‘Ulûm al-Qur’an menjadi salah satu bidang yang banyak dikritik oleh pembaharu. Kritikan ini didasari atas banyaknya pengulangan (repetisi) wacana yang membawa pada stagnasi pemikiran. Padahal ‘ulûm al-Qur’ân menjadi alat bedah utama dalam menafsirkan al-Qur’an. Bagi pembaharu, jika ‘ulûm al-Qur’ân tidak berkembang maka akan sulit untuk memahami kitab suci secara kontekstual, termasuk di era modern. Nasr Hamid Abu Zaid melihat bahwa banyak umat muslim yang menganggap ‘ulûm al-Qur’ân telah mapan dan matang di era as-Suyûthî (w. 911 H), sehingga karya pasca itu hanya membuat penyederhanaan dan menukil saja. Ia pun menyebut karya seperti ini sebagai karya yang tidak ilmiah (Abu Zaid, 2001: 4).
Jajang A. Rohmana juga menguraikan beberapa problem yang melingkupi ‘ulûm al-Qur’ân. Setidaknya ada tiga problem yang menjadi alasan atas kemandegan itu. Pertama, ‘ulûm al-Qur’ân seakan-akan lepas dari konteks historis dan sosio-kulturalnya. Kedua, bidang ini nampak sulit dikritisi karena terlalu mengagungkan magnum opus as-Suyûthî. Ketiga, ‘ulûm al-Qur’ân cenderung tertutup dari keilmuan sosial dan humaniora lainnya, sehingga ada problem epistemologis mendasar yang mengganggu perkembangannya. (Rohmana, 2014: 47-48).
Di sisi lain, terdapat juga kritikan terhadap model literatur berbentuk syaraẖ (penjelasan dari kitab tertentu) atau ẖâsyiyah (penjelasan dari kitab berbentuk syaraẖ). Salah satu tokoh pembaharu yang mengkritiknya adalah Nurcholish Madjid. Ia menyebut bahwa karya-karya berbentuk syarah dan hâsyiyah yang menjadi ciri khas literatur tradisional bukanlah karya ilmiah, ia menyebutnya sebagai pseudo-ilmiah. Karya genre seperti ini, bagi Cak Nur, justru mengekang kreativitas intelektual di lingkungan Islam (Madjid, 2019: 1525).
Kritikan atas ‘ulûm al-Qur’ân dan karya berbentuk syaraẖ ini adalah kritikan yang secara sosiologis berdampak pada keilmuan di lingkungan pesantren. Bagaimana tidak, hingga saat ini masyarakat pesantren dalam konteks keilmuan ‘ulûm al-Qur’ân masih mempertahankan tradisi penulisanberbentuk syaraẖ. Dampak sosiologis-paradigmatik yang bisa dilihat adalah, terpinggirkannya kajian atas karya-karya syaraẖ ‘ulûm al-Qur’ân pesantren tanpa disadari.
Hal tersebut bisa dilihat dari pelacakan riset para sarjana. Beberapa penelitian yang dimaksud, semisal penelitian yang dilakukan Muhsin yang mengkaji karya-karya ‘ulûm al-Qur’ân di Indonesia tahun 2009-2017, namun ia tidak mengulik karya syaraẖ ‘ulûm al-Qur’ân pesantren (Muhsin, 2018). Begitu juga dengan penelitian Rahendra Maya yang hanya mengkaji karya-karya ‘ulûm al-Qur’ân perguruan tinggi dari tahun 2009-2020 (Maya, 2022: 83-104). Absennya karya-karya syaraẖ ‘ulûm al-Qur’ân pesantren juga menandakan masih dominannya hegemoni perguruan tinggi atas bidang ‘ulûm al-Qur’ân. Apalagi, penggalian metodologi tafsir belakangan ini seakan-akan hanya menyajikan pendekatan modern, “hermeneutika”, belaka yang relevan.
Pertanyaannya kemudian apakah karya-karya dari syaraẖ pesantren ini, khususnya yang berkaitan dengan ‘Ulûm al-Qur’an, memang bisa dinilai sebagai karya yang repetitif, stagnan dan layak untuk disebut sebagai karya tidak ilmiah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya melacak tradisi syaraẖ ‘ulûm al-Qur’ân pesantren terlebih dahulu. Saya pun mendapati banyaknya tokoh pesantren yang mensyarahi Manzhûmah at-Tafsîr az-Zamzamî sejak tahun 1930-an hingga tahun 2022. Setelah itu, saya menawarkan penggunaan paradigma yang berbeda melalui sosiologi pengetahuan Berger dan Luckmann. Mudahnya begini, sosiologi pengetahuan ini akan menguraikan konstruksi tradisi syaraẖ ‘ulûm al-Qur’ân pesantren.
Dalam menguraikan konstruksi tersebut, paradigma yang dikedepankan adalah paradigma intersubjektif, bukan objektif semata. Paradigma intersubjektif memandang secara lebih adil dan menghargai pengetahuan. Seseorang peneliti atau pengkritik akan melihat bahwa penjelasan dari orang yang melaksanakan, menjaga dan mempraktikkan tradisi ini adalah pengetahuan yang sah. Berbeda jika paradigma objektif yang dikedepankan, maka yang terlihat adalah justifikasi, hanya monolog dan bukan dialog (Parera, 2012: xvi). Tak heran jika stigma tidak ilmiah pun bergema keras terhadap karya-karya berbentuk syaraẖ, apalagi di bidang ‘ulûm al-Qur’ân di pesantren.
Syarah Manzhûmah At-Tafsir Az-Zamzami di Indonesia
Manzhûmah At-Tafsir Az-Zamzami adalah karya alih genre yang ditulis oleh Az-Zamzami (w. 976 H), sastrawan era abad pertengahan yang berperan penting dalam persebaran ‘ulûm al-Qur’ân. Karya Manzhûmah At-Tafsîr dialihkan dari karya prosa An-Niqâyah dalam bab ‘Ilmu Tafsîr tulisan As-Suyuthi menjadi karya berbentuk nazham atau puisi. Karya ini diterima oleh banyak pihak karena menjadi strategi pendidikan yang memudahkan hafalan peserta didik.
Riset yang saya lakukan sebenarnya terbatas hingga tahun 2022. Saya melakukan pelacakan dengan membaca beberapa buku ensiklopedia atau katalog seperti Jâmi’ as-Syurûẖ wa al-Hawâsyî yang ditulis oleh Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi (lahir 1949 M) dan Ats-Tsabat Al-Indûnisiyyu, (2020)yang ditulis oleh Nanal ‘Ainal Fauzi. Ditambah lagi melalui buku Sanad Qur’an dan Tafsir di Nusantara: Jalur, Lajur, dan Titik Temunya (2022) karya Zainul Milal Bizawie. Melalui pelacakan itu, ternyata hanya dua syarah saja yang tercatat yakni Nahju al-Taisîr karya Sayyid Muhsin Al-Musawa Palembang (w. 1935) dan Madhraf al-Basyîr karya Baedlowie Sirodj (1971).
Singkat cerita saya mendapatkan informasi dari beberapa kawan dan pelacakan personal melalui internet, maka terkumpul empat syaraẖ lagi yakni Al-Iksîr karya Bisri Mustofa (1960), Tashrîh al-Yasîr karya Muhammad Sya’roni Ahmadi (1972), Mozaik Ilmu Tafsir: kajian & Uraian Kitab Manzhûmah Tafsir Madrasah Tambak Beras Jombang (2020), dan Shofwat al-Bashîr Karya Abdul Rohîm (2022). Dalam menggali informasi untuk kebutuhan riset, saya pun melakukan wawancara terhadap dua penulis syarah terakhir yang menerbitkannya di tahun 2020 dan 2022.
Mengurai Konstruksi Tradisi
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa riset ini melihat syaraẖ sebagai tradisi, bukan sebagai karya atau praktik pensyarahan saja. Artinya, syarah ini tidak melihat satu karya yang terlepas begitu saja, melainkan realitas syaraẖ yang saling terkait satu dengan lainnya. Ini terinspirasi sebagaimana melihat tafsir sebagai tradisi. (Saleh, 2005: 14; Lukman, 2021: 77)
Ada tiga momen dialektis secara simultan yang bisa diungkap dalam uraian ini, yakni eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi merupakan penyesuaian diri pensyarah dengan dunia sosiokulturalnya sebagai produk manusia. Kemudian objektivasi dipahami sebagai momen interaksi diri pensyarah dengan dunia intersubjektif yang dilembagakan. Sementara internalisasi yakni identifikasi diri pensyarah di tengah pelembagaan pesantren. (Berger & Luckmann, 2012: xx, 29).
Momen eksternalisasi dari tradisi syarah ‘ulûm al-Qur’ân pesantren ini dapat diketahui bagaimana penyesuaian diri para pensyarah dengan ideologi keagamaan sunni yang eklektik. Dunia sosio-kultural pesantren Indonesia adalah ekosistem muslim yang menganut, memelihara, dan mengembangkan paham ahlussunnah wal jamaah (Dhofier, 2011: 1). Ideologi ini membuat para pensyarah memegang teguh empat sumber ajaran utama, yakni Al-Qur’an, sunnah Nabi, ijmâ’ dan qiyâs. Selain itu, mereka juga mengutip ulama-ulama sunni sebagai pendukung argumentasi mereka dalam mensyarahi Manzhûmah At-Tafsir Az-Zamzami. Bagi masyarakat pesantren, eklektisisme adalah karakteristik kuat pesantren, apalagi didukung dengan adanya kisah-kisah ulama salafus shalih yang juga demikian. Sikap eklektik mudahnya adalah menjaga tradisi lama yang dinilai baik dan tetap berinovasi terhadap nilai-nilai baru yang lebih baik (Wahid, 2001: 216).
Kemudian momen objektivasi dari tradisi ini terbagi menjadi tiga hal. Pertama, tradisi ini terjadi melalui proses penerimaan pengajaran di era para pensyarah mengenyam pendidikan. Para pensyarah adalah orang yang melihat Manzhûmah At-Tafsir sebagai bahan bacaan terlebih dahulu. Kemudian proses pensyarahan terjadi karena mereka merasa perlu ada penulisan atas penjelasan yang lebih luas dari nazham itu. Kedua, para pensyarah melakukan pengulangan baik secara redaksi maupun substansi. Repetisi ini pensyarah dapatkan melalui sebuah pemahaman tentang ‘ulûm Al-Qur’an yang kuat, yang mereka pelajari dan dapatkan dari para agen seperti guru mereka yang memperkenalkan Az-Zamzamî atau mereka berinteraksi dengan Manzhûmah at-Tafsîr secara langsung. Tetapi repetisi yang dilakukan juga tidak seragam. Ketiga, meskipun Manzhûmah At-Tafsir tidak bisa lepas dari bayang-bayang As-Suyuthi, tetapi para pensyarah tidak hanya menampilkan pendapat As-Suyuthi saja. Mereka juga melakukan kritikan dengan mengutip ulama lainnya.
Adapun momen internalisasi yang bisa diurai dari tradisi ini adalah, para pensyarah mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari masyarakat pesantren. Artinya, karya mereka memiliki kesan kuat terhadap pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan penyajian bahasa yang beragam (Arab, Indonesia dan Jawa Pegon). Selain itu, tampilan tata letak dan ikon-ikon yang digunakan juga menyesuaikan audiens dari pembaca karya syaraẖ mereka masing-masing.
Syarah Tetap Relevan
Ada kenyataan menarik dari dua syaraẖ terakhir yakni Mozaik Ilmu Tafsir: kajian & Uraian Kitab Manzhûmah Tafsir Madrasah Tambak Beras Jombang (2020) dan Shofwat al-Bashîr Karya Abdul Rohîm (2022). Dua karya ini menampilkan pensyarahan yang sangat eksploratif. Dua karya ini berani mengutip pendapat yang lebih beragam, bahkan berbeda dengan Az-Zamzami dan As-Suyuthi. Bagi saya, ini menunjukkan bahwa pensyarah juga berinteraksi dengan wacana kontemporer yang beragam. Ini adalah bukti bahwa syarah ‘ulûm Al-Qur’an pesantren tidak stagnan dan sah disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Dari sini disimpulkan bahwa tradisi syarah ‘ulûm Al-Qur’an pesantren berkembang secara evolutif dan memiliki kepekaan terhadap pembaca. Pada prinsipnya, syarah adalah penghubung antara karya klasik terhadap era modern yang masih relevan melalui format penyajian yang beragam. Temuan ini pun mendukung penelitian Asad Q. Ahmed dan Margaret Larkin (2012), Ahmad El Shamsy (2013), dan Mahmood Kooria (2018) bahwa tradisi syaraẖ pasca-klasik merupakan tradisi yang dinamis.
Daftar Pustaka
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik terhadap ‘Ulûm Al-Qur’ân, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyin dari judul Mafhûm al-Nash Dirâsah fî ‘Ulûm Al-Qur’ân. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Afsheena. Mozaik Ilmu Tafsir. Jombang: Pustaka Muallimin Muallimat Bahrul Ulum, 2020.
Ahmadi, Muhammad Sya’roni, Tashrîh al-Yasîr fî ‘Ilmi At-Tafsîr, t.tp: t.p, 1972.
Ahmed, Asad Q & Margaret Larkin, “The Hasyiya and Islamic Intellectual History,” dalam Journal Oriens (2013) Vol. 41, Iss. 3-4.
al-Habsyi, Abdullah bin Muhammad, Jami’ as-Syuruh wal Hawasyi Mu’jam Syâmil li Asmâ’i al-Kutub Al-Masyrûhah fî at-Turâts al-Islâmî, Jilid 4, Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2017.
al-Musawa, Sayyid Muhsin, Nahju al-Taisîr. Riyadh: Muassasah Khalid li at-Tijarah wa al-Tiba’ah, t.th.
Berger, Peter dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, diterjemahkan oleh Hasan Basari dari judul The Social Constrution of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowloedge, Jakarta: LP3ES, 2012.
Bizawie, Zainul Milal, Sanad Qur’an dan Tafsir di Nusantara: Jalur, Lajur, dan Titik Temunya, Tangerang Selatan: Pustaka Compass, 2022.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2011.
El Shamsy, Ahmed. “The Hasyiya in Islamic Law: A Sketch of the Shafi’i Literature,” dalam Oriens (2013), Vol. 41, Iss. 3-4.
Fauzi, Nanal Ainal bin Muddatsir, Ats-Tsabatu Al-Indûnisiyyu, Pati: Dâr Turats Ulama Nusantara, 2020.
Kooria, Mahmood, “Using the Past and Bridging the Gap: Premodern Islamic Legal Texts in New Media,” dalam Law and History Review (2018) Vol. 36, Iss. 4.
Madjid, Nurcholish, “Tradisi Syarah dan Hasyiyah dalam Fiqih dan Masalah Stagnasi Pemikiran Islam”, dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.) Karya Lengkap Nurcholish Madjid. Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2019.
Maya, Rahendra. “Kontribusi Studi ‘‘Ulûm Al-Qur’an Karya Ilmuwan Indonesia di Perguruan Tinggi dalam Rentang Tahun 2009-2020”, Al-Quds: Jurnal Studi Alquran dan Hadis (2022) Vol. 6, Iss. 1.
Muhsin, “Kajian Karya-Karya Ulum Al-Qur’an di Indonesia dari Tahun 2009-2017”, Syahadah: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Keislaman (2018) Vol. 6, Iss.1.
Mustofa, Bisri, Al-Iksîr. Semarang: Karya Toha Putra, 1960.
Parera, Frans M. “Menyingkap Misteri Manusia sebagai Homo Faber,” Pengantar untuk buku Peter Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, diterjemahkan oleh Hasan Basari dari judul The Social Constrution of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowloedge, Jakarta: LP3ES, 2012.
Rahim, Abdur bin Ma’ruf, Shafwat al-Bashîr, Depok: Maktbah At-Turmusyî, 2022.
Rohmana, Jajang A. “Rekonstruksi Ilmu-ilmu Keislaman: Problematika Ontologis dan Historis Ulum Al-Qur’an,” dalam Kalam (2014) Vol. 8, Iss. 1.
Sirodj, Baedlowie, Madhraf al-Basyîr. Pati: Yayasan Salafiyah Kajen, 1971.
Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001.