Mengenal Diri Mengenal Ilahi

pexels.com

Ada sebuah Hadis yang sangat masyhur namun kontroversial karena diduga tidak shahih namun sering muncul di karya-karya yang bernuansa sufistik. Hadis itu berbunyi Ma ‘arafa nafsahû fa qad ‘arafa Rabbahû. Artinya: Siapapun yang menganali dirinya, maka pasti mengenali Tuhannya. Ibn Arabi mengutip Hadis tersebut dan Imam Al-Ghazali pun mengutipnya. Sebuah Hadis bisa saja tidak shahih menurut jalur sanad atau perawi, tetapi para sufi tetap menganggapnya shahih karena berpegang kepada matan atau isi Hadis tersebut yang dianggap shahih. Para ahli Hadis memakai metode takhrîj dalam menentukan kualitas Hadis, sedangkan para sufi menggunakan metode kasyf.

Saat mengutip Hadis di atas di dalam karyanya, Al-Ghazali melampirkannya dengan ayat yang barangkali dianggapnya senada dengan Hadis tersebut, yaitu QS. Fushshilat/41: 53: Sanurîhim âyâtinâ fil âfâqi wa fî anfusihim hattâ yatabayyana lahum annahul haqq. Awa lam yakfi birabbika annahû ‘alâ kulli syai’in syahîd. Artinya: Kami akan perlihatkan mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

Al-Qur’an adalah kumpulan kalimat yang disebut ayat. Di dalam Bahasa Arab, ayat atau âyah berarti ‘tanda’. Tanda adalah petunjuk bagi kehadiran yang lain selain tanda itu sendiri, seperti tanda belokan di sebuah jalan yang menunjukkan belokan yang sesungguhnya di balik tanda tersebut. Adapun ayat adalah tanda bagi kehadiran Sang Mutlak.

Ayat QS. Fushshilat/41: 53 di atas menegaskan bahwa tanda-tanda kehadiran Sang Mutlak ada di alam semesta dan ada pada diri manusia sendiri. Dari situlah muncul istilah makrokosmos dan mikrokosmos di dalam Tasawwuf. Adapun Hadis di atas adalah penekanan pada tanda kehadiran Sang Mutlak di dalam diri. Mengapa di Hadis itu tidak disebutkan tentang tanda-tanda di alam semesta?

Manusia bisa mengenali Sang Mutlak lewat Sang Mutlak sendiri yang memperkenalkan diri secara langsung kepada manusia. Namun, jalan ini tidak umum. Yang umum adalah manusia mengenali Sang Mutlak lewat bentuk-bentuk manifestasi-Nya (tajallî), yaitu objek-objek yang bisa dinamai atau didefinisikan. Objek-objek tersebut bisa dengan berbentuk material hingga dicerap oleh pancaindera dan bisa pula non-material seperti konsep-konsep, hingga hanya bisa dicerap oleh akal. Yang non-material misalnya ketika Sang Mutlak dinamai atau dikonsepsikan sebagai ‘Tuhan’, maka sesungguhnya itu sudah merupakan perumusan, penamaan, atau konseptualisasi.

Di dalam ayat QS. Fushshilat/41: 53 disebutkan bahwa manifestasi-Nya ada pada dua yaitu pada diri manusia dan pada alam semesta. Saat Hadis di atas lebih menekankan pada diri, maka pasti ada alasan kuat. Satu hal yang pasti, di antara dua bentuk manifestasi, dirilah yang paling dekat. Segala hal di luar diri (alam semesta) bisa dikenali lewat penampakannya atau sisi luarnya saja, sedangkan diri bisa dikenali hingga sisi terdalamnya.

Pada dasarnya, segala manifestasi memiliki sisi luar dan sisi dalam. Pada sisi dalamlah manifestasi-Nya berdenyut lebih jelas daripada sisi luar sehingga pengenalan terhadap Sang Mutlak lebih mungkin terjadi dengan mengenali sisi dalam. Tentu saja lebih mudah memahami sisi dalam diri sendiri daripada memahami sisi dalam selain diri.

Pengenalan terhadap diri sendiri pun tidak satu cara. Ada jalan rasional untuk mengenal diri, yaitu dengan mengenal kelemahan dan kelebihan diri lalu dipahami bahwa ada zat yang tidak memiliki kelemahan, bahkan hanya memiliki kesempurnaan. Jalan rasional seperti ini sangat khas kaum rasionalis, teolog, dan filosof.

Ada pula jalan lain yaitu mengenali diri sebagai manifestasi langsung dari Sang Mutlak. Maksudnya, bukan karena mengenali diri lalu menjadi sebab mengenali Sang Mutlak, tetapi justru dengan mengenali Sang Mutlak-lah, diri bisa dikenali karena diri hanyalah manifestasi Sang Mutlak. Sebagaimana contoh tanda belokan yang telah disebutkan di awal. Lebih dahulu manakah ada antara belokan yang sesungguhnya atau tanda adanya belokan. Tentu saja belokan yang sesungguhnya lebih dahulu ada dan itulah realitas yang sesungguhnya.

Yang menarik di sini adalah bahwa di awal tampak adanya pembedaan yang cukup distingtif antara diri dan Sang Mutlak karena diri tampak berdiri sendiri secara terpisah dari Sang Mutlak. Namun pada fase selanjutnya pembedaan itu mulai sirna. Pada fase selanjutnya sudah ada pertanyaan: Apakah benar diri berdiri sendiri secara terpisah dari Sang Mutlak? Jika memang demikian, bukankah itu berarti Sang Mutlak tidak benar-benar mutlak? Pada fase ini, tidak ada pembedaan antara diri dan Sang Mutlak karena ternyata, keberadaan diri tergantung hanya kepada Sang Mutlak. Tanpa Sang Mutlak, diri tidak ada, seperti tanpa orang yang bercermin, maka bayangan orang di cermin tidak akan pernah ada.

Namun, pada tahap selanjutnya, pandangan pembedaan mulai muncul lagi, tetapi dengan pandangan yang tidak sama dengan pembedaan pada tahap awal. Tahap ini seperti gabungan antara tahap awal dan tahap setelahnya, yaitu di satu sisi diri dengan Sang Mutlak tidak berbeda tetapi di di saat bersamaan tetap berbeda. Pada tahap ini muncul istilah Jalâl (Keagungan) dan Jamâl-Nya (Keindahan).

Keagungan-Nya menunjukkan bahwa sesungguhnya yang ada hanya Dia, sedangkan Keindahan-Nya menunjukkan bahwa ada selain Dia dan memang itu kehendak-Nya. Pandangan Keagungan-Nya tidak menafikan kenyataan bahwa memang manifestasi-Nya ada. Pandangan Keindahan-Nya tidak menafikan kenyataan bahwa memang yang ada hanya Dia.

Ada sebuah Hadis yang barangkali bisa menjadi contoh. Sebuah Hadis menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa manusia tidak masuk surga karena amalan baiknya, tetapi karena rahmat-Nya. Bahkan itupun berlaku untuk Nabi Muhammad Saw sendiri. Hadis itu tidak untuk mengatakan bahwa amal baik tidak ada gunanya. Itu bukan Hadis yang bernuansa Fiqh, tetapi Hadis yang bernuansa Tasawwuf. Hadis itu ingin mengatakan bahwa boleh saja seseorang masuk surga karena amal baiknya, tetapi bukankah orang tersebut bisa beramal baik karena rahmat-Nya? Bagaimana mungkin dia mampu berbuat baik tanpa rahmat-Nya? Jadi, jika orang tersebut mampu berbuat baik karena rahmat-Nya, maka wajar jika disebutkan bahwa masuk surga pun karena rahmat-Nya. Lalu, apalagi yang hendak disombongkan? Dalam Hadis ini, rahmat-Nya adalah sudut pandang Jalâl-Nya (Keagungan) dan amal baik adalah sudut pandang Jamâl-Nya (Keindahan). Jalâl adalah sudut pandang keutuhan. Jamâl adalah sudut pandang partikularitas.

Kesimpulannya, Hadis yang bebunyi Siapapun yang mengenali dirinya, maka pasti mengenali Tuhannya sesungguhnya bisa berbunyi Siapapun yang mengenali Jamâl-Nya (Keindahan), maka pasti mengenali Jalâl-Nya (Keagungan).[]

Bahan Bacaan

Imam Al-Ghazali, Metode Menggapai Kebahagiaan, Bandung: Mizan, 2014

Mukti Ali, Islam Madzhab Cinta, Bandung: Mizan, 2015

Toshihiku Izutsu, Sufisme: Samudra Makrifat Ibn Arabi, Bandung: Mizan, 2016

Editor: AMN

Abdul Muid Nawawi
Dosen Institut PTIQ Jakarta