Kata hermeneutik atau dalam Bahasa Inggris hermeneutics dapat diasalkan dari kata Yunani hermeneuein yang berarti “menerjemahkan” atau “bertindak sebagai penafsir”.[1] Istilah “seni memahami” diterjemahkan dari istilah Jerman yang berasal dari Schleiermacher, yaitu Kunstslehre des Verstehens.[2]
Imam Subarul Adzim mengutip Supriyo Priyanto dalam bukunya Wilhelm Dilthey: Peletak Dasar Ilmu-Ilmu Humaniora, bahwa Verstehen sebagai satu pendekatan tersendiri bagi manusia adalah sangat penting, sebab dunia manusia berisikan makna yang pada dunia fisik tidak ditemukan. Aktifitas manusia selain terikat pada kesadaran, juga didorong oleh tujuan dan timbul dari interpretasi situasi maupun apresiasi nilai. Selanjutnya adalah bagaimana dapat ditemukan “makna” melalui proses Verstehen.[3]
Hermeneutik lalu dapat disebut sebagai sebuah “seni”, karena 2 hal: pertama, karena bertolak dari situasi tanpa pemahaman bersama atau bahkan kesalahpahaman umum, sehingga pemahaman memerlukan upaya “canggih” dan tidak dapat secara spontan saja. Kedua, karena praktik untuk mengatasi kesalahpahaman umum itu dilakukan menurut kaidah-kaidah tertentu. Kata “seni” di sini dimengerti sebagai “kepiawaian” seperti yang dapat kita temukan pada seniman yang menghasilkan fine art.[4]
Ada banyak tokoh dalam hermeneutika. Sebut saja, misalnya, F.D.E Schleiermarcher, Wilhelm Dilthey, Hans-eorg Gadamer, Jurgen Habermas, dan Paul Ricoeur.[5] Duduk persoalan hermeneutik Schleiermacher adalah bagaimana mengatasi kesenjangan ruang dan waktu antara teks, penulis, dan pembaca untuk menemukan maksud asli penulis teks itu tanpa prasangka pembacanya.[6] Hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks.[7] Dengan demikian, karena yang menjadi objek dalam hermeneutika adalah pemahaman, yaitu pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks, maka ada tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam hermeneutika, yaitu: penggagas atau pengujar pesan, teks, dan pembaca.[8]
Secara dasariah hermeneutika adalah filosofis, sebab merupakan “bagian dari seni berpikir”. Pertama-tama buah pikiran kita mengerti, baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya mengapa Schleiermacher menyatakan bahwa bicara kita berkembang seiring dengan buah pikiran kita. Namun, bila pada saat berpikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan dalam mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah terdapat apa yang disebutnya sebagai “transformasi berbicara yang internal dan orisinal, dan karenanya interpretasi menjadi penting”.[9]
Lewat essai ini, penulis dapat merefleksikan bahwa hermeneutika digunakan manusia untuk mempelajari tentang interpretasi makna. Menafsirkan adalah mengatasi kesenjangan ruang dan waktu antara penulis dan pembaca untuk menghilangkan prasangka di antara mereka. Ide orisinal seni memahami berawal dari pelopor hermeneutik modern, Schleiermacher. Schleiermacher, yang hidup di Zaman Romantik meyakini memahami sebagai sebuah seni bertujuan untuk menghadirkan kembali maksud penulis dari zaman lampau ke zaman sekarang dengan memosisikan diri sang penafsir sebagai penulis. Dengan memahami suatu fenomena lebih baik, kita akan mengembangkan nalar pemikiran kita dan tidak menelan mentah-mentah apa yang kita lihat atau ketahui.
DAFTAR PUSTAKA
Adzim, Imam Subarul. “Pendekatan Hermeneutik dalam Menafsirkan
Ayat-Ayat Pluralisme Agama.” Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Institut PTIQ, 2021.
Fitria, Rini. “Memahami Hermeneutika dalam Mengkaji Teks”, dalam
Jurnal Syi’ar, Vol. 16 No. 2 2016.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami. Sleman: Penerbit PT. Kanisius,
2015.
Saidi, Acep Iwan, “Hermeneutika, Sebuah Cara untuk Memahami
Teks” dalam Jurnal Sosioteknologi, Edisi 13 Tahun 7, April 2008.Talib, Abdullah A. Filsafat Hermeneutika dan Semiotika. Palu: Penerbit LPP-Mitra Edukasi, 2018.
[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, Sleman: Penerbit PT. Kanisius, 2015, hal. 11.
[2] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hal. 31.
[3] Imam Subarul Adzim, “Pendekatan Hermeneutik dalam Menafsirkan Ayat-Ayat Pluralisme Agama,” Tesis, Jakarta: Program Pascasarjana Institut PTIQ, 2021, hal. 45-46.
[4] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hal. 34.
[5] Acep Iwan Saidi, “Hermeneutika, Sebuah Cara untuk Memahami Teks” dalam Jurnal Sosioteknologi, Edisi 13 Tahun 7, 2008, hal. 376.
[6] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hal. 35.
[7] Abdullah A. Talib, Filsafat Hermeneutika dan Semiotika, Palu: Penerbit LPP-Mitra Edukasi, 2018, hal. 6.
[8] Rini Fitria, “Memahami Hermeneutika dalam Mengkaji Teks”, dalam Jurnal Syi’ar, Vol. 16 No. 2 2016, hal. 35.
[9] Abdullah A. Talib, Filsafat Hermeneutika dan Semiotika, hal. 8.