Kritik Fatima Mernissi terhadap Peran Politik Perempuan dalam Penafsiran: Sebuah Pendekatan Hermeneutika Feminis

Peran perempuan dalam politik merupakan isu yang telah lama dibahas dalam kajian sosial, politik, dan agama. Dalam konteks Islam, banyak interpretasi terhadap teks-teks suci, khususnya al-Qur’an, yang memengaruhi pandangan masyarakat terhadap keterlibatan perempuan dalam politik. Tradisi tafsir klasik cenderung membatasi ruang peran perempuan dalam bidang publik, termasuk politik, dengan menekankan aspek-aspek domestik dan privat mereka. Namun, seiring dengan berkembangnya pemikiran feminis, banyak pemikir Muslim, seperti Fatima Mernissi, yang berusaha mendekonstruksi interpretasi ini (Karimullah & Aliyah, 2023: 196).

Fatima Mernissi adalah seorang sarjana dan feminis Muslim asal Maroko yang dikenal karena kontribusinya dalam memandang hubungan antara gender dan agama dalam konteks sosial-politik (Rohendi & Suzana, 2023: 275). Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya dalam sistem patriarkal yang membatasi kebebasan perempuan. Ia mengkritik tafsir Al-Qur’an dan hadis yang dianggap mempersempit peran perempuan, khususnya dalam politik, melalui pendekatan patriarkal (Mohd Anuar Ramli, Jaafar, 2024: 1320). Mernissi menawarkan perspektif baru dalam membahas peran perempuan dalam politik melalui kacamata feminis. Pemikirannya membuka diskursus baru dalam tafsir al-Qur’an yang lebih inklusif dan egaliter. (Muarrah & Sunil, 2024: 2).

Bacaan Lainnya

Beberapa penelitian terkini juga menunjukkan bagaimana tafsir konvensional sering kali mengesampingkan posisi strategis perempuan dalam kehidupan publik dan politik, seiring dengan dominasi pemikiran patriarkal dalam pembacaan teks agama. Oleh karena itu, pemikiran Mernissi yang mencoba membuka ruang bagi partisipasi politik perempuan dalam Islam memberikan sumbangan penting terhadap pengembangan tafsir feminis (Ayas, 2024: 242).

Pendekatan Hermeneutika Feminisme dalam Islam

Feminisme dalam Islam hadir sebagai respons atas ketimpangan gender yang terjadi dalam praktik sosial maupun dalam interpretasi teks-teks keagamaan. Gerakan ini berupaya merekonstruksi pemahaman Islam yang lebih inklusif terhadap perempuan, sekaligus melawan pandangan patriarkal yang telah terinternalisasi dalam budaya masyarakat Muslim. Pandangan ini tidak hanya mengevaluasi praktik sosial, tetapi juga mengkritisi dominasi laki-laki yang sering tercermin dalam tafsir-tafsir agama yang dianggap tidak memadai dalam merepresentasikan keadilan gender (Munawwarah, dkk, 2024: 37-47).

Pendekatan feminisme Islam menempatkan tafsir agama sebagai objek kajian utama dengan kerangka berpikir kritis. Fatima Mernissi, salah satu tokoh feminisme Islam, menyoroti bahwa ketimpangan gender tidak hanya disebabkan oleh budaya patriarkal, tetapi juga dipengaruhi oleh bias tafsir teks-teks keagamaan yang mengabaikan konteks historisnya. Mernissi menegaskan bahwa pemahaman tradisional terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits sering kali melanggengkan ketidaksetaraan gender karena tidak mempertimbangkan dinamika sosial dan budaya pada masa turunnya wahyu (Mernissi, 1991a: 5-7). Fatima Mernissi menekankan pentingnya peran perempuan dalam politik sebagai bagian dari upaya menciptakan masyarakat yang lebih adil. Ia berargumen bahwa pengabaian peran perempuan dalam ruang publik bertentangan dengan sejarah Islam yang mencatat kontribusi signifikan perempuan pada masa awal perkembangan agama (Mernissi, 1987).

Melalui analisis kontekstual, feminisme Islam berusaha mengangkat posisi perempuan dalam Islam sesuai dengan prinsip keadilan dan kesetaraan yang menjadi inti ajaran agama. Pendekatan ini berakar pada metode hermeneutik feminis, yang menekankan pentingnya pembacaan ulang teks agama dengan mempertimbangkan konteks sosial-historisnya. Dengan demikian, feminisme Islam bukan hanya menentang diskriminasi, tetapi juga menawarkan alternatif pemahaman yang mendorong transformasi sosial menuju kesetaraan gender yang sejati dalam kerangka Islam (Sastrawaty, 2023: 59-70).

Ayat Al-Qur’an dan Hadits Yang Dianggap Membatasi Peran Politik Perempuan

QS. An-Nisa [4]: 34:

الرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنۢ أَمۡوَالِهِمۡۗ

Artinya: “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka..” (QS. An-Nisa [4]: 34).

Ayat ini sering ditafsirkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan karena kelebihan yang mereka miliki. Mufasir klasik seperti Ibnu Katsir menekankan superioritas laki-laki dalam aspek kepemimpinan dan tanggung jawab keluarga. Tafsir klasik sering kali dipengaruhi oleh struktur sosial patriarkal yang berlaku pada masa tersebut, khususnya pada masa Ibnu Katsir, yang dipengaruhi oleh kepentingan politik untuk mempertahankan dominasi laki-laki dalam sistem pemerintahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penafsiran ulang dengan pendekatan yang lebih kontekstual untuk mengakomodasi perubahan zaman dan kebutuhan keadilan gender (Ibnu Katsir, t.t.: 449-450).

QS. Al-Baqarah Ayat 228

“…وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ…”

Terjemahan: “…dan para suami memiliki satu tingkatan kelebihan daripada istrinya…”

Ayat ini juga sering ditafsirkan bahwa laki-laki memiliki derajat atau kelebihan dibandingkan perempuan, yang kemudian dijadikan dasar untuk membatasi peran perempuan dalam berbagai bidang, termasuk politik. Beberapa penafsiran tradisional memahami “derajat” ini sebagai kelebihan yang dimiliki suami atas istri dalam konteks rumah tangga. Syekh Nawawi Banten, dalam kitab ‘Uqūd al-Lujain, menafsirkan kata “ دَرَجَةٌ “ pada QS. Al-Baqarah ayat 228 diatas bahwa suami memiliki hak lebih karena tanggung jawabnya atas mahar dan nafkah istri.

Syekh Nawawi menafsirkan kata tersebut sebagai landasan suami memiliki hak lebih dibanding istri. Alasannya sederhana, karena suami bertanggung jawab atas mahar dan nafkah istrinya. Oleh sebab itu, terang Syekh Nawawi, istri wajib patuh kepada suami. Sehingga dapat dipahami, maksud hak lebih menurut Syekh Nawawi adalah hak kepatuhan yang diperoleh suami, ini berarti suami tidak perlu patuh kepada istri (Al-Bantani, t.t.: 6).

Hadis tentang Kepemimpinan Perempuan

“لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً”

Terjemahan: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.”

Hadis ini sering dijadikan dasar untuk melarang perempuan menjadi pemimpin dalam konteks politik atau pemerintahan. Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Bari”, menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan ketidakbolehan perempuan memegang posisi kepemimpinan tertinggi dalam pemerintahan (al-Asqalani, 1379 H: 183). Namun, hal ini tidak serta merta melarang perempuan dari semua bentuk kepemimpinan atau partisipasi dalam urusan publik.

Kritik Fatima Mernisi melalui Pendekatan Feminis terhadap Penafsiran Klasik tentang Peran Politik Perempuan

Fatima Mernissi, sebagai salah satu tokoh utama dalam tafsir feminis mengkritik tafsir tradisional yang membatasi peran perempuan dalam masyarakat. Dalam karyanya Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry, Mernissi menjelaskan bahwa tafsir yang terbentuk pada masa-masa awal Islam sering kali didominasi oleh pemikiran laki-laki, yang menyebabkan interpretasi terhadap teks-teks Al-Qur’an menjadi terdistorsi dalam hal peran perempuan. Mernissi berargumen bahwa pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat perlu ditinjau ulang dengan melihat konteks sosial yang lebih luas, termasuk bagaimana kondisi perempuan pada masa tersebut dibandingkan dengan kondisi perempuan pada masa kini. Pemikiran ini membuka ruang bagi tafsir yang lebih progresif yang memungkinkan perempuan untuk memegang peran sentral dalam kehidupan politik, sosial, dan keagamaan.

Fatima Mernissi memulai pemikirannya dengan menganalisis dasar ajaran Islam yang berkaitan dengan perempuan. Ia menyoroti bahwa dalam al-Qur’an, yang merupakan sumber utama hukum Islam, tidak ada larangan langsung mengenai perempuan yang menjadi pemimpin negara. Mernissi juga menekankan bahwa al-Qur’an memberikan contoh perempuan yang berperan besar dalam sejarah Islam, seperti Khadijah, istri Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai pengusaha sukses dan penasihat politik (Mernissi, 1991a: 5-7).

Dalam bukunya yang terkenal, The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam, Mernissi menggali teks-teks klasik Islam dan hadis-hadis untuk menunjukkan bahwa pada masa Nabi Muhammad, perempuan terlibat dalam masjid, menghadiri pertemuan politik, dan memberikan nasihat politik. Ia menafsirkan sejarah Islam awal sebagai periode di mana perempuan memiliki kebebasan dan keterlibatan politik yang lebih besar daripada yang dipahami dalam budaya Muslim saat ini (Mernissi, 1991b: 12-18).

Pandangan Mernissi tentang peran perempuan juga terlihat dalam analisisnya terhadap beberapa ayat Al-Qur’an yang sering dijadikan dasar pembatasan perempuan, antara lain:

QS. An-Nisa [4]: 34

Ayat ini sering ditafsirkan sebagai penegasan bahwa laki-laki memiliki otoritas lebih atas perempuan dalam rumah tangga. Namun, Mernissi berpendapat bahwa penafsiran ini tidak mempertimbangkan konteks historis dan sosial saat ayat diturunkan. Ia menekankan bahwa ayat tersebut lebih menyoroti tanggung jawab laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, bukan sebagai pembenaran untuk dominasi atau pembatasan peran perempuan dalam masyarakat. Menurut Mernissi, penafsiran yang membatasi peran perempuan bertentangan dengan semangat kesetaraan yang terkandung dalam Al-Qur’an (Mernissi, 1991a: 5-7).

QS. Al-Baqarah [2]: 228

Ayat ini menyatakan bahwa laki-laki memiliki satu tingkatan kelebihan dibandingkan perempuan. Mernissi mengkritik penafsiran yang menggunakan ayat ini untuk membatasi peran politik perempuan. Ia berpendapat bahwa kelebihan yang dimaksud bukanlah otoritas atau dominasi, melainkan tanggung jawab dan kewajiban yang lebih besar dalam konteks tertentu. Dengan demikian, ayat ini tidak seharusnya dijadikan dasar untuk menafikan hak politik perempuan (Mernissi, 1991b: 12-18).

Hadis tentang Kepemimpinan Perempuan

Hadis yang menyatakan bahwa suatu kaum tidak akan beruntung jika dipimpin oleh seorang perempuan sering digunakan untuk membatasi peran politik perempuan. Mernissi menilai bahwa hadis ini harus dipahami dalam konteks sejarah dan sosial saat itu. Ia berpendapat bahwa penafsiran yang menafikan kemampuan kepemimpinan perempuan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan dalam Islam. Menurut Mernissi, banyak perempuan dalam sejarah Islam yang menunjukkan kemampuan kepemimpinan yang luar biasa, sehingga hadis tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk membatasi peran politik Perempuan (Mernissi, 1991c: 19-25).

Melalui kritik-kritiknya, Fatima Mernissi mengadvokasi pemahaman yang lebih inklusif dan kontekstual terhadap teks-teks agama. Ia menekankan pentingnya pendekatan hermeneutika feminis untuk menciptakan tafsir yang mendukung kesetaraan gender. Dengan pendekatan ini, perempuan diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, tanpa terhambat oleh bias patriarkal dalam tafsir tradisional.

Catatan Akhir

Pemikiran Fatima Mernissi menegaskan bahwa Islam pada dasarnya tidak membatasi peran perempuan dalam kehidupan publik, termasuk politik, dan hambatan yang ada lebih merupakan hasil tafsir patriarkal serta kepentingan politik tertentu. Ia mengkritik tafsir klasik al-Qur’an yang sering kali membatasi perempuan hanya pada ranah domestik, dengan pandangan yang dipengaruhi budaya patriarki, bukan nilai egaliter Islam. Melalui pendekatan feminis, Mernissi menyerukan pembacaan kontekstual terhadap ayat-ayat seperti QS. An-Nisa [4]: 34, yang menurutnya menunjukkan fleksibilitas peran gender sesuai situasi sosial. Reinterpretasi teks agama yang progresif dan inklusif dianggapnya penting untuk mendukung kesetaraan gender, sehingga perempuan dapat berkontribusi secara setara dalam membangun masyarakat modern.

DAFTAR PUSTAKA

Ayaz, Hacer. “Methodological Approaches Used in the Works of Fatima Mernissi on Issues of Islam and Gender Equality”, Internasional Journal of Social Sciences, Vol. 7, No. 28 (023)
al-Bantani, Syaikh Nawawi ‘Uqūd al-Lujain fī Bayāni Ḥuqūq al-Zaujain (t.t.: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah)
al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 13 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H)
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.)
Karimullah, Suud Sarim dan Aliyah, Siti Rutbatul. “Feminist Criticism of Traditional Understanding of Women’s Roles in Islam”, An-Nisa: Journal of Gender Studies, Vol. 16, No. 2 (2023)
Mernissi, Fatima Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry (Bandung: Pustaka Belajar, 1991).
_______, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society. (India: Indiana University Press, 1987).
_______, Can Women Head a Muslim State?. London: Saqi Books, 2006.
_______, Islam and Democracy: Fear of the Modern World (Reading, MA: Addison-Wesley, 1992).
_______, The Forgotten Queens of Islam. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1993.
_______, The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam (Reading, MA: Addison-Wesley, 1991)
Munawwarah. Samin, Sabri dan Padang, Tenri. “Kepimimpinan Politik Perempuan Menurut Fatima Mernissi”, Siyasatuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Siyasah Syar’iyyah, Vol. 5, No. 1, (2024).
N, Muarrah dan MB, Sunil. “Exploring Gender Equality: A Comparative Study of Contemporary Feminism, Islamic Perspectives, and Feminism in Sufism”, Philosophy International Journal, Vol. 7, No. 2, (2024).
Ramli, Mohd Anuar. Jaafar, Syed Mohd Jeffri Syed dkk. “Muslim-Malay Women in Political Leadership: Navigating Challenges and Shaping the Future”, Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 23, No. 1 (2024).
Rohendi, Leon dan Suzana, Lilly. “Gender dalam Pendidikan Islam: Perspektif Fatima Mernissi”, Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol. 3, No. 2, (2023).
Roibin. As-Suvi, Ahmad Qiram dkk. “The Domestication of Women’s Roles as a Reflection of Ancient Patriarchal Traditions: A Reflection on The Thoughts of Friedrich Engels and Fatimah Mernissi”, Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, Vol. 22, No. 1, (2023).
Sastrawaty, Nila. “Pro-Kontra Perempuan Dan Politik Dalam Perspektif Feminisme Muslim”, Jurnal Sipakalebbi, Vol. 7, No. 1 (2023).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *