Kualitas Feminin dalam Sifat Tuhan

Kualitas Maskulin-Feminin dalam Sifat-Sifat Tuhan

Tuhan dengan kemahakuasaan-Nya bertajalli mengenalkan diri melalui sifat jalāliyah dan jamāliyah-Nya. Sifat jalāliyah atau maskulin berarti kemuliaan dan kebesaran, yang melambangkan keperkasaan, kehebatan, dan kekuasaan Tuhan yang absolut. Sedangkan sifat jamāliyah atau feminin berarti keelokan dan keindahan, yang mewakili sifat lemah lembut, kasih sayang, dan rahmat cinta Tuhan.

Sebagian orang cenderung menonjolkan sisi maskulinitas Tuhan, seperti Tuhan Yang Maha Besar (Al-Kabīr), Maha Perkasa (Al-‘Azīz), dan Maha Pembalas (Al-Muntaqim). Padahal di sisi lain ada juga feminitas-Nya, seperti Tuhan Yang Maha Pengasih (Al-Rahmān), Maha Penyayang (Al-Rahīm), Maha Lembut (Al-Lathīf), dan Maha Pengampun (Al-Ghafūr) (Umar, 2014: 2).

Bacaan Lainnya

Kedua sifat ini –maskulin dan feminin– adalah pasangan yang tidak seharusnya dipisahkan, mereka tidak saling bertentangan karena keduanya seperti dua mata koin yang saling melengkapi. Keduanya menyatakan dengan tegas pentingnya keseimbangan hidup antara sifat kekuatan (maskulin/jalāliyah) dan sifat keindahan (feminin/jamāliyah) dalam kualitas spiritualitas manusia.
Allah menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini diciptakan berpasang-pasangan. Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Dzāriyat [51]: 49:

وَمِن كُلِّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَا زَوۡجَيۡنِ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٤٩

“Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS. Al-Dzāriyat [51]: 49)

Makhlūf menerangkan bahwa makna ‘berpasang-pasangan’ dalam ayat ini adalah dua jenis yang berlawanan, seperti keberpasangan malam dan siang, langit dan bumi, hidayah/petunjuk dan kesesatan, dan lain-lain (Makhluf, 1981: 668-669). Jadi, relasi gender tidak hanya berlaku antar pasangan manusia saja, tetapi juga makhluk-makhluk Allah yang lain, karena semuanya diciptakan berpasang-pasangan.
Dari konsep keberpasangan ini, hanya Tuhan yang tidak boleh memiliki pasangan dan memang mustahil untuk itu. Dia Maha Esa dan kepada-Nya bergantung segala sesuatu. Oleh karena itu, Tuhan tidak boleh dipersandingkan dengan apa pun. Allah Swt. berfirman:

…لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ…

“…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia…” (QS. Al-Syūrā [42]: 11)

Menurut Purwanto, kualitas feminin dan maskulin yang dimaksud adalah kualitas perangai atau sifat batin yang memberi pengaruh pada watak manusia, bukan tentang sifat lahiriah manusia (Purwanto, 2015: 223). Dan melalui dualitas ini, manusia bisa mencapai kedekatan batin dengan Tuhan.

Ketika Allah bermanifestasi (tajalli) mengenalkan diri-Nya melalui makhluk-makhluk-Nya, maka manusia bisa mengenalinya melalui dualitas sifat ini, jalāliyah (maskulinitas) dan jamāliyah (feminitas). Contoh sederhana kemahakuasaan-Nya melalui dualitas ini adalah gerimis di suatu sore, misalnya.
Bagi pasangan yang sedang kasmaran, gerimis akan terasa sebagai jamāliyah Tuhan, karena mereka sedang dalam suasana romantisme yang mengasyikkan. Berbeda dengan yang baru pulang kerja dan terjebak hujan di tengah kemacetan. Baginya, momen ini tidak ada romantisnya sama sekali. Yang terasa hanyalah rintik-rintik tak berkesudahan di tengah keletihan setelah bekerja seharian. Walaupun ada perbedaan cara dalam menangkap makna dari gerimis tersebut, keduanya sama-sama merasakan kemahaesaan Tuhan dalam kuasa-Nya.

Orang yang mengedepankan sisi maskulinitas Tuhan akan cenderung lebih aktif, berkuasa, dan dominan. Sehingga Tuhan bagi manusia lebih untuk ditakuti karena masuklinitas-Nya daripada dicintai. Seharusnya, sisi feminin-Nya juga ditonjolkan agar tercermin bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemaaf. Dengan begitu, manusia mampu membayangkan bahwa Allah itu dekat dan lebih memilih untuk mencintai-Nya (Umar, 2014: 6).

Al-Asmā’ Al-Husnā: Kualitas Maskulin-Feminin Tuhan

Al-Asmā’ Al-Husnā merupakan nama-nama terbaik bagi Allah Swt. yang berjumlah 99 nama. Jumlah 99 ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. bersabda:

«إِنَّ لِلّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ تِسْعَةٌ وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا، إِنَّهُ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ، مَن أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ.» [رواه الإمام مسلم في صحيحه رقم 2677].

“Sesungguhnya Allah Swt. mempunyai sembilan puluh sembilan (99) nama, seratus (100) kurang satu (1). Sungguh, Ia itu ganjil, menyukai (sesuatu) yang ganjil (pula). Barang siapa yang ‘menghitungnya’, ia masuk surga.”

Beberapa dari Al-Asmā’ Al-Husnā mewakili sisi maskulinitas Tuhan, seperti Al-Kabīr (Maha Besar), Al-‘Azīz (Maha Perkasa), dan Al-Muntaqim (Maha Pembalas). Sifat-sifat ini melambangkan kekuatan, keagungan, dan kekuasaan Tuhan. Sebagian lain juga menegaskan kualitas feminin dalam sifat Tuhan, seperti Al-Rahmān (Maha Pengasih), Al-Rahīm (Maha Penyayang), Al-Lathīf (Maha Lembut). Sisi feminin memperlihatkan bagaimana Tuhan adalah sumber kasih sayang, rahmat dan cinta sejati.

Menurut al-Ghazāli, kata Al- Rahmān dan Al-Rahīm berasal dari akar kata yang satu yaitu rahmat (رحمة) yang berarti kasih sayang (al- Ghazāli, 2003: 62). Al-Rahmān menunjukkan makna kasih sayang Allah yang universal, yang mencakup semua makhluk-Nya baik muslim maupun non muslim, binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Al-Rahīm sendiri lebih khusus dan spesifik, yang berfokus pada kasih sayang-Nya teruntuk hamba-hamba-Nya yang beriman.

Lebih lanjut lagi, al-Ghazāli menerangkan bahwa Al-Lathīf adalah nama yang hanya boleh disandang oleh Dia yang mengetahui segala macam rahasia, misteri dan seluk beluk dari segala urusan. Pun Al-Lathīf mencakup kemampuan untuk menyalurkan kebaikan makhluk secara penuh kelembutan dan kasih sayang. Kesempurnaan sifat Al-Lathīf ini hanya ada pada Allah Swt. saja.

Di antara bentuk Al-Lathīfnya Allah adalah bagaimana Ia mengadakan dan memelihara janin dalam rahim seorang ibu selama 9 bulan lamanya. Allah menjaga dan memberinya rezeki (asupan oksigen dan nutrisi) melalui plasenta hingga tiba masa kelahirannya. Allah pula yang mengilhamkan padanya di tengah kelam malam kemampuan untuk mencari, mengenggam, dan menghisap puting susu ibunya (Al-Ghazāli, 2003: 101).

Adapun kualitas maskulin Tuhan tergambar dalam asma-Nya yang lain, seperti Al-Jabbār (Maha Perkasa). Al-Jabbār dapat diartikan sebagai kekuasaan Allah yang absolut, tak terbatas. Ia dengan kemahakuasaan-Nya mengatur, memaksa, menguasai segala sesuatu atas kehendak-Nya. Tidak ada kehendak lain yang bisa terwujud tanpa izin-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang berada di luar kuasa-Nya. Semuanya tunduk pada-Nya dan Dia tidak tunduk pada sesuatu apapun (Al-Ghazāli, 2003: 74).

Asma Al-Qahhār (Maha Mengalahkan/Maha Menundukkan) juga bagian dari sisi maskulinitas Tuhan. Al-Qahhār mencerminkan kekuasaan Tuhan yang menundukkan dan mengalahkan musuh-musuh-Nya dengan kebinasaan dan kehinaan. Tak ada yang mampu lolos dari genggaman-Nya, dan tidak ada sesuatu apapun yang mampu menentang ketetapan-Nya. Al-Qahhār mengingatkan manusia akan kemahakuasaan Allah yang tak terbatas dan menyadarkan mereka bahwa merekalah yang serba terbatas (Al-Ghazāli, 2003: 81).

Al-Asmā’ Al-Husnā ini adalah bukti dualitas pada sifat Tuhan, ini seperti dua sisi koin yang tidak bisa dipisahkan (Hilmi, 2024: 146). Sisi yang satu mencerminkan sifat kasih sayang dan lemah lembut-Nya, dan sisi lain mewakili sifat-Nya sebagai penguasa, perkasa, dan pemberi azab (Purwanto, 2015: 221). Setiap asma dari Al-Asmā’ Al-Husnā ini mengandung makna mendalam yang mencerminkan kesempurnaan dan keesaan-Nya.

Kesadaran terhadap Dualitas Sifat Feminin (Jamālī) dan Maskulin (Jalālī)

Dalam Al-Asmā’ Al-Husnā, mayoritasnya adalah sisi feminin Tuhan, sedangkan sisanya adalah sisi maskulin-Nya (Hilwani, 2024: 152-154). Ini berarti, Allah lebih menonjol sebagai The Mother God (memiliki sifat-sifat feminin), daripada The Father God (memiliki sifat-sifat maskulin). Selain itu, penyebutan sifat maskulin dalam Al-Qur’an juga minim sekali. Berbeda dengan sifat feminin yang banyak disebutkan, seperti Al-Rahmān dan Al-Rahīm yang disebutkan lebih dari 114 kali.

Al-Qur’an adalah The Feminine Book (Kitab Suci Feminin) yang melambangkan feminitas Allah, karena isinya mengajarkan tentang kedamaian, kasih sayang, dan cinta. Pun Nabi Muhammad adalah Nabi feminin, karena akhlaknya adalah kitab suci feminin (Al-Qur’an). Komposisi maskulinitas Nabi sedikit sekali, beliau lebih dikenal sebagai seorang feminin, karena beliau pemaaf, penyayang, dan lemah lembut.

Kesadaran akan relasi gender maskulin-feminin ini memberikan pemahaman bahwasanya seorang laki-laki tidak harus lebih menonjolkan sifat maskulinnya daripada femininnya, dan contoh nyatanya adalah Nabi Muhammad Saw. Kesadaran ini membantu manusia untuk memahami keseimbangan hubungan antara Tuhan dan makhluk-makhluk-Nya.

Sisi maskulinitas Tuhan mengingatkan manusia akan kebesaran dan kekuasaan-Nya, sedangkan sisi feminitas-Nya membantu manusia memahami lebih mendalam rasa cinta dan kasih sayang-Nya. Dualitas ini tidak kontradiktif sama sekali, keduanya ada untuk saling melengkapi. Keseimbangan ini memberikan pengajaran untuk menyeimbangkan sisi maskulin dan feminin dalam kehidupan sosial.

Sifat feminin Tuhan dianggap sebagai aspek utama hubungan spiritual makhluk dengan Tuhan, karena mencerminkan cinta ilahi yang mengundang manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sifat feminin adalah pengundang kedekatan, yang dengannya memungkinkan makhluk untuk merasakan teduh dan damainya dekat dengan Tuhan.

Kesadaran akan pentingnya sifat feminin tidak hanya mendorong makhluk untuk memahami bagaimana cinta Tuhan itu bekerja, tetapi juga membantu makhluk untuk mengamalkannya dalam hubungannya sebagai sesama makhluk. Sebaliknya, ketidakseimbangan dalam meresapi makna feminin Tuhan dapat mengaburkan makna betapa luasnya kasih sayang ilahi yang universal.

Referensi

Al-Ghazāli, Abū Hāmid. Al-Maqshad Al-Asnā Fī Syarh Ma’āni Asmā’ Allāh Al-Husnā. Beirut: Dār Ibnu Hazm, 1424 H/2003 M.
Makhlūf, Hasanain Muhammad. Shafwat Al-Bayān Li Ma’āni Al-Qur’ān. Abu Dhabi: Lajnah Wathaniyah Li Ihtifālat Bi Maqdam Al-Qarn Al-Khāmis ‘Asyar Al-Hijri, 1981 M/1401 H.
Purwanto, Ahmad. Pemikiran Annemarie Schimmel tentang Sifat Feminin dalam Tasawuf. Teologia, 26 (2), 2015, 216-230.
Umar, Nasaruddin. Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, 2014.
Hilmi, Ahmad Alwan. POLEMIK AL-ASMÂ AL-HUSNÂ DALAM AL-QUR`AN (Dimensi Feminin dan Maskulin). MUMTAZ: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Keislaman, 8 (2024), 144-164.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *