Melihat Hamka sebagai Ethicist (Ahli Etika): Sebuah Eksposisi Metaetis

Haji Abdullah Malik Abdul Karim Amrullah (1908-1981)—selanjutnya disebut Hamka—merupakan salah satu ulama-cum-intelektual Muslim terkemuka di abad ke-20. Oleh sejumlah peneliti South-East Asian Islam (Islam Asia Tenggara), ia dipandang sebagai salah satu pemimpin utama bagi perkembangan wacana Islam modern di Indonesia (Kersten, 2017; Rush, 2016; Steenbrink, 1994).

Lahir dan besar di milieu yang sangat apresiatif terhadap gagasan reformasi keagamaan, Hamka memiliki kekaguman yang tinggi pada pembaruan Islam berikut artikulasinya yang relevan dengan konteks keindonesiaan yang memasuki babak modern. Berkat perjumpaannya dengan berbagai tokoh Muslim kenamaan, seperti H. O. S. Tjokroaminoto, H. Fakhruddin, dan Ki Bagus Hadikusumo, Hamka pun berusaha mempromosikan suatu bentuk Islam yang baru—suatu keberislaman yang hidup dan sanggup memproduksi pemahaman maupun aktivitas keagamaan yang dinamis.

Bacaan Lainnya

Sebagai penulis prolific, Hamka telah menghasilkan ratusan karya yang meliputi berbagai macam topik, mulai dari teologi, filsafat, hukum Islam, sejarah, sufisme, dan tentu saja, etika dan moralitas. Tidak hanya itu, ia juga melahirkan satu karya tafsir monumental, Tafsir al-Azhar. Tafsir tersebut merupakan kitab tafsir yang unik bukan hanya karena ia dapat menguraikan prinsip-prinsip Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an, melainkan juga mampu merekam dengan baik peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia pada masa tafsir tersebut ditulis (Federspiel, 1991).

Minat Hamka pada reformasi agama terbukti dalam karya-karyanya, terutama dalam tafsirnya, di mana ia menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan pergumulan aktifnya dengan berbagai problem modern, baik itu kultural, sosial, politik, hingga religius (Sirry, 2016). Tidak berlebihan jika Tafsir al-Azhar ditahbiskan sebagai salah satu karya interpretatif paling berpengaruh di dunia Malaysia-Indonesia pada abad ke-20. Sebab, magnum opus ini di satu sisi dapat mencakup berbagai pokok bahasan, baik wacana keagamaan maupun non-keagamaan. Di sisi lain, ia berhasil mengajukan pemahaman yang melampaui makna literal dari ayat Al-Qur’an serta memperluas horizon hermeneutis bagi teks tersebut melalui asimilasi kreatifnya dengan cakrawala modernitas (Wan Yusof, 1997).

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemikiran Hamka terkait masalah etika. Secara spesifik, penulis akan berfokus pada bahasan metaetika yang berkaitan dengan status ontologis dari nilai kebaikan dan keburukan. Argumen yang akan penulis usulkan adalah bahwa meski merekognisi objektivitas nilai etis berikut aksesibilitasnya bagi akal budi manusia, Hamka tetap menegaskan posisi sentral agama, terutama Islam, dalam mendeterminasi kebaikan dan keburukan.

Dalam konteks ini, ambiguitas posisi etis Hamka mencerminkan dinamika pergulatannya dengan teks fondasional Islam di satu sisi dan konteks Indonesia modern di sisi lain. Tentu saja, ambiguitas ini merupakan hal yang positif dalam tradisi Islam. Karena, meski berhadapan dengan fondasionalisme modernitas yang sangat menekankan sifat tunggal, ajek, dan absolut dari sesuatu, Hamka tetap dapat mempreservasi keragaman perspektif dalam wacana metaetika, bahkan ketika perspektif-perspektif berkontradiksi sekalipun.

Objektivitas dan Dependensi Nilai Etis

Salah satu pertanyaan filosofis yang mendasar dalam perbincangan metaetika adalah status ontologis dari nilai kebaikan dan keburukan. Apakah tindakan yang baik secara moral hanya semata-mata baik karena Tuhan menghendakinya? Ataukah Tuhan menghendaki tindakan tersebut karena memang ia baik pada dirinya?(Bagget & Walls, 2011) Oleh para filsuf, dilema semacam ini dikenal sebagai Euthyphro Dilemma (Hare, 2019).

Dalam tradisi Islam, kita dapat mengamati perkembangan wacana Euthyphro Dilemma pada perdebatan kalām (teologi spekulatif) yang berlangsung sengit antara Mu’tazilah dengan Asy‘ariyyah berkaitan dengan mas’alah al-ḥusn wa al-qubḥ (persoalan kebaikan dan keburukan). Sementara Mu’tazilah mendukung etos moral objectivism—objektivitas dan independensi nilai etika, Asy‘ariyyah mengkritik posisi etis Mu’tazilah dengan mengajukan etos theistic subjectivism—kebergantungan nilai etika pada kehendak mutlak Tuhan (al-Attar, 2017; Sachedina, 2005).

Untuk memahami kompleksitas pandangan Hamka mengenai persoalan ini, penulis akan memulai dengan menguraikan pandangannya mengenai hukum alam (sunnatullah). Dalam Falsafah Hidup (2020), Hamka menerangkan bahwa hukum alam merupakan tatanan yang teguh, abadi, dan universal. Usianya lebih tua dari segala bentuk hukum yang pernah dikenal dan dialami oleh manusia. Bahkan, seluruh hukum yang berlaku hingga saat ini, tak terkecuali hukum agama, merujuk kepada hukum alam tersebut. Hamka kemudian merincikan karakter utama dari hukum tersebut sebagai hukum yang paling tua; yang paling luhur; bersumber langsung dari Tuhan; didasarkan pada cinta Ilahi; berlaku di segala zaman dan tempat (universal); adil; serta dapat dinilai dan diputuskan secara objektif oleh akal manusia (rasional).

Berdasarkan perincian di atas, Hamka secara eksplisit mengakui karakter objektif dan universal dari nilai moral. Sebagaimana ia meliputi matahari, bumi, bintang, dan peredaran alam semesta, hukum alam juga berlaku bagi manusia dan mengikat eksistensi mereka. Pada kenyataannya, penyelidikan terhadap hukum alam telah melahirkan berbagai jenis ilmu pengetahuan, seperti kosmologi, astronomi, geologi, biologi, psikologi, sosiologi, antropologi, dan tentu saja, ilmu budi atau etika.

Dalam konteks etika, ekstrapolasi kebaikan dan keburukan dari hukum alam menunjukkan bahwa kebaikan dan keburukan adalah properti intrinsik di realitas. Selain itu, nilai-nilai etis tersebut tidak bergantung pada subjektivitas siapapun dan apapun. Manusia yang dibekali panca indera, akal budi, dan intuisi oleh Tuhan dapat menentukan kebaikan dan keburukan secara objektif berdasarkan tatanan etis yang terkandung dalam hukum alam (Amrullah, 2016).

Di lain tempat, Hamka menerangkan bahwa risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah pelanjut dari, sekaligus penyempurna terhadap, risalah-risalah keagamaan sebelumnya. Dengan mengutip hadis Nabi yang menyatakan bahwa kehadiran Nabi semata-mata bertujuan untuk menyempurnakan budi pekerti umat manusia (inna mā bu‘iṡtu li utammima makārim al-akhlāq), Hamka berupaya menunjukkan bahwa Nabi hendak mengapresiasi dan meneruskan usaha-usaha kemanusiaan—realisasi nilai etis dari hukum alam untuk kehidupan—yang telah ada ribuan tahun sebelum sang Nabi hadir. Artinya, kedatangan Islam tidaklah membawa suatu etos baru, melainkan mengafirmasi dan menegaskan ulang sistem etika perenial yang universal itu (Amrullah, 2019).

Premis demikian tampaknya selaras dengan gagasan intuisi moral yang ditawarkan oleh Mu’tazilah. Bagi para teolog Mu’tazilah, moralitas merupakan kenyataan yang bersifat intuitif dan berlaku bagi setiap manusia, terlepas dari apapun afiliasi keagamaannya (Hourani, 1985). Dalam konteks ini, kode moral atau preskripsi-preskripsi etis sejatinya bersifat alamiah, universal, objektif, dan independen (Nusseibeh, 2017).

Maka dari itu, nilai-nilai etika diandaikan eksis jauh sebelum agama-agama datang menerangkan kebaikan (Emon, 2004). Salah seorang peneliti Hamka bahkan membai’at Hamka sebagai seorang Mu’tazilah setelah meninjau pandangan-pandangan interpretatif Hamka terkait wahyu , kebebasan dan predestinasi, hingga kehendak dan keadilan Tuhan (Yusuf, 1990).

Menurut penulis, klaim semacam ini adalah kesimpulan yang tergesa-gesa, tidak berimbang, dan cenderung simplifikatif. Pasalnya, dalam berbagai kesempatan, Hamka juga menegaskan bahwa Syariat Islam adalah penentu bagi etis tidaknya nilai tindakan dalam kehidupan manusia (Amrullah, 2016, 2020a). Dalam hal ini, kebaikan adalah apa yang dipandang baik menurut Islam dan keburukan adalah apa yang dipandang buruk oleh Islam (Haris, 2010). Dengan nada afirmatif terhadap paham Asy‘ariyyah, Hamka pun memandang bahwa konstruksi nilai-nilai etika bergantung kepada, dan didasarkan oleh, kehendak mutlak Tuhan.

Penulis berpendapat bahwa penegasan Hamka yang ambivalen ini merupakan bagian dari upaya akomodatif terhadap paham Asy‘ariyyah yang mengidentikkan kebaikan dan keburukan dengan perintah dan larangan Tuhan. Sejak paham Asy‘ariyyah—yang telah memenangkan pertarungan diskursus keagamaan dalam Islam—menempati posisi normatif bagi keberagamaan masyarakat Muslim Indonesia, Hamka tampaknya berusaha untuk menegosiasikan etos moral objectivism dengan posisi metaetis Asy‘ariyyah. Tentu saja, terdapat sejumlah modifikasi diskursif yang dilakukan Hamka terhadap dua posisi etis ini agar apa yang ia gagas selaras dengan konteks masyarakat Indonesia modern. Hal demikian akan semakin jelas ketika Hamka menjelaskan nilai khair, ma’rūf, dan munkar.

Wacana Metaetika dalam QS. Āli ‘Imrān [3]: 104

Dalam QS. Āli ‘Imrān [3]: 104, Al-Qur’an menyebut tiga jenis nilai yang berkenaan dengan kehidupan manusia, yaitu khair, ma’rūf, dan munkar. Ketiga terminologi ini, terutama ma’rūf, merupakan konsep etis yang darinya diskursus metaetika Islam dapat dikembangkan (Reinhart, 2002).

Dalam Tafsir al-Azhar, Hamka menjelaskan bahwa istilah ma’rūf, yang berasal dari kata ‘urf, berarti sesuatu yang telah dikenal, dipahami, dan diterima secara kolektif oleh masyarakat. Sebaliknya, munkar mengandung pengertian sebagai sesuatu yang asing, tidak disenangi, dan oleh karenanya tertolak di masyarakat. Hamka lalu mengeksplisitkan bahwa orang-orang yang menggunakan akal sehatnya akan menilai bahwa suatu perbuatan itu patut atau tidak pantas dikerjakan karena nilai kebaikan atau keburukan secara inhern melekat pada perbuatan tersebut (Amrullah, 2001a).

Dari penjelasannya terhadap ma’rūf dan munkar, Hamka tampak menerima bahwa sejumlah nilai moral bersifat independen dan dapat diketahui secara objektif oleh manusia selama mereka menalar dengan akal yang sehat dan merasa dengan perasaan yang halus (Amrullah, 2020b). Namun, ketika menafsirkan term khair, Hamka secara ambivalen menguraikan bahwa kebaikan yang universal dan absolut merujuk kepada segala hal yang disampaikan oleh agama Islam. Secara khusus, Hamka menyoroti sentralitas dimensi kepercayaan akan keesaan Tuhan (tauḥīd) dalam Al-Qur’an yang memainkan peran sebagai pembentuk tata nilai etis bagi kehidupan manusia (Amrullah, 2017).

Hamka kemudian menegaskan bahwa kehadiran agama bertujuan untuk memfasilitasi manusia dalam menjustifikasi nilai yang ma’rūf maupun yang munkar. Alasan manusia membutuhkan agama adalah karena dalam banyak kesempatan, kesimpulan etis dari akal budi mereka cenderung partikular, berat sebelah, dan tidak mempertimbangkan kebaikan kemanusiaan secara kolektif (Amrullah, 2018).

Selain mempreservasi ketegangan wacana moral dalam tradisi Islam klasik, Hamka memberikan sentuhan baru dengan menyuntikkan gagasan virtue ethics (etika keutamaan) dalam perbincangan etika Islam. Berkenaan dengan ini, Hamka menyatakan bahwa kesadaran beragama akan memunculkan suatu keutamaan dalam jiwa yang menyebabkan seseorang bukan hanya dapat mengidentifikasi perbedaan antara baik dan buruk, melainkan juga mendorongnya untuk menumbuhkan sifat luhur (‘iffah) dan berani (syajā‘ah) dalam menegakkan yang ma’rūf dan menentang yang munkar (Amrullah, 2023a). Pada titik ini, tingkat kecerdasan dan kesadaran keagamaan seseorang berbanding lurus dengan bagaimana ia mengenal, memahami, dan menilai kedua nilai etis tersebut.

Memang, Hamka cenderung melihat etika tidak sebatas pergulatan teoretis belaka, melainkan juga merupakan suatu disposisi dan kualitas mental yang memungkinkan seseorang bertindak berdasarkan perspektif yang tepat. Bahkan ketika menjelaskan makna QS. Āli ‘Imrān [3]: 110, Hamka secara eksplisit mengaitkan etika dengan kehendak bebas manusia. Dengan penuturan yang dapat dipandang sebagai artikulasi Nietzschean, Hamka menyatakan bahwa keimananlah yang menggaransikan kebebasan jiwa sekaligus memainkan peran sentral sebagai daya dorong untuk menghendaki amr bi al-ma’rūf wa al-nahy ‘an al-munkar.

Reformasi Radikal: Preservasi Ambiguitas Islam Klasik dan Apresiasi Horizon Modernitas

Bertolak dari ulasan di atas, kita dapat menuliskan bahwa gagasan metaetika dalam pemikiran Hamka secara kreatif berusaha untuk menegosiasikan ketegangan etis antara etos Mu’tazilah dan Asy‘ariyyah terkait posisi akal dan wahyu dalam hubungannya dengan masalah dilema moral. Berkaitan dengan ini, Hamka mengusulkan suatu rasionalisme kritis dengan tetap mengapresiasi sentralitas posisi wahyu bagi tata nilai etis dalam kehidupan manusia; rasionalisme yang ia sebut sebagai guided reason (akal yang berpedoman).

Melalui pengamatan cermat atas stagnasi intelektual—oleh karena permusuhan terhadap penggunaan akal dalam beragama—yang menyebabkan berbagai krisis bagi masyarakat Muslim modern, Hamka pun mengaproprasi secara strategis tradisi Islam rasional untuk merestorasi peran dan fungsi akal kepada posisi yang sesungguhnya dalam pemikiran Islam. Pada saat yang sama, ia sangat berhati-hati dalam pendekatannya. Sehingga, untuk menjauhkan dirinya dari pemikiran spekulatif yang bertentangan dengan batas-batas normativitas Islam, Hamka tetap menjadikan wahyu sebagai sumber fundamental bagi konstruksi pemikirannya (Aljunied, 2018).

Penegasan akan keseimbangan antara rasionalitas dengan wahyu juga terbukti dalam penafsirannya terhadap QS. al-Mā’idah [5]: 48, di mana Hamka mengidentifikasi fondasi utama dari etos Islam sebagai kemerdekaan akal. Sejak Al-Qur’an memiliki status sebagai penutup syariat Ilahi, maka umat manusia, terkhusus umat Muslim, dituntut untuk memaksimalkan potensi akal budinya dalam berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan sekaligus mewujudkan kehidupan yang baik bagi penghuni semesta (Amrullah, 2001b).

Di samping menganjurkan pemeriksaan ulang terhadap wacana dan metodologi klasik dalam mentransmisikan dan mengartikulasikan Islam, Hamka juga berupaya untuk membangun suatu inovasi terhadap pembacaan teks-teks Islam yang mengintegrasikan secara komprehensif seluruh horizon pengetahuan dan perangkat intelektual manusia yang tersedia. Pada titik ini, kita dapat menempatkan Hamka sebagai lokomotif bagi apa yang disebut oleh Tariq Ramadan sebagai radical reform (reformasi radikal) (Ramadan, 2009).

Berpijak pada basis reformasi radikal tersebut, etos Islam yang digagas Hamka hendak menawarkan suatu solusi keagamaan yang dapat menjawab masalah-masalah etis-praktis masyarakat Muslim Indonesia dengan tetap mengapresiasi zeitgeist (semangat zaman) modern, yaitu rasionalitas dan kebebasan individu. Lebih dari itu, ia bahkan mengajukan suatu modifikasi diskursif terhadap wacana Islam klasik dengan mengelaborasi secara kreatif pemikiran-pemikiran etika yang berkembang dalam tradisi filsafat Barat, terutama wacana keutamaan (Aristoteles) dan kehendak etis (Nietzsche) (lihat misalnya dalam Amrullah, 2023b). Suatu saat, penulis akan meninjau lebih jauh gagasan etika Hamka dari posisi metaetis Nietzsche.

Sebagai catatan penutup, meski menulis di era modern yang gandrung pada simple truth, penafsiran Hamka menunjukkan bahwa nafas polivalensi, keragaman, dan ambiguitas makna yang sangat diapresiasi dalam Islam klasik (Bauer, 2021) tidak sepenuhnya absen dalam karya tafsir modern. Memang, perlu diakui bahwa terdapat suatu penurunan polivalensi pemaknaan dalam skema tafsir modern (Coppens, 2021).

Akan tetapi, kita dapat menempatkan karya Hamka sebagai antitesis dari tren tersebut sekaligus memandangnya sebagai suatu sketsa intelektual yang berusaha mempreservasi ambigutias di satu sisi, dan pada sisi lain, mengontekstualisasikan pesan-pesan Al-Qur’an. Pergulatan hermeneutis demikian bertolak dari keyakinan Hamka bahwa selain merujuk kepada keragaman pemaknaan yang eksis dari karya-karya eksegesis terdahulu, aktivitas tafsir juga mesti menggambarkan sudut pandang dan pengalaman penulisnya dalam rangka mengatasi berbagai kebutuhan spesifik di mana sang mufasir hidup (Riddell, 2001).

Daftar Pustaka
al-Attar, M. (2017). Meta-ethics: A Quest for an Epistemological Basis of Morality in Classical Islamic Thought. https://doi.org/10.1163/24685542-12340003
Aljunied, K. (2018). Hamka and Islam: Cosmopolitan Reform in the Malay World. Cornell University Press.
Amrullah, H. A. A. (2001a). Tafsir Al-Azhar: Vol. II (IV). Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura.
Amrullah, H. A. A. (2001b). Tafsir Al-Azhar: Vol. III (IV). Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura.
Amrullah, H. A. A. (2016). Lembaga Hidup. Republika.
Amrullah, H. A. A. (2017). Dari Hati ke Hati. Gema Insani.
Amrullah, H. A. A. (2018). Pelajaran Agama Islam: HAMKA Berbicara tentang Rukun Iman. Gema Insani.
Amrullah, H. A. A. (2019). Lembaga Budi. Republika.
Amrullah, H. A. A. (2020a). Falsafah Hidup. Republika.
Amrullah, H. A. A. (2020b). Studi Islam. Gema Insani.
Amrullah, H. A. A. (2023a). Akhlaqul Karimah. Gema Insani.
Amrullah, H. A. A. (2023b). Pribadi Hebat. Gema Insani.
Bagget, D., & Walls, J. L. (2011). Good God: The Theistic Fondations of Morality. Oxford University Press.
Bauer, T. (2021). A Culture of Ambiguity: An Alternative History of Islam (H. Biesterfeldt & T. Tunstall, Trans.). Columbia University Press.
Coppens, P. (2021). Did Modernity End Polyvalence? Some Observations on Tolerance for Ambiguity in Sunni Tafsir. Journal of Qur’anic Studies, 23(1), 36–70. https://doi.org/10.3366/jqs.2021.0450
Emon, A. M. (2004). Natural Law and Natural Rights in Islamic Law. Journal of Law and Religion, 20(2), 351–395. https://doi.org/10.2307/4144668
Federspiel, H. M. (1991). An Introduction to Qur’anic Commentaries in Contemporary Southeast Asia. The Muslim World, 81(2), 149–161. https://doi.org/10.1111/j.1478-1913.1991.tb03519.x
Hare, J. (2019). Religion and Morality. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopaedia of Philosophy (Fall 2019). Metaphysics Research Lab, Stanford University. https://plato.stanford.edu/archives/fall2019/entries/religion-morality/
Haris, Abd. (2010). Etika Hamka: Konstruksi Etis Berbasis Rasional-Religius. LKiS.
Hourani, G. F. (1985). Reason and Tradition in Islamic Ethics. Cambridge University Press.
Kersten, C. (2017). A History of Islam in Indonesia: Unity in Diversity. Edinburgh University Press.
Nusseibeh, S. (2017). The Story of Reason in Islam. Stanford University Press.
Ramadan, T. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford University Press.
Reinhart, A. K. (2002). Ethics and the Qur’ān. In J. D. McAuliffe (Ed.), Encyclopaedia of the Qur’an: Vol. II (pp. 55–78). Brill.
Riddell, P. G. (2001). Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses. Hurst & Company.
Rush, J. R. (2016). Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia. The University of Wisconsin Press.
Sachedina, A. (2005). Islamic Ethics: Differentiations. In W. Schweiker (Ed.), The Blackwell Companion to Religious Ethics (pp. 254–267). Blackwell Publishing.
Sirry, M. (2016). What’s Modern about Modern Tafsīr: A Closer Look at Hamka’s Tafsīr al-Azhar. In M. Daneshgar, P. G. Riddell, & A. Rippin (Eds.), The Qur’ān in the Malay-Indonesian World: Context and Interpretation (pp. 198–211). Routledge.
Steenbrink, K. (1994). Hamka (1908-1981) and the Integration of the Islamic Ummah of Indonesia. Studia Islamika, 1(3), Article 3. https://doi.org/10.15408/sdi.v1i3.851
Wan Yusof, W. S. (1997). Hamka’s Tafsir al-Azhar: Qur’anic Exegesis as a Mirror of Social Change [Ph.D. Dissertation]. Temple University.
Yusuf, M. Y. (1990). Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah atas pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Pustaka Panjimas.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *