Secara sederhana, pengetahuan disebut benar jika sesuai dengan kenyataan atau berkorespondensi dengan realitas ekternal. Disebut sederhana karena umumnya kebenaran dipahami seperti ini dan dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ada pernyataan bahwa di tahun 2022, imam besar Masjid Istiqlal adalah KH. Nasaruddin Umar. Apakah itu berkorespondensi dengan realitas eksternal? Iya. Itulah kebenaran. Persoalannya, tidak semua pengetahuan memiliki realitas eksternal, misalnya satu tambah satu sama dengan dua. Tidak ada realitas eksternal yang benar-benar menggambarkan satu dan dua. Biasanya hal seperti ini hanya ada di benak yang memikirknnya.
Contoh yang lain adalah perasaan, seperti cinta. Ketika dua insan saling mencintai, maka apa realitas eksternalnya? Menikah? Banyak cinta yang tidak berakhir dengan pernikahan. Yang pasti perasaan ada di dalam diri, tetapi sering tidak ada realitas eksternalnya di luar diri. Namun, tetap saja perasaan itu ada tanpa bisa dibantah. Artinya, tanpa harus berkorespondensi dengan realitas eksternal, sesuatu bisa saja benar.
Persoalan lain pada kebenaran seperti di atas adalah bahwa korespondensi selalu mengandaikan realitas eksternal yang tetap. Saat seseorang berkata: “Dia mencintaiku,” maka kapan pengetahuan itu berkorespondensi dengan realitas eksternal? Kemarin? Sekarang? Siapa yang bisa memastikan bahwa sekarang tidak ada cinta lain yang sedang mekar? Adakah realitas eksternal yang tetap itu? Jika tidak ada, maka di manakah korespondensi itu menjejak?
Sepertinya teori korespondensi sulit dipertahankan. Harus ada teori lain untuk menjelaskan kebenaran. Lalu, ada teori lain, entah apa namanya, tetapi tidak jauh berbeda dengan teori korespondensi. Bedanya, korespondensi yang ini tidak dengan realitas eksternal, tetapi dengan pengetahuan lain yang sejalan dengan pengetahuan di dalam diri seseorang atau di sebuah masyarakat. Karena itu, jika yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu terjadi penentangan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan lain di dalam diri seseorang atau di dalam sebuah masyarakat, maka itu bukan kebenaran.
Dengan kata lain, pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang disepakati (oleh masyarakat). Ada masa ketika diketahui bahwa ada sembilan planet yang mengitari surya. Masa itu berlangsung lama hingga salah satu di antara planet tersebut tidak lagi dianggap planet. Kini, planet yang mengelilingi surya hanya delapan, bukan lagi sembilan. Manakah di antara kedua pengetahuan itu yang benar? Menurut teori ini, keduanya benar, pada masanya.
Ada kesan bijak pada pada teori kebenaran di atas. Juga ada kesan keterbukaan terhadap kebenaran yang mungkin saja terjadi di masa datang. Misalnya, planet yang sempat dikeluarkan dari tata surya kembali dimasukkan seperti dahulu kala karena adanya temuan terbaru. Meski terkesan bijak, teori ini terkesan plin-plan karena kebenaran seperti ada tempo kedaluwarsanya.
Lalu ada teori selanjutnya yang tidak jauh dari teori yang barusan saja dibahas. Jika yang barusan saja dibahas menyerahkan kepada masyarakat untuk menentukan kebenaran, maka yang kali ini menyerahkan kepada individu untuk menentukannya. Pengetahuan yang benar adalah hasil pertemuan antara realitas objektif dengan realitas pikiran. Jika ada seribu orang yang berhadapan dengan realitas objektif yang sama, maka kemungkinan ada sejumlah seribu kebenaran meski tidak sama.
Teori kebenaran di atas sangat khas kaum empiris. Menurut mereka, pengalamanlah yang paling benar, bukan konseptualisasi dari pengalaman tersebut. Saat seseorang jatuh cinta, itulah kebenaran. Ketika jatuh cinta diceritakan dalam bentuk novel atau lirik lagu atau curhat, itu bukan lagi jatuh cinta tetapi konseptualisasi darinya. Tingkat kebenarannya berada di bawah level pengalaman jatuh cinta itu sendiri. Konsekuensinya, kebenaran tidak universal dan bahkan tidak mungkin disampaikan kepada orang lain.
Lalu, ada teori kebenaran yang lebih ekstrim dari yang barusan dibahas. Jika yang barusan dibahas kebenaran berdasar kepada pengalaman, maka yang ini kebenaran berdasarkan kepada pembuktian eksperimen. Beda keduanya adalah yang pertama lebih sederhana dan yang kedua jauh lebih rumit. Hanya saja, yang pertama hanya melibatkan individu, sedangkan yang kedua melibatkan banyak orang bahkan hingga beberapa generasi. Maksudnya, sebuah pengetahuan dianggap benar jika sudah dibuktikan oleh eksperimen dan eksperimen tersebut dilakukan oleh banyak orang dari generasi ke generasi. Contohnya, gravitasi universal.
Gravitasi universal terbukti benar oleh banyak orang yang melakukan eksprimen tetapi kemudian hadir kritik terhadapnya dan melahirkan relativisme universal yang juga terbukti benar karena dibuktikan oleh banyak eksperimen. Lalu, mana yang benar? Menurut teori ini, keduanya benar pada masanya. Jika masih ingat pembahasan di atas, maka pasti terasa ada kesamaan dengan salah satu teori kebenaran sebelumnya yang menyerahkan kebenaran kepada kesepakatan masyarakat. Bedanya, yang ini diserahkan kepada masyarakat ilmiah.
Jika harus melalui eksperimen, berapa banyak yang terlanjur dianggap benar dan tidak melalui eksperimen? Jika harus melalui eksperimen, berapa banyak pengetahuan yang bahkan tidak bisa dilakukan eksperimen terhadapnya? Dogma-dogma agama biasanya tidak mungkin dilakukan eksperimen terhadapnya.
Lalu, apakah kebenaran itu? Tulisan ini sepertinya juga tidak tahu apa-apa.[]
Editor: AMN