Asal Mula Iman

healthyplace.com

Konon filsafat bermula dari tiga hal. Yang pertama dan kedua terjadi berurutan. Sedangkan yang ketiga barangkali berdiri sendiri. Ketiga hal itu adalah keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan. 

Yang pertama adalah keheranan. Agar lebih mudah dipahami, barangkali keheranan diganti dengan keterpesonaan karena heran di dalam bahasa Indonesia lebih bermakna tidak percaya; lebih bermakna negatif daripada positif. Alam raya menyediakan kekayaan bahan tak terperikan yang mampu membuat manusia terpesona tiada habisnya. Pergerakan benda-benda langit, keanekaragaman hayati dan non hayati, kebesaran alam raya, renik-renik di permukaan bumi, dan bahkan batang tubuh jasmani manusia sendiri. Bagaimana semuanya berjalan apa adanya saja sudah mengundang keterpesonaan. Lalu, bagaimana manusia bisa terpikirkan untuk memikirkan semua itu? 

Bacaan Lainnya

Keterpesonaan tersebut menstimulasi hal yang kedua, yaitu kesangsian, yaitu gugusan pertanyaan yang meminta jawaban. Bagaimana semua hal itu bisa demikian adanya? Apakah ada kekuatan di balik segala pesona itu atau tidak ada? Apakah memang itu adalah kenyataannya yang memesona atau hanya kegagalan indera menangkap kenyataan yang sesungguhnya? Keterpesonaan yang sudah terlebih dahulu hadir kemudian diragukan atau dipertanyakan oleh kesangsian. Itu adalah proses yang wajar dan manusiawi. Pada diri manusia kesangsian sudah ada sebagi bawaan lahir. Dampaknya bisa minimal dua: keterpesonaan berlanjut atau keterpesonaan berakhir lalu dianggap sebagai hal yang biasa.

Keterpesonaan biasanya berakhir ketika kesangsian merasa telah menemukan pola-pola sederhana yang bisa menjelaskan semuanya. Pola-pola tersebut bisa berbentuk teori. Cara kerjanya adalah pola-pola tersebut dipakai sebagai cara untuk memahami kenyataan-kenyataan yang disangsikan atau kenyataan baru yang lain lalu kenyataan-kenyataan tersebut menjadi (dianggap) terukur dan mudah diterka. Tidak lagi ada simpanan potensi kejutan yang sesungguhnya adalah amunisi utama bagi manusia untuk terpesona. Lalu keterpesonaan berakhir sudah. 

Ada kemungkinan lain yaitu keterpesonaan berlanjut. Pengetahuan memang mampu memupus keterpesonaan, namun gugusan ilmu pengetahuan yang demikian dahsyat bisa memunculkan kembali keterpesonaan tersendiri, baik terhadap gugusan ilmu pengetahuan itu sendiri, maupun terhadap hasilnya, yaitu bagaimana ilmu pengetahuan menjelaskan kompleksitas alam raya dan cara kerjanya hingga melahirkan pemahaman bahwa betapa tidak biasanya alam semesta dengan segala isinya ini. 

Keterpesonaan juga bisa hadir dari kenyataan bahwa memang ilmu pengetahuan sudah menjelaskan banyak hal, tetapi yang belum terjelaskan masih jauh lebih banyak dan hanya setelah mengetahui yang terjelaskan itulah yang belum terjelaskan bisa dikenali. Jadi, keterpesonaan bisa terjadi karena telah jelasnya segala hal, tetapi bisa pula karena begitu banyaknya hal yang belum terjelaskan.

Dengan keterpesonaan yang masih ada, maka muncullah asal mula ilmu pengetahuan yang ketiga, yaitu kesadaran akan keterbatasan. Di antara ketiga asal mula filsafat, kesadaran akan keterbatasan menempati posisi paling utama dan efektif untuk melahirkan iman. Peringkat kedua ditempati oleh keterpesonaan. Sedangkan kesangsian adalah yang paling tipis kemungkinan menghasilkan iman, meski bukan tidak mungkin. 

Kesadaran akan keterbatasan membuka peluang hadirnya Yang Maha Tak Terbatas dan iman kepada hal itu. Namun kesadaran seperti ini sesungguhnya ringkih karena manusia berada pada posisi lunglai dan kita tahu manusia tidak suka berada pada posisi sedemikian. Pada tingkat tertentu, ketidakberdayaan manusia akan membuatnya berontak atau sebaliknya membuatnya pecah berkeping-keping. Keduanya sama saja. Sama-sama kehilangan iman. Berontak membuat manusia menolak iman. Berkeping-keping membuat manusia lupa jika iman itu ada.

Mengapa manusia tidak bersedia berada di dalam ketidakberdayaan? Itu karena manusia memperolah Ruh Ilahi, sebagaimana disebutkan di dalam QS. Al-Hijr/15: 29. Karena itu, apapun yang dilakukan dan diputuskan oleh manusia pastilah dengan kekuatan kesadarannya, bukan karena kelemahannya. Keputusan yang berdasar kepada kelemahan dan ketidakberdayaan tidak akan pernah diambil secara ikhlas oleh manusia.

Pada akhirnya, keterpesonaan lah yang bisa merawat iman dengan lebih baik karena menetralkan potensi berontak dan juga tidak akan membuat manusia lunglai. Memang keterpesonaan tidak seefektif kesadaran akan keterbatasan dalam melahirkan iman, tetapi keterpesonaan membuat iman lebih awet dan meresap ke dalam kesadaran. Juga awet karena senantiasa berada di dalam ketegangan antara berontak dan pasrah.

Keterpesonaan memang menaklukkan, tetapi tidak melunglaikan. Bahkan sebaliknya, melahirkan energi. Keterpesonaan juga tidak akan melahirkan berontak karena ketakutan akibat keterpesonaan hanya melahirkan senyum, bukan kekalahan.[]

Bahan Bacaan

Hamersma, Harry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisisus, 2008

Editor: AMN

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 Komentar