Saya baru saja menyelesaikan artikel jurnal menarik dari Benjamin Crowe berjudul ‘Heidegger on Religion’ yang mendiskusikan hermeneutika Heidegger mengenai agama secara umum dan teologi secara khusus. Meskipun artikel yang rilis pada Desember 2024 ini pendek—hanya 63 halaman—tetapi Crowe membahas gagasan Heidegger tentang agama dengan cukup detail. Padahal biasanya, sependek bacaan-bacaan saya tentang Heidegger selama ini, butuh ratusan halaman untuk membahas pemikiran filsuf berdarah Jerman yang satu ini. Tetapi sebelum saya mengulas artikel ini, ada baiknya jika saya memulainya dari biografi ringkas beliau terlebih dahulu.
Biografi
Martin Heidegger adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia lahir di Meßkirch pada 26 September 1889. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi rektor di sana pada 1933. Karyanya mencakup berbagai topik termasuk ontologi, teknologi, seni, metafisika, humanisme, bahasa dan sejarah filsafat. Ia sering dianggap sebagai salah satu filsuf paling penting dan berpengaruh pada abad ke-20, khususnya dalam tradisi kontinental.
Selain hubungannya dengan fenomenologi Husserl, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan filsafat pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisika dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis, artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan bagi manusia.
Meskipun Heidegger pernah belajar teologi dan olehnya mempelajari hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey di Universitas Freiburg, ia meninggalkan teologi dan memilih mendalami filsafat. Terutama filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Terlepas dari kehidupan akademiknya, Heidegger terkenal karena beberapa kontroversi seperti perselingkuhannya dengan Hannah Arendt dan juga keterlibatannya dengan partai Nazi. Meskipun begitu, Heidegger tetap penting dalam sejarah intelektual; filsafatnya memengaruhi banyak pemikir setelahnya seperti Hannah Arendt, Bultmann, Gadamer, Leo Strauss hingga Hans Jonas.
Hermeneutika Heidegger
Martin Heidegger sebenarnya sangat sedikit membicarakan tentang masalah hermeneutika. Dia bahkan tidak secara eksplisit memakai kata hermeneutika kecuali di dalam rangkaian kuliahnya tahun 1920an yang berjudul ‘Ontologie: Hermenutik der Faktizität’ (Hardiman, 2015: 102). Meskipun begitu, tidak mudah menghubungkan antara teori faktisitas Heidegger dan hermeneutika.
Menurut Budi Hardiman, apabila kata hermeneutika disambungkan dengan faktisitas, hermeneutika tidak lagi dapat dipahami sebagai “memahami” faktisitas, karena faktisitas bukan dokumen historis, artefak atau teks melainkan kenyataan eksistensial kita sebagai Dasein (Hardiman, 2015: 107).
Alasan mengapa Heidegger menamakan manusia sebagai Dasein (secara harfiah berarti berada di sana) karena Heidegger menolak keterpisahan antara subjek-objek. Itulah mengapa istilah ini tidak mengacu pada benda, melainkan pada situasi (Hardiman, 2015: 106). Menurut Anthony Thiselton, konsep Dasein menghubungkan antara masalah-masalah abstrak dan kehidupan keseharian manusia (Thiselton, 2009: 281).
Dengan begitu, bagi Heidegger, memahami adalah cara Dasein bereksistensi di dunia. Memahami bukanlah sesuatu hal yang dimiliki. Kita berada di dunia ini dengan memahami. Seandainya berada di dalam dunia tidak sebagai memahami, tentu manusia tidak akan dapat mengakses objek-objek pemahaman, seperti teks dan kehidupan sehari-hari (Hardiman, 2015: 112). Dengan demikian, dalam melakukan proses interpretasi, Dasein tidak dapat lepas dari kehidupan kesehariannya (ontis). Inilah yang kemudian menjadi dasar hermeneutikanya.
Review
Dalam artikel jurnal berjudul ‘Heidegger on Religion’ yang saya review kali ini, Crowe menampilkan Heidegger bukan sebagai ateis dalam pengertian biasa. Heidegger ateis karena dia tidak percaya kepada Tuhan dalam pengertian metafisika tradisional (posisi teologis ini persis seperti Benedictus Spinoza). Ia mengkritik konsep metafisika abstrak tentang Tuhan yang dianggap sebagai makhluk tertinggi atau penyebab pertama (first cause). Menurutnya, pandangan semacam ini mendistorsi (distorting effect) ketuhanan itu sendiri, terutama dalam hubungan-Nya dengan dunia dan pengalaman keagamaan.
Sederhananya, yang Heidegger tidak percayai adalah pendekatan kita kepada Tuhan yang muluk-muluk metafisika dan terlalu reduksionis. Seperti pandangan para filsuf Peripatetik atau para sufi tentang Tuhan. Pertanyaan Heidegger dalam hal ini cukup sederhana: Mengapa Tuhan yang manusia imani terkesan berjarak dari keberadaan—berjarak dari pengalaman dan penghayatan kita? Padahal, sebagaimana yang diterangkan oleh Anthony Thiselton, “bagi Heidegger segala sesuatu hanya dapat dipahami di dalam horizon waktu dan sejarah.” (Thiselton, 2009: 292 & 240).
Heidegger tidak menyukai cara kita mengobjektifikasi teks-teks keagamaan sehingga menghilangkan relevansi teks pada kehidupan dan sejarah manusia (Thiselton, 2009: 228-9). Sebab bagaimanapun, manusia adalah makhluk sejarah dan hidup di dalam sejarah. Maka melalui hermeneutikanya, Heidegger mendekati Tuhan dengan cara non-metafisika dan non-dogmatis. Ia menekankan aspek relasional dan performatif (vollzug) ketuhanan dalam kehidupan beragama.
Menurut Crowe, Heidegger bahkan menyarankan agar pemikiran tentang Tuhan harus melampaui kerangka konseptual dan skema metafisika yang kaku, dan mengusulkan hubungan timbal balik dan saling ketergantungan antara Tuhan dan manusia, yang dimediasi oleh “keberadaan historis” (seyn). Pendekatan ini memerlukan “lompatan” ke dalam ruang ketidakpastian, di mana yang ilahi dan manusia tidak didefinisikan oleh kekuatan-kekuatan kausal tetapi oleh ketergantungan bersama pada keberadaan historis.
Heidegger berpendapat bahwa metafisika, yang mencari penjelasan utama tentang Tuhan, telah menyebabkan “kematian Tuhan” dalam dunia modern, seperti yang terlihat dalam pernyataan Nietzsche: Tuhan telah mati (Got ist tot). Ini disebabkan karena metafisika terlalu mendewakan konsep kausalitas itu sendiri, sehingga menjadikan Tuhan sekadar objek interpretasi yang berjarak dan berada di bawah kendali pemahaman manusia (Dasein).
Mungkin konsep Heidegger ini masih sulit dicerna. Namun secara garis besar, pendekatan Heidegger terhadap Tuhan cenderung profan (keduniawian). Penekanannya terletak pada bagaimana manusia mengalami dan berhubungan dengan-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, Heidegger tertarik pada cara-cara Tuhan meng-ada dalam kehidupan manusia tanpa manusia harus menjelaskan dan memahami-Nya secara penuh.
Heidegger memperkenalkan gagasan bahwa baik Tuhan maupun manusia “membutuhkan” keberadaan historis untuk saling mengungkapkan satu sama lain (dalam pengertian Heidegger, ini disebut dengan Auslegung, yang berarti: membiarkan terbuka). “Kebutuhan” ini bukanlah suatu kekurangan tetapi aspek mendasar dari hubungan Tuhan dan manusia. Ia menekankan bahwa yang ilahi dan manusia berhubungan melalui pertemuan kompleks (Entgegnung) yang melibatkan saling ketergantungan tanpa mereduksi yang satu ke yang lain.
Misalnya, perhatikan bagaimana cara Heidegger membahas “yang ilahi” (die Göttlichen) dalam salah satu kumpulan tulisannya ‘Gesamtausgabe’:
Karunia menuangkan adalah minuman bagi manusia. Itu memuaskan dahaga mereka. Ini meramaikan waktu senggang mereka. Ini membawa kegembiraan dalam bersosialisasi. Namun pemberian kendi tersebut juga, dari waktu ke waktu, akan didedikasikan untuk penggunaan yang disucikan. Jika penuangan itu untuk penggunaan yang disucikan, maka itu tidak menghilangkan dahaga. Itu memenuhi perayaan festival di tempat tinggi… Ia menjadi minuman yang ditumpahkan oleh manusia untuk para dewa. (11–12)
Dalam kutipan di atas, Heidegger berbicara tentang bagaimana hal-hal biasa, seperti kendi, dapat memiliki makna yang jauh lebih dalam dari apa yang kita pahami dalam keseharian kita. Kendi dapat digunakan untuk “menuangkan” minuman pelepas dahaga, yang merupakan aktivitas keseharian yang sederhana. Namun begitu—selain bisa digunakan dan dimaknai dalam aktivitas keseharian—kendi yang sama juga dapat digunakan dalam sebuah ritual untuk, misalnya, menuangkan persembahan bagi para dewa, sehingga memberikan kendi tersebut dimensi sakralnya (zur Weihe). Kendi, dalam pengertian ini, menyatukan atau menghubungkan manusia dengan yang ilahi. Kendi membuat yang ilahi hadir dalam aktivitas “menuangkan”. Meskipun yang ilahi tetap berada di luar pemahaman kita.
Heidegger menyatakan bahwa yang ilahi terungkap di tengah kehidupan sehari-hari, melalui hal-hal dan peristiwa biasa yang menunjuk kepada sesuatu yang tersembunyi dan transenden. Hal ini bukan tentang membuat yang ilahi hadir sepenuhnya, tetapi tentang mengalami-Nya dalam dunia sekaligus menjaga jarak dari misteri-Nya. Inilah apa yang Heidegger sebut sebagai hubungan antara “kehadiran” dan “ketidakhadiran”.
Untuk lebih memahami relasi ini, Crowe memberikan contoh lain. Misalnya bagaimana Heidegger menafsirkan sosok Yesus dalam Injil Markus. Yesus sering digambarkan hadir di depan umum namun, di waktu yang sama, ia juga tersembunyi atau rentan disalahpahami. Ia melakukan mukjizat dan mengajar murid-muridnya secara terbuka, tetapi identitas sejati dan pesannya masih belum jelas bagi banyak orang.
Hubungan antara kehadiran (Yesus hadir di sana, melakukan mukjizat) dan ketidakhadiran (orang-orang tidak sepenuhnya memahami siapa dia) menggambarkan bagaimana yang ilahi dapat dialami dalam kehidupan manusia tanpa ia dapat dipahami atau dijelaskan. Penggambaran ini sejalan dengan gagasan Heidegger tentang keilahian sebagai sesuatu yang terungkap sekaligus tersembunyi, yang dikenal sekaligus tidak dikenal.
Pandangan inilah yang kemudian memengaruhi dan menginspirasi gagasan Demitologi Bultmann yang pernah diuraikan di IbihTafsir beberapa waktu lalu. Baik Heidegger maupun Bultmann sama-sama mengklaim bahwa “… iman (musti) tidak diarahkan kepada pernyataan-pernyataan pseudo-objektif tentang Tuhan, tetapi kepada firman Tuhan sendiri. Bukan sejarah masa lalu yang menjadi objek iman, melainkan partisipasi yang ilahi dalam kehidupan.” (Thiselton, 2009: 232)
Singkatnya, gagasan Heidegger mengenai kehadiran dan ketidakhadiran berarti melihat bagaimana yang ilahi muncul dalam tindakan dan dinamika keseharian manusia dalam sejarah, sekaligus bagaimana yang ilahi tersebut tetap misterius dan berada di luar pemahaman yang sempurna. Heidegger percaya bahwa Tuhan merupakan realitas yang dekat, bukan konsep abstrak. Manusia mengalami-Nya dalam eksistensi yang konkret secara historis—di sini dan saat ini. Pendekatan Heidegger ini kontras dengan pandangan umum yang berupaya untuk mendefinisikan Tuhan dalam istilah-istilah abstrak.
Agama
Jadi, menjawab judul artikel Crowe di atas—Heidegger on religion, bagaimana pendapat Heidegger tentang agama? Menurut Heidegger, agama bukanlah tentang berpegang teguh pada seperangkat iman atau doktrin metafisik tentang Tuhan. Sebaliknya, agama adalah tentang pengalaman hidup dan aspek performatif (vollzug) kehidupan yang membawa manusia ke dalam hubungan yang bermakna dengan yang ilahi.
Tujuan agama dalam kehidupan manusia, dari sudut pandang Heidegger, adalah untuk menyediakan cara berhubungan dengan yang ilahi yang melampaui kerangka konseptual yang kaku dari skema metafisik.
Oleh karena itu, bagi Heidegger, agama adalah tentang menemukan yang ilahi dalam kehidupan sehari-hari, melalui tindakan, ritual dan hubungan-hubungan yang mengungkapkan dimensi makna realitas yang lebih dalam. Pertemuan dengan yang ilahi ini bukanlah tentang memperoleh kepastian, tetapi tentang merangkul ketidakpastian dan misteri yang menyertainya.
Referensi
Benjamin D. Crowe. 2024. ‘Heidegger on Religion’. Elements in the Philosophy of Martin Heidegger. DOI 10.1017/9781009459761.
Hardiman, F. Budi. ‘Seni Memahami’. Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2015.
Thiselton, Anthony C. ‘Hermeneutics’. Wm. B. Eerdmans Publishing: Cambridge, 2009.