Zakat dan Cita-cita Masyarakat Ideal

Di antara rukun Islam yang lima, zakat adalah rukun yang secara eksplisit menegaskan adanya wilayah bersama antara Ketuhanan dengan kemanusiaan. Dengan demikian, jika memang Islam memiliki komitmen untuk kemanusiaan, maka seharusnya zakat adalah pintu masuk yang paling wajar. Tulisan ini hendak mendiskusikan bagaimana zakat hadir dalam ruang dan waktu pembentukan masyarakat Muslim dan bagaimana konsekuensi sosial, ekonomi, dan politiknya demi mencapai cita-cita masyarakat ideal.

Makkah, Madinah, dan Zakat

Surah Al-Ma`un sangat kental nuansa zakatnya. Jika surah tersebut turun di Makkah, maka bisa dikatakan ada semacam “kewajiban” zakat yang telah hadir sejak era Makkah, walaupun mungkin belum dalam bentuk formal. Di antara yang mengatakan bahwa ajaran zakat telah hadir sejak era Makkah adalah Asghar Ali Engineer (Engineer: 2002, 66) dan Karen Armstrong (Armstrong: 2022, 83) meski menurut mereka, zakat pada waktu itu belum bernuansa sosial, tetapi lebih kepada penyucian diri. Adanya ajaran zakat sejak era Makkah memberikan jawaban lebih meyakinkan terhadap pertanyaan: Mengapa masyarakat Makkah menentang dakwah Nabi Muhammad saw?

Bacaan Lainnya

Asghar Ali Engineer mencatat orang-orang seperti Taha Husain dan H.A.R. Gibb yang mengatakan bahwa jika hanya tradisi berhala yang diserang oleh Nabi, maka sesungguhnya penentangan masyarakat Makkah tidak akan terlalu besar. Penentangan menjadi sangat intensif karena ajaran-ajaran Nabi, termasuk zakat, mengancam kemakmuran ekonomi mereka. Saat Nabi berdakwah pertama kali, sudah selama satu atau dua generasi sedang terbentuk pola sosial ekonomi baru di Makkah, yaitu perdagangan yang sebelumnya adalah mereka semata-mata masyarakat pedalaman nomad. Saat perdagangan menjadi primadona, hubungan berdasarkan kepemilikan harta pun menjadi dominan. Inilah yang menjadi sasaran kritik Al-Qur’an.

Jika di Makkah zakat lebih merupakan aktivitas individual, maka di Madinah tidak lagi. Zakat lebih merupakan aktivitas komunal yang bahkan menjadi penanda bahwa seseorang atau sekelompok orang masih layak dianggap bagian dari masyarakat Muslim atau tidak. Itu terjadi karena zakat telah mengalami institusionalisasi. Institusionalisasi terjadi karena zakat bukan lagi semata-mata aktivitas individual untuk kesucian dirinya sendiri, tetapi telah berubah menjadi kewajiban individu terhadap masyarakatnya. (Fachruddin: 1981, 121) Institusionalisasi ini membuat sebagian pakar menyebutnya sebagai bukti kewajiban zakat sebagaimana dipahami oleh M. Quraish Shihab (Shihab: 2014, 614) dan Fazlur Rahman (Rahman: 2000, 41) Namun, ada juga yang memahami zakat bersifat sukarela.

Institusionalisasi zakat paling terang-benderang terjadi ketika Khalifah Abu Bakar memerangi kelompok yang enggan menyetorkan zakat ke Madinah sepeninggal Nabi. Keengganan itu dianggap sebagai pembangkangan terhadap tradisi Nabi dan juga penentangan terhadap penjagaan atas kesejahteraan masyarakat. Bagi Abu Bakar, zakat yang disetorkan ke Madinah adalah tradisi Nabi. Mengabaikannya sama dengan mengingkari tradisi Nabi. Tradisi ini diakui baik oleh Sunni maupun Syi’i. Sangat jelas sikap seperti itu adalah pengejawantahan bahwa masyarakat Muslim bukan hanya masyarakat religius, tetapi juga tatanan politis, moral, sosial. (Nanji: 2002, 67).

Persoalannya, masyarakat Badui gurun yang hidup cenderung nomad, barangkali tidak memahami itu dan karena itulah mereka memberontak kepada Madinah di bawah Khaifah Abu Bakar. (Engineer: 2000, 63). Penamaan Madinah dengan “Madinah” memang semacam antitesis terhadap masyarakat Badui yang hidup nomad. M. Dawam Rahardjo mencatat bahwa Madinah tidak sama dengan kota-kota lain dan bahkan tidak sama dengan Makkah yang diatur berdasarkan plutokrasi yang terdiri dari para pedagang yang berkuasa. Madinah diatur sebagai negara hukum berdasarkan suatu konstitusi tertentu, yaitu Konstitusi Madinah. (Rahardjo: 1996, 340-341).

Zakat yang semula semata merupakan upaya penyucian diri dari kesombongan pribadi beranjak menjadi upaya untuk menciptakan tatanan sosial dan ekonomi yang adil. Pada konteks Madinah, ada sebuah tujuan yang lebih praktis dari zakat tetapi sangat menentukan keadilan, yaitu melepaskan individu-individu dari status hubungan kesukuan dan melebur kepada masyarakat Muslim secara umum. (Hodgson: 1999, 258-259)

Zakat dan Al-Qur`an

Zakat adalah sebuah ajaran untuk membantu mereka yang miskin dan membutuhkan. Tujuannya adalah sebagai koreksi sosial terhadap ketimpangan ekonomi sekaligus sebagai sarana untuk meningkatkan derajat spiritual, sebagaimana dalam QS. Al-Hasyr/59: 7. Dengan demikian, zakat adalah solusi Islam untuk mencapai masyarakat ideal yang dicita-citakannya.

Allah Swt adalah pemilik sejati segala hal, termasuk alam raya, manusia, dan harta benda milik manusia. Karena itu, segalanya harus bergerak sesuai dengan visi moral dan spiritual Al-Qur`an, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Salah satu visi moral dan spiritual itu adalah solidaritas sosial dan keadilan, sebagaimana disebutkan di dalam QS. An-Nahl/16: 90, QS. Al-Hadid/57: 18, dan QS. Ali Imran/3: 180. (Nanji: 2002, 67).

Di dalam Al-Qur`an, tidak terpisahnya antara koreksi sosial dan derajat spiritual adalah tanda bahwa tidak adanya dikotomi antara usaha material dan usaha spiritual, baik dalam konteks individual maupun dalam konteks komunal sebagaimana disebutkan di dalam QS. Ali Imran/3: 110. Selain itu, kepemilikan harta benda mengandung tanggung jawab dalam hal penggunaannya. (Nanji: 2002, 67).

Meski sudah menjadi ajaran Islam sejak era Makkah, zakat memang menjadi begitu populer baru sejak di Madinah. Segera setelah berdirinya Masjid Nabawi, Nabi mengundang para pedagang dari semua kabilah dan kelas sosial untuk membuka kios dan toko di sekitar masjid. Hal itu berbeda dengan sebelum datangnya Nabi yang mana pasar berpencar-pencar di masing-masing kabilah. Nabi ingin membangun kebersamaan karena dengan demikian, berbagai kabilah akan bergaul bahkan hingga hidup bertetangga dengan banyak kabilah lain dan roda perekonomian berjalan semakin cepat. (Jebara: 2022, 232). Kebijakan pembangunan pasar bersama ini menjadi salah satu sumber perdebatan Nabi dengan Yahudi Madinah karena khawatir kontrol atas pasar bisa lepas dari kekuasaan mereka. (Donner: 2022, 51).

Ternyata, tantangan baru datang menyapa. Pedagang besar mendapatkan peluang yang lebih besar untuk menguasai pasar karena modal mereka yang kuat dan membuat pedagang kecil semakin kecil. Sebuah konsekuensi perdagangan bebas. Lalu turunlah wahyu QS. Ar-Rahman/55: 7-9 yang salah satu penekanannya adalah: Tuhan telah menciptakan alam semesta dalam keadaan seimbang. Nabi menjelaskan bahwa bentuk keseimbangan itu adalah orang kaya memiliki kelebihan modal yang bisa dimanfaatkan untuk membantuk mengentaskan kaum miskin. (Jebara: 2022, 232).

Jadi, ayat tentang bantuan kepada orang yang kurang mampu tidak secara langsung menyebutkan kata zakat, tetapi dengan penekanan kepada keseimbangan kehidupan sebagaimana alam raya juga berjalan seimbang. Gerak kemanusiaan yang ideal adalah mengikuti gerak keseimbangan alam raya (al-mîzân). Ayat-ayat itu tidak sesederhana melarang para pedagang berbuat curang dengan menipu timbangan, meski di situ ada disebutkan tentang timbangan.

Belakangan kemudian turun ayat yang memang secara eksplisit menyebutkan kata zakat, yaitu QS. Al-Muzzammil/73: 20. Kata zakat di situ sesungguhnya berarti perancah yang digunakan untuk dapat meraih lebih tinggi yang biasanya digunakan saat mendirikan bangunan. Kata zakat kemudian dipakai sebagai simbol yang tepat untuk menjelaskan rencana Nabi untuk memperbesar peluang orang-orang yang kesulitan dalam permodalan untuk juga tetap bisa berdagang dengan baik. (Jebara: 2022, 237).

QS. Al-Muzzammil/73: 20 menggunakan kata îtâ dalam arti menukar dan bukan kata i’tâ dalam arti memberi. Mohamad Jebara memahaminya bahwa zakat sesungguhnya bukan derma, melainkan pertukaran uang atau penanaman modal yang keuntungannya untuk semua, baik pemberi modal, penerima modal, dan masyarakat secara keseluruhan. (Jebara: 2022, 237).

Cita-cita Masyarakat Ideal

Masyarakat ideal bukan masyarakat kaya raya, tetapi masyarakat yang bersedia menerima perubahan demi kebaikan bersama. Masyarakat Makkah enggan berubah karena sekelompok pedagang yang sedang berkuasa khawatir perubahan tersebut membuat mereka bukan lagi pusat kekuasaan. Meskipun keengganan mereka hanya menguntungkan mereka dan merugikan masyarakat banyak, mereka tidak peduli karena justru itulah tujuannya. Dampaknya adalah sesungguhnya Makkah tidak mengalami perkembangan signifikan baik dari sisi sosial, politik, dan ekonomi dalam waktu yang cukup lama.

Masyarakat Madinah, dengan beberapa tantangan, lebih mudah diajak berubah karena adanya Konstitusi Madinah yang membuat kekuasaan tidak hanya berada pada segelintir orang. Karena itu, Madinah dengan cepat menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan di jazirah Arab. Salah satu kunci kekuatan itu adalah ekonomi dan kunci kekuatan ekonomi adalah zakat.
Zakat tidak semata-mata menciptakan harmoni kehidupan bersama sesama manusia, tetapi juga menjadi bagian penting dari hubungan baik hamba dengan Tuhan. Zakat adalah contoh sempurna perpaduan antara kehidupan ruhani dan kehidupan jasmani jika dibandingkan dengan ritual-ritual lain di dalam Islam.

Bahan Bacaan

Armstrong, Karen, Muhammad: Rasul Allah Sepanjang Zaman, Bandung: Mizan, 2022
Donner, Fred M., Muhammad dan Umat Beriman: Asal-usul Islam, Jakarta: Gramedia, 2022
Engineer, Asghar Ali, Asal Usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Engineer, Asghar Ali, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Fachruddin, Fuad Mohd., Filsafat dan Hikmat Syariat Islam I, Jakarta: Bulan Bintang, 1981
Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Jakarta: Paramadina, 1999
Jebara, Mohamad, Muhammad the World Changer: Kisah Hidup Rasulullah Berdasarkan Sumber Autentik yang Jarang Diceritakan, Yogyakarta: Bentang, 2022
Nanji, Azim, “Almsgiving”, dalam Jane Dammen McAuliffe, Encyclopaedia of the Qur’an, Jilid 1, London: Brill, 2002
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur`an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 2000
Shihab, M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan Al-Qur`an dan Hadits-hadits Shahih, Tengerang: Lentera Hati, 2014

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *