“Takut fitnah” sering diucapkan untuk membatasi sesuatu. Meski ini bersifat umum namun lebih sering ditunjukan kepada perempuan. Hal ini kemudian mau tidak mau seolah menjadi legitimasi untuk membatasi bahkan menyalahkan perempuan dan tanpa disadari menciptakan pandangan negatif kepada perempuan karena ia adalah sumber dari masalah, sehingga ia harus disembunyikan. Hal ini berkaitan dengan stereotip kepada perempuan, dan agama memang menjadi pembentuk selain norma-norma budaya dan masyarakat.
Dalam konteks agama sendiri, stereotip terhadap perempuan sering kali muncul dari interpretasi tradisional terhadap teks agama, praktik budaya yang sudah berlangsung lama, dan struktur patriarki yang mendominasi banyak masyarakat. Faktor agama lebih kuat karena dianggap sebagai sebuah kebenaran yang pasti dan diangungkan dan tentu memiliki dampak yang juga jauh lebih besar dari stereotip lainnya seperti status sosial mereka sehari-hari. Contoh dalam kasus ini ialah hadis Nabi, “Tidak aku tinggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) yang paling berat bagi laki-laki selain perempuan” (HR. Al-Bukhari). Hadis ini bersifat kontekstual, ada banyak faktor yang harus dipahami di luar teks, seperti asbāb al-wurūd, terutama kondisi sosial-budaya dan pengaruh kisah-kisah Israiliyat. Paradigma yang dibangun ini kian mengakar dan tidak menutup kemungkinan terpapar budaya.
Salah satu teori tafsir menyatakan bahwa perubahan penafsiran dipengaruhi oleh perubahan zaman dan tempat. Maka, sebagai produk dialektika antara teks Al-Qur’an dan konteks (realitas) sebenarnya, tafsir selalu mengalami perkembangan, sesuai dengan laju perkembangan dan kebutuhan waktu dan tempat. Sebuah penafsiran juga sarat oleh faktor subjektivitas sang mufasir, seperti pengalaman hidup, kualitas keilmuan dan lain-lain. Hal-hal tersebut tak jarang akhirnya menimbulkan paradigma yang berbeda dalam memandang sesuatu, termasuk dalam hubungan relasi jender.
Dalam Al-Qur’an sendiri, penyebutan kata fitnah berulang sebanyak 70 kali (Al-‘Aqil, al-Fitnah wa Mauqif al-Muslim minha, h. 9) dan tersebar dengan konteks atau relevansi yang berbeda-beda. Terminologi fitnah yang digunakan Al-Qur’an juga beraneka ragam, terkadang maknanya bisa menjadi azab, cobaan, tipuan dan sesuatu yang dapat menimbulkan kekacauan dan masih banyak lagi.
Faqihuddin Abdul Kodir berargumen: “dalam Al-Qur’an, ‘fitnah’ berarti ujian dan cobaan hidup, bisa berupa apa saja dan bisa oleh siapa saja. Ia juga berarti pesona yang bisa menggiurkan dan menggoda orang lain. Laki-laki bisa menjadi fitnah bagi yang lain, sebagaimana perempuan juga bisa menjadi menjadi fitnah.” Maka, fitnah perempuan dalam kajian ini dimaknai sebagai: “pesona yang dimiliki oleh perempuan yang memberikan potensi untuk menjadikannya sebagai cobaan/ujian bagi laki-laki untuk menguji keimanan dan ketakwaannya.”
Akan menjadi menarik jika melakukan pembacaan komparatif untuk memotret bagaimana mufasir klasik dan modern memahami isu-isu tentang fitnah perempuan serta perkembangannya. Mufasir klasik diwakili oleh Ibnu Jarīr Aṭ- Ṭabāri dan mufasir kontemporer diwakili oleh Sayyid Quṭb. Penulis menggunakan model tematik-konseptual dengan mengumpulkan ayat-ayat yang dibagi kepada tiga sub tema: pertama, ayat-ayat yang sarat akan kisah Israiliyat yang menyudutkan perempuan, yaitu: kisah penurunan manusia dari surga dalam QS. AL-Baqarah/2: 35, QS. Al-A’raf /7: 19-23, Q.S. Ṭāhā /20: 117 dan Q.S. Ṭāhā /20: 120, kisah pembunuhan pertama di bumi dalamQS. Al-Maidah/5: 27-31, kisah malaikat Harut dan Marut dalam QS.Al-Baqarah/2: 102. Kedua, ayat-ayat terkait kecintaan terhadap perempuan dalam QS. Ali- ‘Imran/3: 14 dan QS. An-Nisa/4: 28. Ketiga, ayat terkait godaan perempuan dalam QS. Yusuf/12: 28.
Fitnah Perempuan Dalam Tafsir Aṭ– Ṭabāri dan Sayyid Quṭb
Aṭ- Ṭabāri dalam karyanya Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay Al-Qur’ān secara umum Aṭ- Ṭabāri menginterpretasi kata fitnah sebagai “cobaan”, dan perulangan pemilihan makna ini terjadi dibanyak tempat dalam tafsirnya. Ia juga kerap menyebutkan istilah “fitnah perempuan”, sehingga dapat disimpulkan bahwa fitnah perempuan menurutnya ialah cobaan atau ujian yang berasal dari perempuan. Sedangkan Sayyid Quṭb memberikan makna fitnah yang lebih rinci dengan membagi makna fitnah menjadi dua, yaitu: pertama, fitnah bermakna sebagai menempa. Hal ini mirip dengan seorang pandai emas yang menempa emasnya sehingga menjadi murni dan bersih dari segala kotoran dan campuran lainnya. Kedua, fitnah bermakna godaan. Godaan yang mampu menjerumuskan manusia kepada penyimpangan dan maksiat.
Sayyid Quṭb juga mengakui bahwa perempuan normal pasti memiliki tipu daya yang besar karena daya pikat atau goda yang dimilikinya. Bahkan ia mengatakan bahwa perempuan dapat menjadi salah satu dari tiga petugas setan di masa ini jika rusak moralnya. Meski demikian Sayyid Quṭb bersikap proposional dengan tetap memberikan pembelaan kepada perempuan dengan mengartikan perempuan sebagai kaum yang lemah karena akalnya, sebagai golongan yang sering menjadi sasaran penipuan, penganiayaan, dirampas haknya dan didiskriminasi. Dengan demikian, pengakuan bahwa perempuan dapat menjadi sumber fitnah tidak bisa menjadi pembenaran untuk memandang negatif dan dalam realita justru merekalah yang sering menjadi korban. Dari sini, dapat digambarkan bahwa definisi fitnah perempuan menurut Sayyid Quṭb adalah sesuatu dalam diri perempuan yang dapat memberikan cobaan ataupun peneguhan terhadap iman seseorang.
Pada sub tema pertama, ayat-ayat yang sarat akan kisah Israiliyat yang menyudutkan perempuan, Aṭ-Ṭabari terlihat menyajikan riwayat-riwayat yang bersumber dari kisah Israiliyat guna memperkaya tafsiran yang ada. Meski penyebutannya itu bukan berarti ia membenarkannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya kritik yang ia sampaikan atau pen-tarjīh-an yang meninggalkan riwayat-riwayat tersebut. Sedangkan Sayyid Quṭb memilih untuk tidak sama sekali menyebutkan riwayat-riwayat yang bersumber dari kisah Israiliyat. Meskipun ada, itu hanya sebatas nama dari pelaku yang sudah masyhur di kalangan para ulama. Diperkuat dengan ucapannya: “kita tinggalkan sajalah urusan perkara ghaib ini kepada yang berwenang dan cukup bagi kita mengambil ceritanya saja yang sekiranya berguna bagi kehidupan kita, untuk memperbaiki hati dan kehidupan kita.”
Sedangkan pada sub tema kedua dan ketiga, ayat-ayat terkait kecintaan terhadap dan godaan perempuan, didapati bahwa Aṭ-Ṭabari lebih menfokuskan pada pengungkapan makna yang detail dan kaya akan riwayat sesuai dengan zamannya. Penjelasan yang diberikan oleh Aṭ-Ṭabari hanya terfokus pada ayat dan kontek ayat itu sendiri. Adapun Sayyid Quṭb lebih condong pada pengungkapan isyarat dan pembelajaran dari ayat-ayat Al-Qur’an agar relate dengan kehidupan saat ini serta mampu direalisasikan secara maksimal. Penafsiran yang ia hadirkan tidak hanya melihat makna ayat yang ada, bahkan tak jarang penjelasan yang ia berikan di luar itu namun yang selaras dengan konteks ayat yang ada.
Alasan terjadinya perbedaan tafsiran di antaranya: Pertama, Keduanya berada di masa yang berbeda. Aṭ-Ṭabari lahir pada abad ke-3 H dan masih pada tahap kodifikasi. Sedangkan Sayyid Quṭb yang kurang lebih hidup hampir sepuluh abad pasca Aṭ-Ṭabari sudah masuk ke tahap pengkajian matan.
Kedua, Tujuan yang melatarbelakangi penulisan tafsir yang berbeda. Aṭ-Ṭabari ingin melahirkan kitab tafsir yang mencakup segala hal-ahal yang harus diketahui oleh manusia. Sebuah kitab yang berbeda level dari kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. Itulah mengapa ia memuat banyak sekali pembahasan, perbedaan pendapat dan argument-argumen pendukung dalam tafsirannya.
Adapun Sayyid Quṭb ingin menciptakan karya yang mampu menghilangkan jurang pemisah antara manusia dengan Al-Qur’an melalui penggambarkan firman Tuhan secara nyata sehingga dapat mencetak individual qur’ani. Itulah mengapa pembahasan dalam tafsirnya lebih kepada mengupas esensi makna dan isyarat-isyarat serta pelajaran yang dapat diambil dari setiap ayat yang sering dikaitkan dengan contoh-contoh nyata di masa itu dan mengutamakan pengenalan fungsi ‘amaliah ẖarakiyah Al-Qur’an.
Catatan Akhir
Tafsir klasik sangat sarat akan penyebutan istilah “fitnah perempuan”, sedangkan tafsir kontemporer mulai meninggalkannya. Kemudian tafsir klasik masih mencantumkan kisah-kisah Israiliyat yang rawan akan pandangan negatif kepada perempuan namun hal ini sangat pantas dimaklumi karena memang pada masa itu masih berada pada tahap kodifikasi. Sedangkan tafsir kontemporer cenderung bersih dari riwayat-riwayat tersebut.
Kemudian anggapan bahwa mufasir klasik cenderung bias jender tidak selalu benar. Ini dibuktikan dengan tafsiran Aṭ- Ṭabāri terhadap ayat-ayat terkait fitnah perempuan yang sama sekali tidak menyalahkan atau bernuansa negatif kepada perempuan. Bahkan ia tidak membedakan level daya tarik pada perempuan lebih besar atau berbahaya dari hal-hal menarik lainnya. Adapun Sayyid Quṭb yang hidup pada masa modern dengan pengalaman mengembaranya ke Barat, membuatnya menghadapi fitnah perempuan yang lebih beraneka ragam membuatnya cenderung memberikan warna tafsiran yang lebih proposional dengan tidak terpaku pada kacamata laki-laki saja sehingga cukup responsif gender.
Bahan Bacaan:
Kodir, Faqihuddin Abdul. Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah. