Dilthey: Historis Sebagai Dasar Geisteswissenschaften

pexels.com

Hermeneutika Wilhelm Dilthey

Setelah Schleiermacher meninggal, proyek pengembangan hermeneutika umum berkurang. Pemikiran tersebut mundur ke dalam lingkaran batas-batas satu disiplin partikular dan menjadi penafsiran historis, filologis atau hukum ketimbang hermeneutika umum sebagai seni pemahaman. Wilhelm Dilthey memandang hal ini terjadi karena ada segi-segi yang terlalaikan untuk dipikirkan. Dan pemikiran hermeneutika yang dirintis Schleiermacher, dilanjutkannya untuk fondasi Geisteswissenschaften, yaitu metode semua ilmu sosial dan humanities. Metode ini dipakai untuk studi penafsiran ekspresi kehidupan kejiwaan manusia, seperti sejarah, hukum tertulis, karya seni dan karya sastra.

Minat Dilthey terhadap hermeneutika bermula saat kuliah di Universitas Berlin, dimana ia sangat mengagumi karya Schleiermacher dan seluruh kehidupan intelektualnya. Khususnya terhadap kemampuan Schleiermacher menggabungkan teologi dan kesusasteraan dengan karya-karya kefilsafatan maupun interpretasi dialog Plato. Bahkan Dilthey meraih dua piagam penghargaan atas pengetahuan tentang Schleiermacher serta kemampuan membuat essay hermeneutika. Ini awal karir Dilthey sebagai filsuf.

Tapi sebagai filsuf Dilthey relatif kurang dikenal, karena lebih dikenal dari riset historisnya. Ia memang bukan sembarang sejarawan, karena ia adalah filsuf yang menaruh perhatian terhadap sejarah, yaitu pada logika dan metodologi sejarah serta masyarakat. Ia juga termasuk pelopor filsafat yang anti intelektualis yang bersikeras mempertahankan ilmu-ilmu kebudayaan atau humaniora sebagai ilmu-ilmu yang tidak bergantung pada ilmu-ilmu alam atau realita.

Sebagai penerus gagasan hermeneutika teoritis Schleiermacher, Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin, yaitu ilmu alam (natuurwissenshaften) dan ilmu sosial humaniora (geisteswissenschaften). Namun, berbeda dengan Schleirmacher yang menekankan pada pencarian makna objektif yang dikehendaki penggagas, Dilthey menganggap makna yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahannya. Sehingga hermeneutika Dilthey bertujuan memahami teks sebagai ekspresi sejarah dan bukan ekspresi mental penggagas. Hal itu sejalan dengan pernyataan Richard E Palmer, yaitu yang perlu direkonstruksi dari teks adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks.

Metode ini bertitik tolak dari pandangannya terhadap hermeneutika yang dikatakannya bersifat menyejarah (historis). Artinya makna itu sendiri tidak pernah ‘berhenti pada satu masa’ saja, tetapi berubah menurut modifikasi sejarah. Dikatakannya interpretasi bagaikan benda cair, senantiasa berubah-ubah, tidak akan pernah ada suatu kanon atau hukum untuk interpretasi. Dengan demikian saat membaca sejarah, kewajiban kita ialah ‘menyusun balik’ kerangka yang dibuat sejarawan supaya peristiwa-peristiwa dapat dilihat ulang sesuai kejadian sebenarnya. Proses semacam ini disebut hermeneutika.

Historis Dilthey dan Kontekstualisasi Tafsir Al-Qur’an Fazlur Rahman

Sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an diyakini tidak akan pernah lekang dan lapuk dimakan zaman. Namun realitasnya, teks Al-Qur’an sering dipahami secara parsial dan ideologis hingga menjadi teks mati dan tak relevan dengan perkembangan zaman. Fenomena ini menggelisahkan Fazlur Rahman, karena menurutnya produk penafsiran Al-Qur’an harus mampu menjawab tantangan dan problem kontemporer yang dihadapi umat manusia. Untuk itu dibutuhkan model dan metodologi baru yang diawali dengan perubahan paradigma, yaitu dari literalis-ideologis menjadi paradigma kritis-kontekstual. 

Fazlur Rahman menawarkan metode double movement (metode gerakan ganda), yaitu proses penafsiran dari situasi sekarang ke masa turun Al-Qur’an dan kembali lagi ke masa kini. Metode berbasis hermeneutika sosio-historis ini sejalan dengan hermeneutika Dilthey. Yang mana gerakan pertama berupaya ‘membaca’ Al-Qur’an sebagai teks masa lalu dengan mengkaji konteks sosio-historis untuk mencari nilai-nilai ideal moral umat di masa Nabi, kemudian gerakan kedua kembali ke masa sekarang untuk melakukan kontekstualisasi terhadap pesan-pesan eternal-universal Al-Qur’an (nilai dan prinsip umum yang sistematis) untuk diaplikasikan di era kekinian. 

Pendekatan sosio-historis Rahman ini sebenarnya bisa disebut kelanjutan dan penyempurnaan pendekatan asbabun nuzul yang telah ada sebelumnya. Hanya saja dalam tradisi penafsiran klasik, para mufassir terlihat kurang apresiatif terhadap pendekatan sosio-historis, kecuali sekedar konteks historis verbal saja. Selain itu kurang tajam saat melakukan analisa antara teks ayat dengan konteks sosio-historis. Dengan kata lain, dialektis teks dan konteks tampaknya kurang diapresiasi dengan baik. Asbabun nuzul semacam itu dinamakan asbabun nuzul mikro, yang dinilai Rahman sering membingungkan mengingat banyak riwayat yang saling bertentangan. 

Selanjutnya Rahman membedakannya dengan asbabun nuzul makro, yaitu asbabun nuzul dengan konteks environmental lebih luas. Dengan kata lain situasi sosio-historis masyarakat Arab saat Al-Qur’an diturunkan dan perkembangan karir perjuangan dakwah Nabi dalam menyampaikan Islam di masyarakat. Asbabun nuzul makro ini identik dengan sosio-historis dalam hemeneutika Dilthey. Kesimpulannya, dengan menempatkan sosio-historis sebagai faktor utama dalam menafsirkan Al-Qur’an, maka pemahaman teks Al-Qur’an akan lebih objektif. Berdasarkan hal itu Rahman meyakini bahwa pendekatan sosio-historis merupakan satu-satunya cara untuk menafsirkan Al-Qur’an yang dapat diterima dan berlaku adil terhadap tuntutan intelektual maupun integritas moral. 

Daftar Pustaka

Hardiman, Budi F. Seni Memahami: Hermeneutika Dari Schleiermacher Sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius, 2015.

Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. PT LKiS: Yogyakarta, 2011.

Palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Poespoprodjo, W. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia, 2015.

Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas Tentang Tranformasi Intelektual,  diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985.

Risman, Abu. “Metodologi Humaniora Dilthey,” dalam Jurnal Al-Jami’ah, No. 25 Tahun 1981.Sumaryono E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *