Hermeneutika identik dengan ‘seni memahami’. Istilah ini dipopulerkan oleh Schleiermacher, seorang tokoh filsuf pertama pengusung konsep pemahaman yang menjembatani kesenjangan ruang dan waktu antara teks, penulis dan pembaca untuk menemukan maksud asli penulis teks itu tanpa prasangka pembacanya. Definisi Hermeneutika merujuk gambaran umum Richard E. Palmer, adalah sebagai metodologi filologis; mencoba menafsirkan berbagai teks dan sebagai sistem interpretasi; pemulihan dan penggalian kembali makna.[1]
Hermeneutikbiasa yang dikembangkan mulai dari Schleiermacher sampai Gadamer menemui batasnya ketika harus berhadapan dengan komunikasi yang terdistorsi secara sistematis, sehingga hermeneutika khusus harus dijalankan, dan hermeneutika khusus itu adalah hermeneutika kritis yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas,[2] seorang filsuf ternama di abad ke-20.
Habermas lahir di kota kecil Gummersbach dekat Düsseldorf pada tanggal 18 Juni 1929 dari keluarga kelas menengah Jerman.[3] Nama Habermas sering dikaitkan dengan nama sebuah kota lain di Selatan kota kelahirannya, yakni Frankfurt. Tahun 1964, Habermas diangkat sebagai guru besar Jurusan Filsafat dan Sosiologi di universitas Frankfurt. Disertasinya yang berjudul Strukturwandel der Öffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), ketika itu mendapat perhatian besar baik di dalam maupun luar negeri. Di sanalah dia berkiprah dan menjadi salah satu pentolan Frankfurter Schule (Mazhab Frankfurt) yang didasarkan pada pendekatan “teori kritis”.[4]
Hermeneutika kritis Habermas menandakan keserasian pemahaman antara pembaca dan penulis. Pemahaman penafsir juga sejalan dengan pemahaman penulis, karena objek pemahaman dalam konsep hermeneutika tidak lain adalah bahasa dan teks yang tidak terpisahkan dari benak dan pikiran penuturnya. Sehingga dalam hal ini diperlukan suatu alat untuk mencocokkan kompatibilitas antara pembaca dan penulis. Proses sulit menghubungkan pemahaman ke dalam garis lurus ini disebut sebagai proses pemahaman, jadi “memahami makna” juga berarti pembebasan. Habermas mengembangkan kritik hermeneutisnya tersebut dilatarbelakangi oleh pengaruh kritik ideologis Marx dan psikoanalisis Freud.[5]
Dialektika pemikiran Habermas pada dasarnya dapat dilihat dari garis besar Mazhab Frankfurt awal (pendahulu Habermas, Adorno dan Horkheimer). Mazhab Frankfurt merupakan sekolah yang mengembangkan filsafat kritis sebagai pisau analisis untuk membaca realita sosial.[6] Dari sanalah akan didapati kesepahaman antara penafsir dan penulis dalam bentuk kebenaran yang sifatnya emansipatoris atau terbebas dari belenggu-belenggu power yang dapat berbentuk kekuasaan ataupun ideologi-ideologi yang merepresi penulis disini terlihat sekali pengaruh pemikiran Marx. Habermas disebut sebagai seorang teoritikus neomarxian, yang memberikan sumbangan penting pada teori kritis dengan menggabungkan teori Marxian dengan banyak masukan teori yang lain dan menghasilkan serangkaian gagasan teoritis yang sangat khas.[7]
Jurgen Hebermas adalah adalah generasi kedua dari kelompok filosof Mazhab Frankfurt. Saat mazhab ini tumbuh, di Jerman sedang terjadi proses propaganda Hitler secara besar-besaran. Media dipenuhi oleh prasangka, retorika dan propaganda. Media menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik. Hal ini menumbuhkan kesadaran di kalangan tokoh-tokoh mazhab ini bahwa media ternyata bukan entitas yang netral, melainkan bisa dikuasai oleh kelompok dominan.
Teori kritis berupaya untuk melakukan kritik atas masalah positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial itu bebas nilai (value-free), terlepas dari praktik sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat obyektif, dan sebagainya. Implikasi logisnya adalah bahwa pengetahuan yang dianggap benar hanyalah pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan semacam itu hanya diperoleh dengan metode ilmu-ilmu alam. Oleh teori kritis, anggapan tersebut dikritik sebagai (ilmu) yang menyembunyikan dukungan terhadap status quo masyarakat dibalik kedok objektivitas. Kenyataan inilah yang oleh Horkheimer dikatakan bahwa positivisme tidak lain digunakan sebagai ideologi.[8]
Berangkat dari realitas ini, Hermeneutika yang dipilih Jurgen habermas adalah hermeneutika kritik sosial, yaitu sebuah pendekatan yang mencoba menyelami suatu teks, tradisi atau institusi untuk menemukan kekuasaan, dominasi atau manipulasi sosial yang ada di baliknya, tujuannya agar masyarakat dapat membebaskan diri dari jerat kekuasaan, dominasi dan manipulasi sosial tersebut. Dari kesadaran itu lahirlah konsep hermeneutika kritis Habermas yang terkenal yaitu klasifikasi tindakan/komunikasi manusia. Ia membaginya ke dalam empat konsep yaitu tindakan bertujuan (taleologis), tindakan normatif (mengikuti sistem), tindakan kepura-puraan (dramatugik), dan tindakan komunikatif (tindakan bertujuan dengan persetujuan).[9]
Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari teori hermeneutik Habermas adalah mengenai proyek peradaban kritis-komunikatif. Hermeneutika Habermas adalah dialektis, dimana antara subjek (interpreter) dan objek (teks/yang ditafsir) memiliki hak untuk menyodorkan wacana dirinya secara terbuka. Tidak ada dominasi karena disana ada saling kritik-konstruktif-dinamis.
Menurutnya komunikasi/tindakan komunikatif adalah tindakan yang paling ideal yang bertujuan untuk membentuk masyarakat yang merdeka, independent, dan bebas dalam menentukan tujuan hidupnya sendiri. Masyarakat harus melakukan komunikasi-komunikasi baik verbal maupun non-verbal (communication action) agar dicapai apa yang disebutnya sebagai kesadaran kolektif, yaitu dalam bentuk kesepakatan atau konsensus. Maka di sinilah harus ada ruang publik (public space) yang bebas bagi semua pihak untuk berkomunikasi dengan baik untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, sehingga dengan demikian masyarakat memiliki kesadaran yang benar dan terhindar dari pola komunikasi yang dimonopoli oleh pihak yang kuat dan berkuasa. Wacana kritik-komunikatif ini dapat diambil sebagai pelajaran yang berharga dalam studi Islam. Khususnya dalam pengembangan pemikiran terhadap Al-Qur’an.[10]
Hermeneutika sendiri berangkat dari tradisi penafsiran teks suci. Sebab itu, pada awalnya ia disesaki oleh kosakata teologis. Dalam perkembangannya, hermeneutika memperlebar sayapnya pada teks-teks nonskriptural dan mendapat tenaga teoritisasi dari filsafat. Tapi dalam perkembangannya, hermeneutika tetap tidak bisa melepaskan diri dari asumsi-asumsi hermeneutika teologis. Hermeneutika yang bersifat normatif-dogmatis karena berorientasi pada otoritas teks dan mencari makna normatifnya untuk masa sekarang.[11]
Pemikiran tentang pemahaman Al-Qur’an (tafsir) selama ini telah di kultuskan lebih dari posisinya yang sebagai produk budaya manusia yang tentu ada kesalahan dalam memahami Al-Qur’an itu sendiri. Dari sini kiranya tidak ada salahnya apabila dirumuskan kembali reorientasi pemahaman terhadap teks Al-Qur’an yang berwacana suprioritas Al-Qur’an menuju Al-Qur’an yang komunikatif. Memang, Al-Qur’an merupakan “benda suci” atau “kalam ilahi” yang tidak salah. Akan tetapi, penafsiran-penafsiran yang selama ini dianggap “semua benar” harus dipertanyakan kembali mengingat bahwa banyak tafsiran-tafsiran yang kiranya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada.
Oleh karena itu diperlukan suatu paradigma berpikir yang tidak bisa dilepaskan dari Al-Qur’an sendiri sebagai “produk budaya manusia” dalam menangkap eksistensi Tuhan. Kerangka inilah yang disebut sebagai “Al-Qur’an komunikatif” dimana setiap individu diberi kebebasan dan ruang gerak seutuhnya dalam menginterpretasikan Al-Qur’an sebagai kebenaran menurut ukuran manusia itu sendiri. Al-Qur’an tidak bisa menunjukkan kebenarannya tanpa disokong oleh pandangan kebenaran dari diri manusia. Jadi, kebenaran Al-Qur’an adalah kebenaran yang bersifat manusiawi dan sudah sewajarnya jika manusia diberi ruang dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.[12]
Kesimpulan
Habermas dikenal sebagai tokoh neo-marxisme, pewaris generasi kedua dari Sekolah Frankfurt yang mengembangkan filsafat kritis sebagai pisau analisis untuk membaca realita sosial. Mazhab Frankfurt sendiri muncul karena banyak kegelisahan yang kemudian dituangkan dalam bentuk mengkritik teori-teori sebelumnya. Berangkat dari kesadaran tersebut, lahirlah konsep “hermeneutika kritis” Habermas yang terkenal yaitu klasifikasi tindakan/komunikasi manusia.Wacana kritik-komunikatif ini dapat diambil sebagai pelajaran yang berharga dalam studi Islam, khususnya dalam pengembangan pemikiran terhadap Al-Qur’an.
Penafsiran-penafsiran terdahulu perlu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada, sehingga diperlukan suatu paradigma berpikir yang tidak bisa dilepaskan dari al-Qur’an sendiri sebagai “produk budaya manusia” dalam menangkap eksistensi Tuhan. Kerangka inilah yang disebut sebagai “al-Qur’an komunikatif”, dimana setiap individu diberi kebebasan dan ruang gerak seutuhnya dalam menginterpretasikan al-Qur’an sebagai kebenaran menurut standar manusia itu sendiri. Al-Qur’an tidak bisa menunjukkan kebenarannya tanpa disokong oleh pandangan kebenaran dari diri manusia.
Daftar Pustaka
Ayyubi, M. Zia. “Analisis Relevansi Teori Ilmu dan Kepentingan Jurgen Habermas dengan Kajian Al-Qur’an”, dalam Jurnal El-‘Umdah Vol. 4, No. 2 Juli-Desember 2021.
Atabik, Ahmad. “Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas”, dalam Jurnal Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013.
Darmawan, Dadang, “Kajian Hermeneutika Terhadap Fenomena dan Teks Agama”, dalam Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 02, No. 01, Januari-Juni 2016.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius. 2015.
Iwan. “Menelaah Teori Kritis Jürgen Habermas”, dalam Jurnal Edueksos Vol. 3 No 2, Juli- Desember 2014.
Samroni, Imam. “Hermeneutika Kritis Jürgen Habermas”, dalam https://imamsamroni.wordpress.com/2009/01/05/hermeneutika-kritis-jurgen-habermas/. Diakses pada 30 November 2021
Setiawan, M. Lutfi Nanang. “Kritik Sastra Perspektif Hermeneutika Kritis Habermas”, dalam artikel online https://justisia.com/2021/kritik-sastra-perspektif-hermeneutika-kritis-habermas/. Diakses pada 30 November 2021. Ulumuddin. “Jurgen Habermas dan Hermeneutika Kritis: Sebuah Gerakan Evolusi Sosial”, dalam Jurnal Hunafa Vol. 3 No. 1 Maret 2006.
[1] M. Lutfi Nanang Setiawan , “Kritik Sastra Perspektif Hermeneutika Kritis Habermas”, dalam https://justisia.com/2021/kritik-sastra-perspektif-hermeneutika-kritis-habermas/. Diakses pada 30 November 2021.
[2] F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: PT Kanisius, 2015, hal. 223.
[3] F. Budi Hardiman, Seni Memahami…, hal. 205.
[4] M. Zia Al-Ayyubi, “Analisis Relevansi Teori Ilmu dan Kepentingan Jurgen Habermas dengan Kajian Al-Qur’an”, dalam Jurnal El-‘Umdah Vol. 4, No. 2 Juli-Desember 2021, hal. 62.
[5]M. Lutfi Nanang Setiawan , “Kritik Sastra Perspektif Hermeneutika Kritis Habermas”, dalam https://justisia.com/2021/kritik-sastra-perspektif-hermeneutika-kritis-habermas/. Diakses pada 30 November 2021.
[6] Ulumuddin, “Jurgen Habermas dan Hermeneutika Kritis: Sebuah Gerakan Evolusi Sosial”, dalam Jurnal Hunafa Vol. 3 No. 1 Maret 2006, hal. 77
[7] Iwan, “Menelaah Teori Kritis Jürgen Habermas”, dalam Jurnal Edueksos Vol. 3 No 2 Juli- Desember 2014, hal. 150
[8] Ulumuddin, “Jurgen Habermas dan Hermeneutika Kritis…, h.79
[9] Dadang Darmawan, “Kajian Hermeneutika Terhadap Fenomena dan Teks Agama”, dalam Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 02, No. 01, Januari-Juni 2016, h. 15.
[10] Ahmad Atabik, “Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas”, dalam Jurnal Fikrah, Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013, h. 462
[11] Imam Samroni, “Hermeneutika Kritis Jürgen Habermas”, dalam https://imamsamroni.wordpress.com/2009/01/05/hermeneutika-kritis-jurgen-habermas/. Diakses pada 30 November 2021.
[12] Ahmad Atabik, “Memahami Konsep Hermeneutika…, hal. 462.