Para Penutur Isra Mikraj: Jalinan Ayat Sebagai Penyampai Gagasan (Bagian Pertama)

Tulisan ini hendak mendedah kisah Isra Mikraj lewat bagaimana para penutur kisah tersebut merekonsturksinya dari ayat-ayat Al-Qur`an yang mereka pilih. Untuk itu, tulisan bagian pertama menyampaikan kisah Isra Mikraj itu sendiri dan bagian kedua mengurai perdebatan rekonstruksi ayat-ayatnya.

Dakwah Nabi Muhammad saw dirasakan semakin mengganggu stabilitas teologis masyarakat Makkah, terutama stabilitas kekuasaan dan ekonomi. Sesungguhnya mereka memiliki opsi membunuh Nabi, tetapi tidak dilakukan karena adanya ancaman perang saudara karena pasti keluarga Nabi akan menuntut balas. Karena itu, muncul opsi boikot sosial dan ekonomi terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib.

Bacaan Lainnya

Sebelum boikot diumumkan secara resmi, kabar tentang itu sudah sampai kepada Nabi dan umat Islam. Karena itulah, dalam rapat mendadak, diputuskan bahwa 90% umat Islam harus hijrah ke Abyssinia. Nabi sendiri dan 10% yang lain tinggal di Makkah menghadapi boikot. Hijrah ke Abyssinia adalah kesempatan bagi umat Islam untuk membangun kerjasama dengan pihak luar Makkah dan ujian ketahanan umat Islam tanpa kehadiran Nabi. Boikot juga adalah kesempatan, yaitu kesempatan untuk menguji ketahanan umat ini. Ikut dalam hijrah itu adalah Ruqayyah dan suaminya, Utsman bin Affan. Membagi dua kelompok antara yang hijrah dan yang tinggal adalah strategi jika seandainya salah satu dari dua kelompok tersebut musnah.

Selama boikot, Bani Hasyim dan Bani Muththalib dipaksa tinggal di sebuah lembah di luar Makkah bernama Shi’b Abu Thalib. Di sana mereka tinggal seperti tinggal di sebuah kamp pengungsian. Semua menderita, terutama Sitti Khadijah yang sebelum ini, hidupnya selalu berkecukupan. Tapi demi perjuangan suaminya, dia bertahan hingga tenaga dan dana paling penghabisan. Selama pengasingan itu, tidak banyak turun wahyu. Hanya ada ayat Lâ tuharrik bihî lisânaka li ta’jala bih. Inna ‘alainâ jam’ahȗ wa qur’ânah.

Menurut Mohamad Jebara, wahyu turun sebagai inspirasi bagi umat Islam, tetapi kala itu, umat Islam umumnya sedang berada di Abyssinia (Jebara, 2022: 180). Yang ada di Makkah hanyalah keluarga dekat Nabi. Kalaupun ada selain keluarga, mereka tidak mengalami boikot karena bukan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, seperti Abu Bakar dan Umar. Karena itu, wahyu jarang turun.
Boikot ternyata berlangsung lebih lama daripada yang diduga oleh umat Islam dan juga diduga oleh penduduk Makkah sendiri sehingga banyak penduduk non-Muslim Makkah yang mulai tidak nyaman dengan boikot itu. Boikot lama terjadi karena tidak ada titik temu antara kedua pihak.

Pernah ada upaya dari pihak pemboikot untuk mengambil jalan kompromi, yaitu kedua belah pihak bergantian menyembah tuhan masing-masing. Setahun semua menyembah Allah dan setahun kemudian gentian semua menyembah selain Allah. Menurut Karen Armstrong, ini menjadi penyebab turunnya Surah Al-Kafirun (Armstrong, 2022: 105). Bukan berarti Nabi tidak mau kompromi, tetapi memang keyakinan tidak bisa dipaksakan, baik memaksa untuk menyembah Allah maupun memaksa untuk tidak menyembah Allah.

Akhirnya, boikot pun berakhir setelah berlangsung sekitar tiga tahun. Bukan hanya umat Islam yang memang sangat menderita akibat boikot yang menginginkan boikot berakhir, tetapi juga banyak kelompok Quraisy yang memiliki saudara di Bani Hasyim dan Bani Muththalib yang semakin tidak tega dengan kenyataan yang terjadi. Hanya Abu Jahal yang tetap menginginkan boikot berlanjut.
Setelah boikot selesai, Nabi Muhammad Saw memulai dakwah kembali. Kali ini, tanpa kehadiran pelindungnya, yaitu Sitti Khadijah dan Abu Thalib. Sebagai bekal untuknya adalah Surah Yusuf yang turun dalam bentuk lengkap tanpa terputus. Di dalam surah itu, Nabi mendapatkan bekal tentang harapan, pengampunan, dan iman terhadap rencana jangka panjang Tuhan. Surah Yusuf memberikan cara pandang berbeda bagi Nabi terhadap peristiwa boikot yang secara lahiriah begitu menyiksa fisik, mental, dan harta beda (Jebara, 2022: 191-193).

Dakwah pertama setelah Makkah adalah ke Thaif, tempat masyarakat Makkah berlibur di villa-villa mewah mereka. Tujuan dakwah ini bukan hanya untuk mengajak penduduknya untuk menerima Islam, tetapi juga untuk meminta perlindungan karena perlindungan di Makkah sudah tidak lagi. Dakwah ini kembali tidak berjalan mulus. Beliau dilempari batu oleh anak-anak dan para budak sebagai bentuk penghinaan, bukan untuk membunuh. Namun, Nabi tidak dendam. Beliau hanya berdoa: Arjȗ min ashlâbihin man yatawallâ.

Sepulang dari Thaif inilah peristiwa Isra Mikraj terjadi. Saat itu, Nabi pulang dalam keadaan merenungi peristiwa-peristiwa terburuk dalam kehidupannya dan dakwahnya. Beliau menuju ke Hijir Ismail (Mu’nis, 1999: 15). Itu adalah tempat sakral yang hanya boleh dimasuki para tetua, termasuk kekek Nabi dahulu. Di sana beliau berbaring memejamkan mata.

Dalam keadaan setengah terjaga, Nabi mengalami Isra Mikraj. Beliau melihat Nabi Musa as menjelma lalu memeluknya dan berkata: “Hapuslah kekalutanmu, dan tenangkan dirimu, saudaraku terkasih.” Nabi Musa as memandu Nabi ke Baitul Maqdis di Yerussalem. Di sana telah menunggu para nabi dan rasul terdahulu. Mereka juga mendapatkan ujian luar biasa dalam dakwahnya. Nabi Musa as sebagai penuntun Nabi dalam Isra Mikraj adalah versi Mohamad Jebara. Versi Karen Armstrong, M. Quraish Shihab, Tariq Ramadan (Ramadan, 2007: 144), Martin Lings (Lings, 2006: 101), dan Said Ramadhan Al-Buthy (al-Buthy, 2015: 184) menyebutkan penuntun adalah Malaikat Jibril as.

Menurut M. Quraish Shihab, Isra adalah bagian dari teologi Islam karena secara tegas disebutkan di dalam Al-Qur`an, yaitu QS. Al-Isra’/17: 1. Karena itu, tidak memercayai Isra, sama dengan gugurnya keimanan. Berbeda dengan Mikraj. Ayat yang diduga berbicara tentang Mikraj adalah QS. An-Najm/53: 5-18. Karena ayat-ayat tersebut tidak disepakati tentang Mikraj, maka menolak peristiwa Mikraj tidak dianggap kufur, hanya berdosa (Shihab, 2014: 444-445).

Isra adalah perjalanan malam hari Nabi dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Yerussalem. Di Masjidil Aqsha, Nabi disambut oleh banyak nabi seperti Ibrahim, Musa, Isa, dan lain-lain sebagai bentuk persaudaraan. Ingatan tentang persaudaraan para nabi ini telah dialami sebelumnya oleh Nabi ketika di Thaif beliau bersembunyi di kebun anggur lalu datang seorang bernama ‘Addas, seorang Kristen yang berasal dari Nainawa, kota Nabi Yunus as. Kala itu, Nabi mengatakan kepada ‘Addas bahwa Nabi Yunus as adalah saudaranya karena mereka sama-sama nabi Allah.

Adapun Mikraj adalah perjalanan Nabi ke langit dan juga untuk bertemu dengan para nabi. Di langit pertama, Nabi berjumpa dengan Nabi Adam as dan penampakan neraka. Di langit kedua, berjumpa dengan Nabi Isa as dan Nabi Yahya as. Di langit ketiga, berjumpa dengan Nabi Yusuf as. Di langit keempat, berjumpa dengan Nabi Idris as. Di langit kelima, berjumpa dengan Nabi Musa as. Di langit keenam, berjumpa dengan Nabi Harun as. Di langit ketujuh, berjumpa dengan Nabi Ibrahim as, di gerbang menuju wilayah ketuhanan.

Gerbang ketuhanan disebut Sidratul Muntaha yang berarti batas terjauh pengetahuan insani. Malaikat Jibril yang menemani sejak awal tidak lagi bisa menemani hingga tahap ini. Karen Armstrong menyebutkan bahwa tidak hanya Malaikat Jibril yang ditinggalkan oleh Nabi ketika berhadapan dengan Tuhan, tetapi semua orang pun harus ditinggalkan. Bahkan dirinya sendiri pun (ego) Nabi harus ditinggalkan karena itu adalah ketundukan diri yang sesungguhnya dan kepulangan kepada sumber segala wujud (Armstrong, 2022)

Di akhir mimpi, Nabi mendapatkan perintah shalat 5 kali sehari semalam, sebuah bentuk formal dan terstruktur dari doa. Sebelumnya, Nabi tidak pernah berdoa secara formal dan terstruktur dengan bacaan dan gerakan tertentu. Formalisasi ini paling tidak memudahkan umat Islam untuk mengikutinya sebagai cara mereka untuk merendahkan hati dan membangun komunikasi dengan Allah SWT.[]

Bahan Bacaan

Armstrong, Karen, Muhammad: Rasul Allah Sepanjang Zaman, Bandung: Mizan, 2022
Al-Buthy, Said Ramadhan, The Great Episodes of Muhammad Saw: Menghayati Islam dari Fragmen Kehidupan Rasulullah Saw, Jakarta: Noura, 2015
Jebara, Mohamad, Muhammad The World Changer: Kisah Hidup Rasulullah Berdasarkan Sumber Autentik yang Jarang Diceritakan, Yogyakarta: Bentang, 2022
Lings, Martin, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, Vermont: Inner Traditions, 2006
Mu’nis, Husein, Al-Sirah Al-Nabawiyah: Upaya Reformulasi Sejarah Perjuangan Nabi Muhammad saw, Jakarta: Adiguna, 1999
Ramadan, Tariq, Muhammad Rasul Zaman Kita, Jakarta: Serambi, 2007
Shihab, M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan Al-Qur`an dan Hadits-hadist Shahih, Tangerang: Lentera Hati, 2014

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *