Relasionalitas Hewan dan Manusia dalam Al-Qur’an: Sebuah Pembacaan Etis

Kesejahteraan hewan merupakan salah satu topik yang menempati posisi krusial dalam perbincangan etika kontemporer. Salah satu faktor utama yang melatarinya adalah kemunculan berbagai macam persoalan dan krisis akibat dominasi manusia atas hewan. Meningkatnya aktivitas perburuan hewan dengan tujuan untuk rekreasi, perusakan habitat hewan, komersialisasi ilegal hewan langka, komodifikasi kebun satwa, dan lain seterusnya merupakan sejumlah contoh konkret yang menunjukkan betapa timpang dan tidak seimbangnya hubungan manusia dan hewan hari ini. Data dari World Conservation Union (IUCN) mencatat bahwa ada 26% mamalia, 12% burung, 21% reptil, 41% amfibi, 37% hiu, dan lain-lain yang terancam punah.

Persoalan ini kemudian mendesak respons etis yang memadai untuk menghentikannya dan mencegah kemunculan berbagai dampak destruktif lainnya. Sebab, kepunahan spesies hewan senantiasa berkaitan erat dengan kemunculan berbagai masalah dan krisis ekologis. Jika salah satu kelompok hewan punah, maka akan terjadi kerusakan pada mata rantai biologis yang menjadi pasak bumi dan menghubungkan seluruh biodiversity. Kerusakan tersebut akan membawa dampak bagi keseimbangan bumi, dan dengan demikian, mendatangkan ragam masalah serius bagi manusia. Oleh karena itu, perbincangan animal ethics mesti digalakkan secara lantang dan kontinu untuk memberikan intensif bagi penumbuhan sentimen moral dan kultivasi keutamaan etis bagi manusia dalam berhubungan dengan hewan.

Bacaan Lainnya

Agama-agama dunia juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam gerakan global ini, baik pada level teoretis maupun praksis. Dalam konteks Islam, kita dapat mengamati bagaimana tradisi diskursif yang panjang itu bergumul dengan, dan berkontribusi terhadap subjek hewan. Pada kenyataannya, teks fondasional Islam, Al-Qur’an, serta sumber-sumber yang diderivasi darinya menyediakan perspektif yang kaya untuk merespons persoalan ini (Poya & Schatzschneider, 2022). Kekayaan materi-materi etis dari Al-Qur’an akan semakin tampak dalam pergumulan interpretatif, teologis, filosofis, dan yurisprudensial para sarjana Muslim, di mana mereka mendiskusikan secara mendalam tema-tema terkait hewan, mulai dari agensi, kapasitas bernalar, kepemilikan jiwa, kebebasan, bahasa, penderitaan, hingga status eskatologis hewan (Foltz, 2006).

Yang sangat disayangkan, pergulatan hermeneutis-etis mengenai animal ethics belum begitu mendapatkan respons yang semestinya dalam kajian keislaman di beberapa masyarakat Muslim, terkhusus Indonesia. Melalui pengamatan yang cermat, kita akan menemukan bahwa isu penting ini masih relatif strange bagi kesarjanaan studi Islam Indonesia. Sejauh penelusuran penulis, tidak begitu banyak sarjana dari Islamic Studies dan pegiat ilmu-ilmu keagamaan yang secara serius terlibat dalam perbincangan krusial ini (cf. Tlili, 2018). Padahal, tradisi Islam sebetulnya dapat mengajukan suatu horizon bagi umat manusia hari ini dalam merumuskan perspektif etis yang memperlakukan hewan secara adil, seimbang, dan proporsional. Karena, seperti yang diungkapkan oleh Tariq Ramadan (2009), menghormati hewan merupakan salah satu bagian yang paling esensial dari ajaran Islam.

Tulisan ini kemudian bermaksud untuk mengeksplorasi wacana hewan dalam Al-Qur’an. Di dalamnya, Penulis akan mengelaborasi sejumlah pernyataan Al-Qur’an terkait hakikat dan karakteristik hewan untuk mengekstrapolasi perspektif etis terhadap hewan. Argumen yang hendak dikembangkan adalah bahwa Al-Qur’an menawarkan suatu horizon etis mengenai hewan dengan menghubungkannya secara ontologis sebagai manifestasi Tuhan yang setara dengan manusia. Hewan lalu diafirmasi eksistensinya sebagai agen aktif di realitas sekaligus merupakan co-constitutive partner bagi keberadaan manusia dan alam semesta. Implikasi aksiologisnya, orang-orang beriman mesti memandang hewan sebagai agen yang setara dan memperlakukannya secara etis dan dengan penuh tanggung jawab dalam relasionalitasnya bersama mereka.

Ontologi Hewan dalam Al-Qur’an

Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa relasi yang timpang antara manusia dengan hewan tidak dapat dipisahkan dari virus antroposentrisme yang merebak dalam pola pikir manusia modern. Secara sederhana, antroposentrisme merupakan cara pandang yang memosisikan manusia sebagai pusat tata surya (Tapper, 2023). Afirmasi akan kesempurnaan manusia ini berkelindan dengan objektifikasi segala sesuatu selainnya (non-manusia). Tidak berlebihan jika kita memandang antroposentrisme sebagai suatu bentuk ontologi baru (Benson, 2019). Mendaku sebagai sosok yang superior, manusia dalam ontologi antroposentrisme pun menempatkan hewan sebagai objek instrumental-inferior yang keberadaannya hanya bertugas melayani kepentingan manusia. Instrumentalisasi ini merupakan bahan bakar pokok yang menghidupkan kecongkakan manusia berikut fantasi mereka dalam menundukkan dan mengeksploitas hewan (Jane, 2010).

Akar diskursif dari ontologi destruktif ini dapat dilacak dari perkembangan filsafat Barat, sejak era filsafat Yunani (Plato, Aristoteles) hingga filsafat modern (Descartes, Kant, dan lain-lain). Dengan menegaskan kesadaran, rasionalitas, inteleksi, dan otonomi sebagai kekhasan manusia sekaligus merupakan differentia dari semua jenis hewan, kalangan filsuf kemudian berusaha menegasikan agensi, kesadaran (DeMello, 2021), jiwa rasional (Naragon, 1987), kapasitas epistemis (Lurz, 2009), serta kapasitas etis dan pengetahuan moral (Steiner, 2005) hewan. Berkat arogansi mereka, sebagian besar manusia hari ini lalu memandang hewan tidak lebih dari sekadar mesin yang bergerak di bawah aturan, standar, dan ekspektasi imajinatif-egoistis manusia (Taylor, 2003).

Bayang-bayang antroposentrisme ini juga menjangkar dalam alam pikir sejumlah kalangan di masyarakat Muslim modern. Dalam hubungannya dengan hewan, mereka umumnya mendiskusikan bagaimana hewan digunakan, manfaat apa saja yang ditawarkan, dan lain seterusnya. Alih-alih memahami diri mereka yang-lain dalam keberlainannya, keberadaan hewan hanya ditempatkan sebatas objek yang diperuntukkan untuk menopang kehidupan manusia. Mungkinkah kita membayangkan potret yang berbeda mengenai peran hewan serta hubungannya dengan manusia? Dapatkah kita keluar dari jeratan dikotomi subjek-objek antroposentrisme? Bagaimana sebetulnya Al-Qur’an menarasikan keberadaan hewan berikut keterkaitannya dengan manusia?

Penting untuk digarisbawahi terlebih dahulu bahwa penggunaan istilah ḥayawān dalam Al-Qur’an—yang dalam pengertian Arab modern berarti hewan (Wehr, 1976, p. 220)—tidak merujuk kepada konsep abstrak dan tunggal. Dalam hal ini, Al-Qur’an menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan kehidupan yang sejati, yaitu kehidupan akhirat (Q. 29:64). Apabila hendak merujuk pada pengertian etimologisnya, istilah ḥayawān sebetulnya mengandung makna “kehidupan (al-ḥayāh)” (al-Aṣfahānī, 2009, p. 269; Ibn Fāris, 1979, p. 122). Kehidupan ini tentu saja tidak terbatas pada hewan semata, melainkan mencakup seluruh living beings yang memiliki tubuh, bertumbuh, dan senantiasa bergerak (al-Jurjānī, 2004, p. 84).

Tatkala mendiskusikan subjek hewan, Al-Qur’an lebih memilih untuk tidak menggunakan satu istilah abstrak, yaitu “hewan”, yang mecakup seluruh kawanan hewan. Teks tersebut justru memanfaatkan berbagai istilah yang polivalen, seperti dābbah dan an‘ām. Di beberapa tempat, Al-Qur’an juga menyebut nama dari kawanan hewan, seperti unta (ibil, jamal, nāqah, rikāb, ‘isyār, ḥamūlah, farsy), sapi (baqarah, ijl), domba dan kambing (ḍa’n, ghanam, na’j, ma’z), kuda (khail), keledai (ḥimār, bighāl), babi (khinzīr), gajah (fīl), dan ular (ṡu’bān). Selain itu, terdapat sejumlah referensi terhadap kelompok hewan pemangsa (żi’b, sabu’), hewan yang dapat diburu (ṣaid), kawanan burung (ṭā’ir, hudhud, ghurāb, abābil, salwā), kelompok serangga (żubāb, ba‘ūdah, qummal, jarād, farāsy, naḥl, ‘ankabūt), dan lain seterusnya (Eisenstein, 2002).

Absennya penyatuan konseptual ketika mendeskripsikan hewan menunjukkan bahwa Al-Qur’an mengambil jarak dari imajinasi antroposentris dalam warisan late antiquity, medieval period, hingga abad modern yang membayangkan hewan sebagai entitas homogen dan mengandaikan mereka sebagai objek belaka. Secara kontras, Al-Qur’an tidak mengizinkan umat manusia untuk melihat hewan sebagai kelompok tunggal dan berusaha untuk mempreservasi keragaman, perbedaan, dan keunikan setiap kelompok hewan. Dalam konteks ini, Al-Qur’an pun menetapkan perspektif transformatif bagi manusia agar setiap individu menata sensitivitas hermeneutis-etis mereka dalam menghargai kekhasan kawanan hewan dan memperlakukan mereka secara adil (El Maaroufi, 2022a).

Al-Qur’an menyatakan bahwa Tuhan merupakan pencipta langit dan bumi beserta seluruh makhluk hidup yang menghuni alam semesta (Q. 2:29, 54, 117; 6:101; 10:3; 12:101; 13:16; 21:56; 26:77-78; 35:1; 36:7-; 39:46, 62; 40:62; 42:11; 46:3; 59:24; 64:2-3; 85:13; 91:5-6). Keputusan untuk menciptakan ini merupakan bagian dari kehendak Tuhan yang mutlak (Q. 16:40). Dalam proses penciptaan tersebut, Tuhan senantiasa memastikan bahwa setiap ciptaan memiliki tujuan yang Ilahi (Q. 3:190; 15:85-86; 30:8). Tidak ada satupun makhluk-Nya yang diciptakan sia-sia (Q. 38:27; 44:38), karena Dia mencipta secara bi al-ḥaqq (Q. 6:73; 29:44; 39:5; 44:39; 45:22). Tidak berhenti pada level penciptaan semata, Tuhan juga memedulikan ciptaan-Nya dan menjamin keberlangsungan hidup mereka di muka bumi (Q. 11:6). Para hewan pun dijamin rezekinya oleh Tuhan (Q. 29:60).

Menurut Al-Qur’an, status ontologis seluruh ciptaan, tak terkecuali hewan, memiliki suatu afirmasi Ilahi yang positif pada dirinya sendiri. Hewan, seperti juga manusia dan seluruh eksistensi di bumi, kemudian diposisikan secara setara sebagai manifestasi tanda-tanda (āyāt) Ilahi (Özdemir, 2008). Dalam Q. 42:29, Al-Qur’an bahkan menyatakan bahwa seluruh ciptaan akan dikumpulkan di hadapan Tuhan. Artinya, Al-Qur’an secara implisit mengafirmasi status eskatologis hewan di hari akhir. Dari sini dapat dinyatakan bahwa seluruh tindakan yang bermuara dominasi, eksploitasi, dan destruksi hewan adalah tindakan yang melawan intensi ontologis Tuhan yang sakral.

Melalui ciptaan-ciptaan-Nya, Tuhan hendak menunjukkan bahwasannya Dia berpartisipasi aktif di realitas secara terus-menerus. Karena, setiap eksistensi ciptaan menggarisbawahi eksistensi-Nya. Kontras dengan paham deisme atau pembacaan fisika Newtonian, Tuhan senantiasa terlibat bersama ciptaan-Nya di setiap momen dari eksistensi mereka (Q. 2:255). Faktanya, Al-Qur’an secara eksplisit menguraikan bahwa Tuhan senantiasa menyibukkan diri-Nya dalam aktivitas penciptaan (Q. 55:29). Bagi, Al-Qur’an realitas Ilahi maupun ciptaan-Nya terhubung secara ontologis dalam suatu jalinan sakral, dengan berbagai cara dan bentuk, yang terus bergerak secara dinamis. Oleh karena itu, Tuhan bukan telah menciptakan, namun Dia masih dan akan senantiasa menciptakan.

Melangkah lebih jauh, Al-Qur’an mengafirmasi agensi hewan dengan mempresentasikan bahwa mereka terhubung secara langsung dengan Tuhan dan senantiasa memuja kebesaran-Nya (Q. 17:44; 59:24; 61:1; 62:2; 64:1). Mereka tidak pernah menyombongkan diri dan berlagak angkuh di hadapan Pencipta mereka (Q. 16:49). Bahkan, dalam Q. 24:41, Al-Qur’an secara eksplisit mengafirmasi “kapasitas rasional” hewan yang “sadar” dan “mengetahui” bagaimana mereka berdoa dan memuja Tuhan (Masri, 1989). Berdasarkan pernyataan bahwa Tuhan begitu dekat dan senantiasa membersamai makhluk-Nya (Q. 2:128), Al-Qur’an lalu menempatkan semua ciptaan di realitas sebagai agen riil yang secara ontologis berpartisipasi di realitas.

Dengan memparalelkan sujud manusia dengan sujudnya matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, dan juga hewan, Q. 22:18 pun mengingatkan keharusan untuk mengikuti harmoni dan keselarasan ekologis. Al-Qur’an juga memperingatkan kemanusiaan manusia agar tidak merusak keteraturan kosmos yang Ilahi dari dunia (7:56). Pada suatu kesempatan, Al-Qur’an merekognisi komunitas hewan sebagai komunitas yang setara dengan komunitas manusia dalam relasionalitasnya dengan Tuhan dan alam semesta (Q. 6:38). Proposisi di atas menunjukkan bahwa relasi yang diandaikan Al-Qur’an bagi Tuhan bersama hewan bukan sekadar relasi interaktif, melainkan juga partisipatif. Dalam hal ini pula, hewan akan senantiasa berada bersama (mit-sein/being-with) manusia dan merupakan agen konstitutif bagi eksistensi mereka (El Maaroufi, 2022b).

Memang, terdapat sejumlah konsep dalam Al-Qur’an yang membuka ruang bagi perkembangan imajinasi antroposentrisme, terutama istikhlāf, taskhīr, dan tażlīl. Sarra Tlili (2012) telah mendiskusikan masalah tersebut secara komprehensif sehingga tidak perlu mengulangnya di sini. Poin penting yang perlu dikemukakan adalah bahwa konsep-konsep tersebut sama sekali tidak mengafirmasi otoritas, dominasi, serta kontrol manusia maupun status unik mereka di atas hewan dan segenap penghuni semesta. Sebaliknya, ayat-ayat yang berbicara mengenai khalīfah, taskhīr, dan tażlīl dimaksudkan untuk menunjukkan keterlibatan aktif Tuhan di realitas berikut pemberian cinta dan kasih-Nya bagi seluruh ciptaan-Nya (lihat juga Rahman, 2017).

Hewan yang berkomunikasi dengan Tuhan melalui wahyu (Q. 16:68) secara langsung menggariskan suatu relasi yang autentik antara mereka dengan Tuhan (Q. 21:41). Al-Qur’an bahkan menyentuh klaim perbedaan antropologis yang paling besar (differentia par excellence) antara hewan dengan manusia dengan menegaskan bahwa hewan memiliki fakultas berbicara (manṭiq) (Q. 27:16). Menariknya, penemuan saintifik menunjukkan bahwa hewan ternyata berkomunikasi tidak hanya dengan kelompoknya saja, melainkan juga bersama manusia—setidaknya cukup untuk mengekspresikan kepentingan sosial dan kebutuhan biologis mereka (Masri, 2007). Ada begitu banyak riset ilmiah yang telah membuktikan kapasitas kawanan hewan, sama seperti manusia, sebagai makhluk yang berkesadaran, mampu berpikir logis, memiliki ingatan, menjaga kebersihan tubuh, terlibat dalam aktivitas ekonomi, berbahasa, dan berkebudayaan (Sagan & Druyan, 1992).

Bagi Al-Qur’an, kawanan hewan memiliki suatu mode pergumulan spiritual dan pujaan yang khas, unik, dan tidak akan pernah dapat dimengerti sepenuhnya oleh manusia (Q. 17:44). Memang, yang terpenting bukanlah membingkai hewan dalam lensa semantik dan psikologis manusia, namun membiarkan mereka hadir dan menjumpai kita dalam keberlainannya. Sehingga, relasi dengan hewan tidak lagi mengambil bentuk aktivitas epistemis, namun merupakan peristiwa ontologis, hermeneutis, dan etis sekaligus.

Al-Qur’an dan Momen Etis bersama Hewan

Penegasan akan relasionalitas yang mengikat Tuhan, hewan, manusia, dan seluru living beings mengimplikasikan bahwa perjumpaan manusia dengan hewan mencerminkan suatu ethical event (momen etis) yang genuine. Artinya, perjumpaan hewan dengan manusia senantiasa memiliki konsekuensi hermeneutis-etis bagi keduanya. Secara khusus, kehadiran dan perilaku hewan tidak hanya mampu mendesak manusia untuk berefleksi dan memahami yang-lain, namun juga mengubah perilaku mereka secara konstan. Dengan kata lain, pemahaman dan sikap etis manusia akan senantiasa dideterminasi oleh relasionalitasnya dengan hewan.

Apabila Paul Ricouer (1992) mengandaikan bahwa manusia hanya mungkin eksis bersama dengan manusia lain, maka Al-Qur’an menawarkan horizon another self yang lebih luas sehingga menjangkau eksistensi hewan. Tidak berlebihan jika Al-Qur’an mengklarifikasi bahwa cara seseorang memperlakukan hewan mencerminkan kualitas keimanannya sekaligus menggambarkan apakah ia mendapatkan petunjuk dari Tuhan atau tidak (Q. 4:118-119 Furber, 2015).

Al-Qur’an melaporkan bagaimana naml (semut) menegur Nabi Sulaiman dan menasihatinya (Q. 27:18-19); menunjukkan bagaimana ghurāb (gagak) mengajarkan kebudayaan bagi Qabil untuk menguburkan jenazah saudaranya, Habil (Q. 5:31); menyatakan bagaimana kalb (anjing) melindungi aṣḥāb al-kahf dan menjadi anggota dari kelompok mereka; dan bahkan menunjukkan bagaimana seekor ikan dapat menyelamatkan kehidupan seorang Nabi Yunus (37: 139-145). Penegasan-penegasan Al-Qur’an yang relasional ini mengeksplisitkan bahwa Tuhan menganugerahkan kapasitas spiritual-etis bagi hewan sehingga keberadannya memainkan peran krusial bukan hanya sebagai mitra Ilahi, namun juga merupakan agen moral yang berpartisipasi dalam perluasan ethical progress manusia dan alam semesta.

Semut yang mengklaim ruang komunitasnya dengan menegur Nabi Sulaiman adalah contoh bagaimana hewan mampu mengkultivasi kesalehan dan moralitas seseorang, sekalipun ia adalah seorang Nabi (El Maaroufi, 2022b). Gagak yang mengajari Qabil menunjukkan bagaimana hewan tidak menempati posisi marginal yang hanya melayani kehidupan manusia. Sebaliknya, gagak justru menjadi guru yang menuntun umat manusia secara etis untuk berbuat baik berdasarkan kebijaksanaannya.

Begitu juga dengan cerita Yunus yang tidak hanya berhasil selamat secara fisik berkat keterlibatan Ikan, namun juga menemukan religiusitasnya bertumbuh di dalam perut ikan tersebut. Sebab, ia berdoa dan memuji Tuhan agar Dia mengerluarkannya dari kegelapan menuju dunia yang terang-benderang (21:87). Sang ikan kemudian menjadi ethical space yang memungkinkan pengalaman manusia bergerak menuju kelahiran kedua—setelah Nabi Yunus dimuntahkan; kelahiran menuju diri yang baru (El Maaroufi, 2022a). Dari narasi-narasi ini, tampak bahwa imajinasi cogito yang mengandaikan kekhasan metafisis manusia menjadi tidak berarti sama sekali. Begitu juga dengan dikotomi subjek-objek khas Cartesian, di mana separasi ontologis antara hewan dengan manusia menjadi kabur sehingga tidak lagi dapat dipertahankan.

Agensi Relasional: Interkonektivitas Hewan dan Manusia

Narasi Al-Qur’an secara positif mengafirmasi agensi hewan berikut partisipasinya yang aktif terhadap keberadaan manusia. Memang, seperti yang telah diuraikan oleh Donna Haraway, agensi itu sendiri tidak pernah statis dan hanya menjadi milik spesies manusia. Sebaliknya, ia justru merupakan collective action dan processual interspecies (Haraway, 2003). Dalam konteks ini, hewan menjadi co-creators yang aktif dalam relasinya yang co-constitutive bersama manusia. Alih-alih menempatkan agensi sebagai sesuatu yang terisolasi di dalam suatu entitas (manusia), Al-Qur’an justru mengusulkan relational agency yang terealisasi di dalam reciprocal relatedness dan connected changes (El Maaroufi, 2022a). Oleh karenanya, kehidupan, sebagaimana yang ditulis oleh Bruno Latour (2005), akan senantiasa melibatkan network yang menjaring berbagai aktor—hewan, manusia, tumbuhan, dan lain-lain—serta menghubungkan mereka satu sama lain.

Agensi relasional merupakan hasil dari proses saling memengaruhi antara hewan dengan manusia berdasarkan perjumpaan face-to-face keduanya (Goffman, 1967). Penting untuk penulis tegaskan bahwa tindakan satu sama lain tidak berangkat dari kemandirian individualitas hewan maupun manusia. Maka, kita perlu menghindari istilah interaksi yang mengandaikan keberadaan individu sebagai pendahulu relasi. Dalam konteks ini, penulis berpendapat bahwa ide intra-action dari Karen Barad (2007) menjadi lebih memadai dalam mendekati narasi hewan dalam Al-Qur’an. Sebab, dalam intra-action, terdapat agential inseparability dari setiap agen berikut entanglement di dalam berbagai jalinan relasi mereka. Melampaui logika biner subjek-objek, intra-action juga menegaskan bahwa terdapat lebih dari satu agen yang berpengaruh bagi performasi agen-agen di realitas. Maka, ketika hewan, seperti manusia, bereksistensi di dunia, mereka sejatinya sedang berpartisipasi dalam membentuk realitas itu sendiri.

Dari eksposisi di atas, kita dapat menuliskan bahwa Al-Qur’an secara tegas mengafirmasi agensi hewan dan keterkaitannya yang niscaya dengan manusia. Memahami diri dan mengembangkan sikap etis hanya menjadi mungkin apabila manusia berjumpa dengan yang-lain, termasuk hewan, dan memahami mereka dalam keberlainannya. Artinya, hewan telah, masih, dan akan senantiasa berpartisipasi terhadap, sekaligus merupakan bagian konstiutif dari keberadaan manusia. Perspektif demikian dapat membantu kita dalam merubah sudut pandang antroposentris yang dominan terhadap hewan sekaligus mendesak kita untuk mengubah relasi manusia dengan hewan secara radikal. Pada level praktis, kita perlu menaruh perhatian yang lebih besar untuk memikirkan bagaimana mengonservasi kehidupan hewan dan kesejahteraan mereka. Tentu saja, kesejahteraan ini mesti dibingkai di dalam relasi etis, resiprokal, dan bertanggung jawab. Bukan dalam konstruksi antroposentristik yang justru hanya akan mendatangkan berbagai masalah baru.

