Parenting Stage dalam Islam

Parenting stage adalah istilah yang dimunculkan dalam pegasuhan anak. Istilah ini lebih dekat pada cara atau gaya pengasuhan anak, yaitu proses pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua dengan cara membimbing, mengontrol, mendampingi anak-anak untuk melaksanakan tugas perkembangannya sampai usia dewasa.[1] Secara umum gaya pengasuhan anak terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama gaya pengasuhan authoritative yaitu gaya pengasuhan dengan menggunakan komunikasi dua arah antara orang tua dan anak atau disebut juga gaya pengasuhan demokratis. Kedua gaya pengasuhan authoritarian, yaitu gaya pengasuhan dimana orang tua menjadi pusat pengendalian anak atau disebut juga gaya pengasuhan otoriter. Ketiga gaya pengasuhan permissive gaya pengasuhan dimana pola komunikasi hanya satu arah, anak memiliki kendalinya.[2] Tentunya masing-masing gaya pengasuhan tersebut memiliki konsekuensi dalam pelaksanaannya. Bisa jadi dari beberapa gaya pengasuhan ini dapat dikolaborasi dalam proses pengasuhan anak. 

Dalam ajaran Islam pengasuhan anak memiliki tempat yang istimewa. Hal ini tercatat dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan peran para nabi yang tidak terlepas dari historisnya mendidik dan membersamai anak-anak. Sebut saja Nabi Ibrahim as, yang memiliki sejarah agung Qurban bersama putranya yaitu Nabi Ismail as. Nabi Nuh as. yang memiliki sejarah panjang perjalanan dakwah bersama umatnya yang tidak terlepas dari perannya mendidik putranya Kan’an. Selain itu kemelekatan dan pendidikan kasih sayang yang diberikan Nabi Ya’kub as kepada Nabi Yusuf as telah memberikan sentuhan gaya pengasuhan yang sangat melekat dalam ajaran Islam yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Begitu juga peran Siti Maryam yang mampu membesarkan Nabi Isa as dalam perannya sebagai single parent.

Bacaan Lainnya

Selain para nabi, Allah Swt mengabadikan figur Luqman Al-Hakim sebagai seorang hamba yang mampu memberikan sentuhan pengasuhan anak yang menjadi teladan sepanjang masa. Parenting stage yang dilakukan oleh Luqman adalah melalui pendekatan tauhid, ibadah, dan akhlak. Gaya pengasuhan yang dilakukan para para nabi, Luqmanul al-Hakim dan Maryam adalah sebuah  isyarat bahwa Islam memiliki kepedulian yang tinggi dalam pengasuhan anak. 

Berperannya para nabi tersebut sudah tentu karena kapasitasnya sebagai orang tua. Ada kewajiban dan tugas yang agung yang melekat dijalankan dalam misi kenabiannya, selain berdakwah bersama umat juga membangun dakwah bersama keluarga. M. Darwis Hude menjelaskan bahwa orang tua menjadi media transformasi informal untuk anak di masa yang akan datang.[3] Hal ini ditandai dengan berperannya orang tua dalam lingkungan sosial dan pendidikan. Dalam lingkungan sosial orangtua merupakan lingkungan sosial pertama yang ditemui dalam kehidupan yang nyata (aalam syahaadah). Sedangkan dalam lingkungan pendidikan, orang tua berperan sebagai pembimbing dan pendidik pertama dan utama. 

Pandangan Hude sejalan dengan hasil peneltian yang dilakukan oleh National Institute of Child Health and Human Development (NICHD), penelitian ini dilakukan  terhadap 828 keluarga. Dalam penelitian tersebut dipilih lima jenis keluarga yaitu keluarga dengan pengasuhan yang baik dan perkawinan yang baik sebanyak 15%, pengasuhan moderat dan perkawinan moderat 43%, pengasuhan yang buruk dan perkawinan yang buruk 16%, pengasuhan yang baik dan keluarga yang miskin 19%, pengasuhan yang baik dan perkawinan yang buruk 7%. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sampel anak mulai usia satu bulan sampai usia sekolah dasar kelas satu, hasilnya menunjukkan bahwa dengan pengasuhan yang baik akan menghasilkan tingkat kognitif akademik dan sosioemosional meskipun berasal dari keluarga kurang mampu. Penelitian ini juga lebih menekankan bahwa dengan pengasuhan yang baik dan perkawinan yang baik akan lebih baik menghasilkan tingkat kognisi dan sosioemosional anak.[4]  

Pengasuhan yang baik dan perkawinan yang sehat adalah pilar utama dalam proses pengasuhan anak dan proses tumbuh kembang anak. Dalam Islam, pesan dan isyarat mengenai pengasuhan anak terdapat dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa/4: 9:

وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Ayat di atas menjelaskan bahwa hendaklah setiap orang tua mempersipakan anak-anaknya agar dapat hidup pada zamannya. Kesejahteraan menjadi tujuan dari orang tua dalam mendidik anak-anak. Isyarat dalam ayat ini mencerminkan bahwa kesiapan orang tua dalam membekali anak-anak untuk masa dewasanya merupakan sebuah keniscayaan. Dalam ayat tersebut terdapat syarat yang harus terpenuhi ketika melakukan parenting stage terhadap anak. Pertama orangtua hendaklah bertaqwa kepada Allah Swt. Kedua Perkataan baik dari orang tua.

Taqwa adalah perkataan, sikap dan perbuatan menjaga diri dari hal yang dilarang oleh Allah Swt dan melaksanakan segala perintah-Nya.[5] Al-Ghazali menjabarkan taqwa dengan takut (al-khasyyah wa al-haibah), tekun beribadah (al-thaa’ah wa al-‘ibaadah), membersihkan hati dari dosa (tanziih al-qalb ‘an al-dzunuub).[6] Kesungguhan orang tua dalam menjalankan perintah dan larangannya-Nya akan berdampak terhadap spiritual anak. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika oleh Gregory M. Eirich. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa ketaatan orang tua dalam melaksanakan ajaran agama akan memberikan sentuhan religius dan berdampak terhadap perkembangan spiritual anak. Selain itu kesungguhan orang tua dalam melaksanakan ajaran agama, baik dalam bentuk rutinitas maupun praktek akan memudahkan orang tua dalam menentukan nilai-nilai agama dalam kehidupan anak.[7]

Keberhasilan orang tua dalam menanamkan ajaran agama akan mudah tertanam jika dilaksankan dengan teladan. Contoh yang baik atau teladan dapat berkaitan dengan ucapan, sikap dan praktek. Maka tidak mudah tugas orang tua dalam mendidik anak-anak. Untuk itu isyarat atau pesan kedua dalam surat An-Nisa/4: 9 adalah hendaklah orang tua berkata baik kepada anak. Perkataan baik merupakan bagian dari akhlak.

Al-Ghazali memaknai akhlak adalah kondisi atau keadaan yang menetap di dalam jiwa manusia, di mana semua perilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan proses berpikir dan merenung. Jika kondisi atau keadaan jiwanya menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji, baik itu secara akal dan syariat, maka kondisi itu disebut sebagai akhlak yang baik, dan jika yang bersumber darinya adalah perbuatan-perbuatan yang buruk, maka kondisi itu disebut sebagai akhlak yang buruk.[8]

Pemikiran Miskawaih mengenai akhlak merujuk kepada Aristoteles dan Galen yang menjelaskan seseorang berperilaku buruk menjadi baik melalui pendidikan, melalui nasehat yang berulang-ulang, disiplin, serta bimbingan yang baik, akan melahirkan hasil-hasil yang berbeda-beda pada berbagai orang. Sebagian tanggap dan menerimanya, sementara sebagian lain tidak menerimanya.[9]

Perkataan, sikap dan perbuatan yang baik dari orang tua akan menjadi faktor penentu akhlak anak-anak. Untuk itu kepercayaan dan keyakinan (believe) orang tua dalam mendidik anak merupakan faktor pembentuk akhlak anak. Jika orang tua meyakini akan sesuatu hal yang dianggap benar, maka hal tersebut akan diturunkan kepada anak. Believe (kepercayaan) terbentuk bukan terkait persoalan agama atau keyakinan seseorang. Akan tetapi terbentuk karena pengalaman yang berulang-ulang atau pengalaman yang berkesan.[10] Untuk itu penting kiranya bagi orang tua sebagai pendidik pertama menanamkan kepercayaan positif kepada anak-anak agar tumbuh menjadi pribadi positif dan kuat.

Taqwa dan akhlak ini menjadi landasan pertama dalam pelaksanaan parenting stage yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an. Hal ini pastinya butuh proses yang panjang bagi setiap orang tua untuk dapat menanamkan dan memberikan pengasuhan yang baik terhadap-anak-anak. Pentingnya parenting stage yang dilakukan oleh orang tua karena upayanya mensyukuri nikmat Allah Swt dengan anugerah yang diberikan yaitu kehadiran anak, selain itu karena anak adalah amanah yang harus diupayakan mendapatkan kasih sayang, pendidikan dan bimbingan dari orang terdekat dan pertama yaitu orangtua. 

Editor: AMN


[1] Muallifah, Psycho Islamic Smart Parenting, Yogyakarta: Diva Press, 2009, hal. 42.

[2] Diana Baumrind dalam Farzana Bibi, “Contribution of Parenting Style in life domain of Children”, dalam IOSR Journal of Humanities and Social Science (IOSR-JHSS) Volume 12, Issue 2 (May-Jun. 2013), PP 91-95e-ISSN: 2279-0837, p-ISSN: 2279-0845.

[3] M. Darwis Hude, Logika Al-Qur’an, Jakarta: Eurabia, 2015, hal. 160

[4] Belsky, Jay, dan Fearon, ”Exploring marriage-parenting typologies and their contextual antecedents and developmental sequelae”, dalam Development and PsychopathologyCambridge, Vol. 16, Iss. 3, Summer 2004: 501-23. 

[5] M. Quraish Shihab, Ensiklopedia AlquranKajianKosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007, hal. 88

[6] M. Ashaf Shaleh, Takwa Makna dan Hikmahnya dalam Alquran, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, hal. 6

[7] Gregory M. Eirich, Parental Religiosity and Children’s Educational Attainment in the United States, USA: UMI Publishing, 2010

[8] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihyaa’ Uluumiddiin, Juz III. Beirut: Darul Fikr, 2008, hal. 57.

[9] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Daras Pertama tentang Filsafat Etika, diterjemahkan oleh Helmi Hidayat dari judul Tahdziib Al-Akhlaaq, Bandung: Mizan 1998, hal. 55-56  

[10] Timothy Wibowo, Success Begins with Character, Surabaya: Pendidikan Karakter, 2018, hal.171.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *