontemporer. Apabila kita membaca tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr oleh Ibnu ‘Asyur pada ayat Ali Imran ayat 104 misalnya, selain menjelaskan mengenai mufradat dan implikasi nahwu dalam ayat tersebut, Ibnu ‘Asyur membawa pembaca melakukan refleksi makna amar ma’ruf nahi munkar dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Beliau meluruskan pemahaman sebagian orang yang berkaitan dengan konsep ini dengan mengatakan,

“…aku ingin menekankan satu syarat yang sering disalahpahami oleh sebagian orang, yaitu pernyataan sebagian ulama fiqih: Disyaratkan agar nahi munkar tidak mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar. Syarat ini sering kali merusak keutamaan amar ma’ruf nahi munkar, dan dijadikan alasan oleh kaum Muslimin untuk meninggalkan kewajiban ini.

Kesalahpahaman mereka terletak pada pemahaman maksud syarat tersebut. Yang dimaksud oleh ulama yang mensyaratkannya adalah memastikan secara yakin bahwa tindakan nahi munkar akan mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar, bukan sekadar kekhawatiran atau dugaan. Sebab, kewajiban amar ma’ruf nahi munkar bersifat pasti (qat’i) dan tidak dapat digugurkan hanya dengan dugaan yang lebih lemah.”

Dari refleksi filosofis di atas, dapat kita pahami bahwa kewajiban amar ma’ruf nahi munkar memiliki kedudukan yang tinggi dalam pandangan Ibnu ‘Asyur. Hal ini ditegaskan dengan penjelasan beliau bahwa kewajiban tersebut tidak dapat dibatalkan hanya karena adanya dugaan yang sifatnya lebih lemah.

Kesimpulan

Hermeneutika Ricoeur memiliki relevansi dengan penafsiran Al-Qur’an yang telah dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Hermeneutika Ricoeur meliputi tiga langkah: pra-penafsiran (pre-understanding), penafsiran (eksplorasi struktur dan makna teks), dan apropriasi (aplikasi makna dalam konteks kehidupan pembaca). Proses ini penting untuk dipahami oleh pegiat ilmu tafsir dan calon mufassir khususnya di era kontemporer. Dengan demikian, penafsiran tidak hanya bertujuan memahami makna literal teks Al-Qur’an, tetapi juga menjadikannya relevan dalam berbagai konteks zaman.

Daftar Pustaka

Al-Wasim, Arif. “Hermeneutika Etik Paul Ricoeur (1913-2005) dan Relevansinya Terhadap Penafsiran Al-Qur’an.” An-Nawa: Jurnal Studi Islam, 2020.
Fakhruddīn al-Rāzī. “Mafātīḥ Al-Ghaib”. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000. https://shamela.ws/book/23635/2455.
Fuadi, Ahmad. “Hermeneutik Ricouer Dan Tafsir Al-Qur’an.” Ibih Tafsir, 2022. https://ibihtafsir.id/2022/01/25/hermeneutik-ricoeur-dan-tafsir-al- quran/#_ftn5
F. Budi Hardiman, “Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida”. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Ibnu ‘Asyur, Muhammad al-Thahir. “Tafsir al- Tahrir wa al-Tanwir”. Tunisia: Dar Shuhnun li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1997.
Najib, Muhammad Miftahun. “Teori Hermeneutika Paul Ricoeur Dalam Memahami Teks Al-Qur’an.” Ar-Rosyad Jurnal Keislaman Dan Sosial Humaniora 1, no. 2 (2023): 158–60.
Ricoeur, Paul. “What is a text? Explanation and Interpretation: Studies in the theory of interpretation” edited by John B. Thompson. UK: Cambridge University Press, 2016.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *