Schleiermacher dan Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Seni Memahami Tesk

uninus.ac.id

Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher lahir di Breslau, Silesia (sekarang masuk wilayah Polandia), pada 21 November 1768. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher Hidup di lingkungan Protestan dikirim ke sebuah seminari di Barby/Elbe. Disini mulai mengenal kepustakaan ilmiah dan filosofis, serta roman-roman non religius, seperti karya Goethe. Schleiermacher memutuskan untuk belajar filsafat, teologi dan filologi di Universitas Halle, sekaligus menjadi tempat ia pertama kali membaca filsafat kritis Kant lalu Schleiermacher wafat di Berlin pada 6 Februari 1834.

Di Berlin, ia berkenalan dengan kalangan cendekiawan dan seniman Romantik, seperti keluarga von Humboldt, Rahel Varnhagen, Dorothea Veit dan filsuf Friedrich Schlegel yang mendorongnya untuk menerjemahkan dialog-dialog Plato Schleiermacher Romantisme adalah gerakan yang kritis terhadap Pencerahan abad ke-18. Para pemikirnya melihat kemajuan-kemajuan peradaban kapitalis industrial Eropa saat itu sebagai bahaya dan kemerosotan bagi manusia, Mereka mencoba menggali kebijaksanaan kuno dalam tradisi, agama, dan mitos. Untuk menemukan maknanya bagi masa kini, terutama menemukan perasaan-perasaan sebagai kekuatan manusiawi yang amat penting.[1] 

Seni memahami yang dirintis oleh Shleirmacher bukan sebuah upaya yang mudah. Prinsipnya memang sederhana, yakni untuk memahami teks kita perlu memasuki dunia mental penulisnya atau masuk ke dalam kulit penulis. Di sini kita menghadapi pertanyaan penting. Manakah yang lebih utama, kalimat-kalimat yang dinyatakan penulis atau isi pikiran penulis jika isi pikiran lebih utama daripada Bahasa yang dipakai untuk menyampaikannya, interpretasi psikologis tentu akan mendapat prioritas intrepretasi gramatis, karena orang menganggap bahasa secara khusus sebagai sarana orang mengkomunikasikan pikiran-pikirannya.

Scehleiermacher menyimpulkan bahwa, sebuah karya harus diamati dari dua aspek, yaitu sisi luar dan sisi dalam. Sisi luar sebuah karya merupakan aspek tata bahasa dan linguistik lainnya, adapun sisi aspek dalam adalah jiwa atau inti tulisan tersebut. Dalam konteks ini, hermeneutik akan membawa keluar makna internal dari suatu teks dengan situasinya menurut zamannya, yang harus diserahkan kepada tiga bagian, yaitu sejarah, tata bahasa, dan aspek kerohaniannya. Korespondensi antara tiga bagian atau taraf pemahaman itu juga merupakan tiga taraf penjelasannya, yaitu hermeneutik atas huruf yang menentukan bahan baku sebuah teks, hermeneutik atas makna atau bentuk teks, dan hermeneutik atas aspek kejiwaan atau jiwa teks.

Menurut Scehleiermacher, ada dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berpikir setiap orang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang menangkap setitik cahaya pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan-pernyataan pembicara orang harus mampu memahami bahasanya selain memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahaman seseorang atas sesuatu bahasa dan psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Namun, pengetahuan yang lengkap tentang kedua hal tersebut kiranya tidak mungkin sebab tidak ada hukum-hukum yang dapat mengatur bagaimana memenuhi kedua persyaratan tersebut.[2]

Syekh Nawawi al-Bantani memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al-Tanara al-Bantani. Ia lahir di kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/ 1230 H. Mengenai tahun kelahiran Syaikh Nawawi, masih terdapat beberapa versi. Versi pertama, Chaidar meyebut bahwa Syaikh Nawawi lahir pada tahun 1230 H yang bertepatan tahun 1813 M.[3] Sedangkan menurut versi yang lain, jika dilihat dari persesuaian antara tahun hijriyah dan Masehi, tahun 1230 H sama dengan tahun 1814 atau 1815 M, lebih tepatnya yaitu bulan Muharram 1230 H sama dengan bulan Desember 1814 M.

Syekh Nawawi al-Bantani sangat menitikberatkan keseimbangan antara syariat, tarekat dan hakikat. Seperti dalam analoginya bahwa syariat ibarat kapal yang berlayar, tarekat ibarat lautan, dan hakikat ibarat mutiaranya. Maksudnya, siapa yang mencari mutiara, pertama ia harus mengendarai perahu. Kemudian ia harus menyelam dilaut untuk mencari mutiara, hingga akhirnya ia mendapatkan mutiara.[4] Dalam dunia memahami sebuah teks, analogi ini merupakan upaya pembaca dalam berusaha memahami apa yang mereka baca, dengan cara menempuh jalan dari sisi yang berbeda tidak hanya memaknainya secara tekstual.

Schleiermacher dan Nawawi al-Bantani dalam Memahami Sebuah Teks

Syekh Nawawi ahli dalam bidang tasawuf, bahkan dalam kehidupan beliau mempunyai tanda-tanda seorang wali, misalnya masalah tawakal beliau mutlak seorang sufi. Faktor lain ialah, bahwa beliau tidak bisa terlepas dari kondisi dan tradisi, Syekh Nawawi juga seorang yang gemar memahami teks-teks biasanya, termasuk karya ulama klasik, dibaca dan dipahami secara literal. Sikap kritis dan rasional dalam pola pemikiran seperti ini seakan-akan menjadi tidak relevan. Sedangkan pola pemikiran sufisme itu biasanya melihat sisi lain bukan hanya sekedar teks, juga memposisikan diri sebagai penulis.[5] Didalam ilmu sufisme memahami teks bukan hanya, pada sisi rasionalnya saja akan tetapi dari sisi irasionalnya juga harus ditekankan, hal ini yang menarik bagi penulis untuk mengetahui kesamaan anatar Schleiermacher dan Syekh Nawawi dalam memahami sebuah karya atau teks tulisan.

Schleiermacher dan Syekh Nawawi al-Bantani dalam memahami sebuah karya tulis, tidak hanya mencakup apa yang bisa dicerna oleh akal fikiran. Akan tetapi keduanya menggunakan sisi lain dalam memahami sebuah teks tulisan, baik dari keperibadian penulis, latar belakang budaya penulis, dan yang terpenting yaitu dunia mental penulis. Syekh Nawawi dan Schleiermacher juga seorang kritikus sekaligus pembaca dan memahami teks-teks yang sudaha ada sebelum mereka, keduanya juga berupaya membaca isi fikiran penulis atau bahkan memposisikan dirinya sebagai penulis teks yang mereka fahami.

DAFTAR PUSTAKA

Chaidar. Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia. Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979

Farida, Elok Noor., et.al., “Studi Islam Pendekatan Hermeneutik.” Jurnal Penelitian, Vol. 7 No. 2 Tahun 2013, hal. 30-71.

Hajar, Ibnu. Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani Ilahiyyah, Nubuwwah, Dan Sam’iyyah. Tangerang Selatan: Cinta Buku Media, 2018.

Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida.Yogyakarta: PT, Kanisius, 2015. Hidayatulloh, M. Ridwan, “Konsep Tasawuf Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Implikasinya.” Jurnal Tarbawy, Vol. 2 No. 1 Tahun 2015, hal. 1-31.


[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT, Kanisius, 2015, hal. 27-28.

[2] Elok Noor Farida, et.al., “Studi Islam Pendekatan Hermeneutik,” Jurnal Penelitian, Vol. 7 No. 2 Tahun 2013, hal. 45.

[3] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979, hal. 5.

[4] M. Ridwan, Hidayatulloh, “Konsep Tasawuf Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Implikasinya,” Jurnal Tarbawy, Vol. 2 No. 1 Tahun 2015, hal. 6.

[5] Ibnu Hajar, Corak Pemikiran Kalam Syekh Nawawi Al-Bantani Ilahiyyah, Nubuwwah, Dan Sam’iyyah, Tangerang Selatan: Cinta Buku Media, 2018, hal. 56.

Muhamad Rijal
Mahasiswa Pascasarjana PTIQ Jakarta