Di era digital ini, banyak orang ketika menjumpai persoalan yang terkait dengan permasalahan keislaman, baik menyangkut teologi maupun syariah, mereka mencari jawabannya lewat internet karena alasan lebih praktis, simpel dan mudah. Tinggal mengetik masalahnya di google, jawabannya langsung muncul seketika itu juga. Yang paling menarik diperhatikan adalah barisan teratas dari website dan channel youtube yang muncul adalah milik kelompok wahabi-salafi.
Menurut M. Ali Chozin dalam makalahnya, “Strategi Dakwah Salafi di Indonesia” (2013) dan Asep M. Iqbal, “Agama dan Adopsi Media Baru: Penggunaan Internet oleh Gerakan Salafisme di Indonesia” (2013), ada indikasi banyaknya orang yang sudah mengakses media mereka. Sementara Itu, pengakses tidak sadar jika ternyata mereka sudah berada di depan portal yang dapat merusak akidah, merongrong persatuan bahkan memicu faham intoleransi.
Menurut Muhammad al-Najdi dalam “al-Suhubu al-Wabilah ‘ala Dhara-ih al-Hanabilah”, ciri mereka adalah mereka menganggap siapa saja yang berbeda dengan mereka sebagai bahkan halal darahnya. Tentu saja ini bahaya untuk persatuan dan kedamaian negeri. Sehingga penting sekali mengetahui krakteristik dan seluk beluk Wahabi-Salafi di medsos agar tidak sampai terjebak kedalamnya. Indikasi yang mencolok dari media mereka sebenarnya sangat mudah. Nama websitenya sering membawa nama yang berbau sunnah, salafi, dan inisial abu.
Apa saja yang mereka sajikan dalam websitenya, tidak jauh dari umbaran kata sunnah secara berlebihan dan gemar menganggap orang lain syirik. Biasanya bahasan di website itu sibuk mempersoalkan sunnah dan mengabaikan yang wajib.
Secara radikal mereka menginginkan generasi umat Islam ini, persis seperti pada masa Nabi 15 abad lalu. Kalau tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka tidak tanggung-tanggung mereka tuduh keluar dari sunnah, bahkan dikafirkan meskipun kenyataannya, mereka adalah saudara. Mereka bahkan tidak segan mengkafirkan yang berbeda walaupun itu sekaliber Imam Bukhari.
Doktrin-doktrin salafisme yang banyak beredar di internet merupakan ideologi yang mereka terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari guru mereka yang berpusat di Timur Tengah, seperti Saudi Arabia. Mereka menyerang orang yang berbeda pandangan dengan pemahaman guru-guru mereka, terutama kelompok Syiah yang mereka anggap sebagai musuh besar.
Kelompok Wahabi-Salafi gemar memperdebatkan permasalahan furu’iyah (syariah) dalam syariah. Padahal yang namanya syariah merupakan hasil ijtihad ulama, yang tidak harus sama. Menurut Syekh Al Qaradhawi, hasil ijtihad ulama kompeten bisa digunakan selama memiliki dalil yang kuat.
Media dakwah mereka juga tidak hanya melalui digital tetapi mereka juga sangat massif menjual buku karangan ulama mereka lewat marketplace dan platfrom yang mereka miliki yang dibungkus dengan balutan yang sangat apik. Menurut hasil temuan dari PPIM UIN Yogyakarta terkait buku bacaan pada generasi millennial, dominasi buku-buku yang ditulis oleh kelompok Wahabi-Salafi sangat kuat dan masif.
Indikasinya banyak Hadis Nabi yang diterjemahkan secara tekstual dan kaku sehingga terkesan agama yang sempurna ini menjadisempit, kaku, kolot, tidak selaras dengan zaman. Padahal Nabi sendiri sudah menyampaikan agama Islam ini sangat relevan dan kontekstual.
Corak dakwah lain yang digunakan adalah sering memanfaatkan ustadz yang memiliki gelar Lc. Biasanya mereka itu brewokan dan jenggotan. Alasannya sunnah. Di media biasanya mereka suka menonaktifkan kolom komentar yang ada di channel milik mereka agar apa yang mereka sampaikan, jika ada yang keliru, tidak bisa diralat oleh orang lain yang argumentasinya lebih rasional. Ini artinya mereka sangat tertutup tidak membuka ruang diskusi.Dari sekian krakteristik di atas, sebagai umat Islam yang diberikan akal cerdas tanpa batas, sebaiknya mempelajari segala permasalahan agama dengan berguru kepada para kai, guru dan ustaz yang memiliki pemahaman beragama yang moderat, komprehensif, kontekstual dan mentolerir perbedaan.[]
Editor: AMN