Dari beberapa referensi biografi Nabi Muhammad Saw yang dirujuk oleh tulisan ini, dua di antaranya yang menyebutkan dengan tegas bahwa peristiwa Isra Mikraj adalah historis, dalam arti, dilakukan oleh Nabi dengan ruh dan jasadnya. Keduanya adalah M. Quraish Shihab (Shihab, 2014: 444-445) dan Said Ramadhan Al-Buthy (Al-Buthy, 2015: 184). Keduanya bahkan mengkritisi pihak yang meragukan. M. Quraish Shihab menyebut mereka sebagai pihak yang mengingkari sisi keajaiban Isra Mikraj. Said Ramadhan Al-Buthy menyebut mereka mengingkari pendapat jumhur ulama. Baik Shihab maupun Al-Buthy, sama-sama cendekiawan Muslim terkemuka era kontemporer. Sebagai catatan, Shihab memandang kafir mereka yang menolak peristiwa Isra, tetapi tidak kafir kepada mereka yang menerima peristiwa Isra meskipun tanpa jasmani.
Pihak yang memandang peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa spiritual tidak begitu tampak mempertentangkannya dengan mereka yang memahami sebagai tidak semata-mata spiritual, tetapi melibatkan jasmani. Mereka ini bukan hanya non-Muslim seperti Karen Armstrong dan Martin Lings, tetapi juga Muslim seperti Tariq Ramadan dan Mohamed Jebara. Adapun Husein Mu’nis tidak masuk kepada perdebatan tersebut.
Jika dipahami bahwa pandangan tentang Isra Mikraj hanya melibatkan ruhani adalah akibat pandangan modern, maka mungkin itu keliru. Abdul Ali Al-Arussi Al-Huwayzi, seorang penafsir yang hidup pada abad ke-17 M berpendapat bahwa saat Nabi berjumpa dengan Allah SWT setelah melewati Sidratul Muntaha, Nabi melihat-Nya dengan hatinya, bukan dengan kedua mata kepalanya. Pernyataan itu dipahami sebagai Isra tidak dengan jasad (Al-Huwayzi, 1415 H: 98).
Fakhr Al-Din Al-Razi (1150-1210 M) menyebutkan hal senada dengan Al-Huwayzi. Menurutnya, QS. Al-Baqarah/2: 286 yang berisi tujuh tingkatan doa dan permohonan disebutkan oleh Nabi “di alam ruhani saat naik melakukan Mikraj’. Penafsiran ini yang dipahami juga bahwa Isra Mikraj tidak dengan jasad (al-Razi, 1420 H: 226).
Terlepas dari dua kecenderungan pandangan berbeda di atas, kecenderungan cara pandang historis atau tidak hanyalah pintu masuk untuk para penutur kisah itu menyampaikan gagasan-gagasannya tentang bagaimana sesungguhnya ajaran Islam tentang Isra Mikraj itu. Hal tersebut tampak pada bagaimana masing-masing kecenderungan merekonstruksi kisah Isra Mikraj lewat ayat-ayat yang mereka jadikan alat untuk menjelaskan gagasan.
Pemilihan tokoh-tokoh penutur kisah Isra Mikraj dalam tulisan ini berdasar pada jenis penuturan yang bermaksud menyampaikan gagasan dari penuturan tersebut, tidak hanya menuturkan apa adanya dari riwayat yang mereka dapatkan. Karena itu, penutur yang berjenis terakhir, tidak dimasukkan. Tentu saja, pemilihan tokoh-tokoh juga karena keterbatasan waktu dan referensi yang sempat dijumpai.
Para Pendukung Ahistorisitas
Salah satu perbedaan yang menonjol antara para pendukung historisitas dan pendukung ahistorisitas adalah para pendukung ahistorisitas cenderung menempatkan peristiwa Isra Mikraj sebagi peristiwa yang berdiri sendiri terlepas dari peristiwa sebelum dan sesudahnya. Kalaupun ada kaitan, tidak begitu kuat. Dalam kasus Isra Mikraj, kaitan yang umum adalah bahwa peristiwa tersebut sebagai hiburan bagi Nabi yang sedang berduka akibat boikot yang berkepanjangan, wafatnya Sitti Khadijah dan Abu Thalib, serta penolakan kaum kafir yang semakin kuat. Di sinilah nama “Tahun Kesedihan” itu semakin popular.
Tujuan utama para pendukung ahistorisitas dalam penuturan kisah Isra Mikraj adalah penekanan bahwa itu adalah peristiwa keimanan yang harus diyakini dan juga harus diambil pelajaran darinya, yaitu pelajaran keimanan juga. Menentangnya berarti kufur atau dosa.
M. Quraish Shihab menuturkan Isra Mikraj dalam bab tersendiri tanpa mengaitkannya dengan peristiwa atau bab sebelumnya yang ditulisnya, yaitu bab tentang kunjungan Nabi ke Thaif. Bab setelah Isra Mikraj pun tidak dikaitkan dengan bab sebelumnya yang melanjutkan berbicara tentang kunjungan Nabi ke Thaif.
Sedari awal bahasan Isra Mikraj, Shihab sudah menekankan bahwa keimanan sangat penting dalam hal itu. Bahkan secara khusus Isra yang jika tidak diimani, maka berakibat kekafiran. Berbeda dengan Mikraj yang peningkaran terhadapnya hanya berakibat dosa. Karena itu, Shihab langsung mengutip QS. Al-Isra/17: 1 sebagai dalil yang pasti merujuk kepada Isra dan QS. An-Najm/53: 5-18 yang diduga merujuk kepada Mikraj.
Sebagai bagian dari keimanan, maka kisah Isra Mikraj oleh Shihab dijelaskan cukup mendetail dan disertai dengan pengakuan bahwa kisah tersebut sangat sulit dinalar. Dengan kata lain, historisitasnya sangat lemah. Karena itu, Shihab cenderung membawa kisah ini dalam ruang keyakinan dengan beralasan bahwa Isra Mikraj adalah untuk menjemput syariat shalat dan shalat itu sendiri merupakan syarat bagi keimanan yang benar (Shihab, 2014: 444-445). Nuansa doktrinal sangat kuat di sini. Karena itu pula, pertanyaan tentang apakah Nabi Isra Mikraj dengan jasadnya menjadi tidak relevan. Jika keimanan yang didahulukan, maka kehadiran jasad tidak lagi menjadi pertanyaan. Iman membuat segalanya mungkin.
Hal yang serupa terjadi pada Said Ramadhan Al-Buthy. Meski hanya mengutip satu ayat, yaitu QS. Al-An’am/6: 109, Al-Buthy sudah sedari judul menyebut Isra Mikraj dengan mukjizat. Tentu saja dengan pemahaman bahwa bukan mukjizat jika hanya terjadi dengan ruh Nabi. Karena itulah, Al-Buthy hanya mengutip satu ayat untuk penuturan kisah Isra Mikraj, yaitu QS. Al-An’am/6: 109 karena ayat tersebut, menurutnya, sering dijadikan dalil oleh mereka yang menolak mukjizat. Bahkan Al-Buthy menyebutkan nama-nama mereka secara terbuka, baik dari kalangan non-Muslim maupun dari Muslim (Al-Buthy, 2015: 186-187).
Para Pendukung Historisitas
Ayat-ayat yang dikutip oleh para pendukung historisitas Isra Mikraj dipakai untuk menjelaskan mengapa peristiwa Isra Mikraj terjadi dan apa hubungannya dengan peristiwa sebelum dan setelah Isra Mikraj, bukan untuk memperkuat keimanan dan melawan kekufuran. Namun, tetap ada kemungkinan keduanya sama-sama hendak mengambil pelajaran dari Isra Mikraj itu.
Karen Armstrong mengutip banyak ayat yang membentang sebelum, saat terjadi, hingga setelah Isra Mikraj. Sebelum Isra Mikraj, Armstrong mengutip QS. Al-Ahqaf/46: 29-32 tentang sekelompok jin yang mendengarkan Nabi membaca Al-Qur`an. Menurut Armstrong, itu bukan jin dalam arti makhluk halus tetapi kemungkinan orang-orang Yahudi yang kemudian terpesona lalu mengabarkan kepada kaumnya tentang adanya nabi yang membenarkan ajaran Nabi Musa as. (Armstrong, 2022: 110) Gagasan yang hendak dibangun oleh Armstrong adalah pluralisme dan iklusifisme dan sekaligus sufisme Islam.
Ayat lain yang dikutip oleh Armstrong untuk menyampaikan gagasannya adalah QS. Al-Isra/17: 1, QS. An-Najm/53: 13-18, QS. Ali Imran/3: 84-85, QS. Al-Maidah/5: 49 dan 69, serta QS. An-Nur/24: 35. Salah satu gagasan sufisme yang disampaikan Armstrong adalah ketika Nabi sampai dan bahkan melampaui Sidratul Muntaha (Batas Terjauh Pengetahuan Insani), Malaikat Jibril tidak lagi mampu membersamai karena memang bukan hanya Jibril yang harus tidak ikut, tetapi juga siapapun tidak bisa ikut hingga diri (ego) Nabi pun tidak bisa ikut jika berhadapan dengan Allah SWT. Itu adalah wilayah yang jauh dari prakonsepsi, prasangka, dan batas-batas egotisme makhluk (Armstrong, 2022: 114).
Adapun Mohamed Jebara, karena penuturannya sebangsa novel, maka pengaitan antara Isra Mikraj dengan peristiwa sebelum dan sesudahnya tampak sangat eksplisit dalam jalinan kisah. Untuk itu, Jebara mengutip sekitar enam ayat. Uniknya, tidak satupun ayat adalah Surah Al-Isra’. Ayat-ayat yang dikutip adalah QS. Al-Qiyamah/75: 16-17, QS. Yusuf, QS. Asy-Syura/42: 48, QS. Al-Insyirah/94, dan QS. Al-Baqarah/2: 256 dan 272.
Gagasan yang hendak disampaikan oleh Jebara adalah bahwa rangkaian peristiwa seputar Isra Mikraj (termasuk Isra Mikraj) adalah cara Allah SWT (lewat ayat yang turun) dan alam raya (lewat kenyataan sosial, ekonomi, dan politik) mempersiapkan Nabi sebagai pribadi dan umat Islam sebagai komunitas untuk tetap bertahan di segenap perubahan dan perbedaan. Itulah mengapa Jebara tidak mengutip ayat pertama Surah Al-Isra’ karena Isra Mikraj itu sendiri, baginya, adalah bagian dari cara Allah SWT, serupa dengan ayat-ayat dan peristiwa boikot. Isra Mikraj adalah pelajaran yang khusus untuk Nabi pribadi, bukan untuk umatnya.
Ayat pertama yang dikutip oleh Jebara dalam kisah panjang Isra Mikraj serta peristiwa sebelum dan sesudahnya adalah QS. Al-Qiyamah/75: 16-17. Ayat itu dikutip untuk menyampaikan gagasan bahwa keadaan yang terjadi tidak selalu sebagaimana yang diinginkan oleh Nabi sehingga Nabi tidak boleh memaksakannya (Jebara, 2022: 180). Semuanya adalah latihan, seperti boikot hingga wafanya dua orang pelindungnya. Lalu terjadilah Isra Mikraj.
Bagi Jebara, Isra Mikraj hanyalah lanjutan latihan yang harus dilalui oleh Nabi karena di sana Nabi mendapatkan dua hal. Pertama, kenyataan bahwa nabi-nabi terdahulupun mendapatkan tantangan yang tidak kalah keras. Kedua, shalat sebagai sarana untuk tetap berhubungan dengan Allah SWT apapun yang terjadi. Lalu turun QS. Yusuf/12 lengkap. Sama saja, surah tersebut adalah kisah tentang tantangan demi tantangan yang dihadapi oleh seorang Nabi Yusuf as. Namun, tantangan itu berbuah manis. Seandainya, Nabi Yusuf as tidak pernah dibuang oleh saudara-saudaranya, tidak mungkin beliau ke Mesir dan menjadi pejabat di sana yang nanti belakangan malah membantu keluarganya dari kelaparan yang melanda di masa depan (Jebara, 2022: 192-193).
Baik ahistorisitas maupun historisitas memiliki segmennya sendiri-sendiri. Ahistorisitas bersegmen umat Islam untuk menjaga keimanan mereka. Historistas bersegmen umum atau siapapun yang hendak memahami sejarah Nabi Muhammad saw dan umat Islam.[]
Bahan Bacaan
Armstrong, Karen, Muhammad: Rasul Allah Sepanjang Zaman, Bandung: Mizan, 2022
Al-Buthy, Said Ramadhan, The Great Episodes of Muhammad Saw: Menghayati Islam dari Fragmen Kehidupan Rasulullah Saw, Jakarta: Noura, 2015
Al-Huwayzi, Abdul Ali Al-Arussi, Tafsir Nur Al-Tsaqalain, Juz 3, Qum: Ismailiyan, 1415 H
Jebara, Mohamad, Muhammad The World Changer: Kisah Hidup Rasulullah Berdasarkan Sumber Autentik yang Jarang Diceritakan, Yogyakarta: Bentang, 2022
Lings, Martin, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, Vermont: Inner Traditions, 2006
Mu’nis, Husein, Al-Sirah Al-Nabawiyah: Upaya Reformulasi Sejarah Perjuangan Nabi Muhammad saw, Jakarta: Adiguna, 1999
Ramadan, Tariq, Muhammad Rasul Zaman Kita, Jakarta: Serambi, 2007
Al-Razi, Al-Fakhr, Mafâtîh Al-Gaib, Juz 1, Beirut: Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, 1420 H
Shihab, M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan Al-Qur`an dan Hadits-hadist Shahih, Tangerang: Lentera Hati, 2014