Daftar Pustaka

al-Aṣfahānī, al-R. (2009). Mufradāt Alfāẓ Al-Qur’ān (Ṣafwān A. Dāwūdī, Ed.). Dār al-Qalam.
al-Jurjānī, al-S. (2004). Mu’jam al-Ta’rīfāt (M. S. al-Minsyāwī, Ed.). Dār al-Faḍīlah.
Barad, K. (2007). Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning. Duke University Press.
Benson, M. (2019). New Materialism: An Ontology for the Anthropocene. Natural Resources Journal, 59(2), 251.
DeMello, M. (2021). Animals and Society: An Introduction to Human-Animal Studies, second edition. Columbia University Press.
Eisenstein, H. (2002). Animal Life. In J. D. McAuliffe (Ed.), Encyclopaedia of the Qur’an: Vol. I (pp. 93–102). Brill.
El Maaroufi, A. (2022a). Animals as Agents? A Qur’anic View. In O. Leaman (Ed.), Routledge Handbook of Islamic Ritual and Practice (pp. 425–436). Routledge.
El Maaroufi, A. (2022b). Towards an Ethic of Being-With. An Islamic-Phenomenological Perspective on Human-Animal Encounters. Journal of Islamic Ethics, 6(1), 81–93. https://doi.org/10.1163/24685542-12340078
Foltz, R. C. (2006). Animals in Islamic Tradition and Muslim Cultures. Oneworld Publications.
Furber, M. (2015). Rights and Duties Pertaining to Kept Animals: A Case Study in Islamic Law and Ethics. Tabah Foundation.
Goffman, E. (1967). Interaction Ritual: Essays on Face-to-Face Behavior. Pantheon Books.
Haraway, D. (2003). The Companion Species Manifesto: Dogs, People, and Significant Otherness. Prickly Paradigm Press.
Ibn Fāris, A. al-Ḥusain A. (1979). Mu’jam Maqāyīs al-Lughah: Vol. II (‘Abd al-Salām M. Hārūn, Ed.; II). Dār al-Fikr.
Jane, B. (2010). Vibrant Matter: A Political Ecology of Things. Duke University Press.
Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford University Press.
Lurz, R. W. (2009). The Philosophy of Animal Minds: An Introduction. In R. W. Lurz (Ed.), The Philosophy of Animal Minds (pp. 1–14). Cambridge University Press.
Masri, B. A. (1989). Animals in Islam. Compassion in World Farming.
Masri, B. A. (2007). Animal Welfare in Islam. Islamic Foundation.
Naragon, S. S. (1987). Reason and Animals: Descartes, Kant, and Mead on the Place of Humans in Nature [Ph.D. Dissertation]. University of Notre Dame.
Özdemir, İ. (2008). The Ethical Dimension of Human Attitude Towards Nature. İnsan Publications.
Poya, A., & Schatzschneider, I. (2022). God’s Justice and Animal Welfare. Journal of Islamic Ethics, 6(1), 1–17. https://doi.org/10.1163/24685542-12340084
Rahman, S. A. (2017). Religion and Animal Welfare-An Islamic Perspective. Animals: An Open Access Journal from MDPI, 7(2), 11. https://doi.org/10.3390/ani7020011
Ramadan, T. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as Another. Chicago University Press.
Sagan, C., & Druyan, A. (1992). Shadows of Forgotten Ancestors. Ballantine Book.
Steiner, G. (2005). Anthropocentrism and Its Discontents: The Moral Status of Animals in the History of Western Philosophy. University of Pittsburgh Press.
Tapper, H. (2023). The Value of Non-Human Animals: A Study of Member Parties to CITES Views of Non-Human Animals’ Value Connected to the Illegal Wildlife Trade at CoP19. http://lup.lub.lu.se/student-papers/record/9143729
Taylor, A. (2003). Animal and Ethics: An Overview of the Philosophical Debate. Broadview Press.
Tlili, S. (2012). Animals in the Qur’an. Cambridge University Press.
Tlili, S. (2018). Animal Ethics in Islam: A Review Article. Religions, 9(9), Article 9. https://doi.org/10.3390/rel9090269
Wehr, H. (1976). A Dictionary of Modern Written Arabic (J. M. Cowan, Ed.; III). Spoken Language Services.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *