Kecerdasan yang dimiliki seseorang secara lengkap baik emosional, spiritual maupun intelektual, memungkinkan dirinya bisa mencapai kemampuan melihat, menjelaskan, membukakan, bahkan menampakkan sesuatu yang di luar jangkauan mata kepala.
Kondisi demikian, dalam tasawuf dikenal dengan mukaasyafah. Kata itu terambil dari kasyafa-yak syifu yang secara terminologis berarti kehadiran hati disertai tersingkapnya tabir yang selama ini menghalangi mata batin seseorang dari Tuhannya.
Orang dalam keadaan mukaasyafah dapat melihat sesuatu obyek yang jauh dari dirinya bagaikan melihatnya dengan mata kepala. Ia telah tersingkap dari ketertutupan mata kepalanya dari melihat obyek itu baik karena keterbatasan kemampuan mata kepala atau karena memang karena ujian Allah SWT mata kepalanya buta.
Contoh konkret mukasyaafah adalah apa yang dilakukan Nabi Ya’kub as, ayahanda Nabi Yusuf as. Meskipun mata kepalanya buta, tetapi bisa melihat putranya dalam keadaan kritis secara spiritual yang berada di Mesir. Padahal jarak antara Kan’an, Palestina, tempat di mana beliau berada dengan Nabi Yusuf as lebih kurang seribu kilometer.
Hal itu, seperti diterangkan oleh sahabat Ibnu Abbas ra ketika menafsirkan QS. Yusuf/12: 24, “Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat burhaana Rabbihi tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih”.
Lebih lanjut, Ibnu Abbas ra mengatakan: Mutstsilan lahuu Ya’quub fadharaba shadrahuu fakharajat syahwatuhuu min anaamilihii. Ditampakkan kepada Nabi Ya’kub as kondisi Nabi Yusuf as di Mesir. Maka Nabi Ya’kub as pun memukul dada Yusuf maka keluarlah syahwat nafsunya melalui ujung jari tangannya.
Dalam tafsir lain disebutkan bahwa ayat itu tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf as mempunyai keinginan yang buruk terhadap perempuan itu, tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga sekiranya dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah SWT tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Sebagai hamba Allah terpilih, al-mukhlashiin, dalam kejadian itu ada intervensi dari dua pihak yaitu Allah SWT sehingga terpalingkan dari perbuatan maksiat. Juga dari ayahanda tercinta yang secara sufistik telah mencapai derajat mukaasyafah sehingga menolong putra tercinta dari kejauhan dengan mata kepala buta, tetapi mata batin yang cerdas sehingga Nabi Yusuf as terpelihara dari perbuatan maksiat.
Mukaasyafah merupakan tahap kedua dari tiga serangkai ahwaal dalam tasawuf yaitu muhaadharah, mukaasyafah, dan musyaahadah. Para ulama ahli tasawuf mengatakan bahwa muhaadharah, hadirnya hati seorang pencinta Allah kepada Allah SWT, dapat terjadi karena pengaruh zikir kepada Tuhan yang dilakukan secara intensif, sistematik, dan berkesinambungan.
Untuk itu, orang perlu cinta mahabbah pada Allah SWT. Mahabbah ini akan menghantarkan manusia untuk selalu ingat (zikir) pada Yang dicintainya. Bahkan pada taraf tertentu ingin terus dekat taqarrub pada-Nya.
Kalau begitu, mari kita terus mencintai Allah SWT, mengingat-Nya terus menerus dan dekat qariib pada-Nya. Semoga Allah SWT memuliakan dan memberkahi kita semua.[]
Editor: AMN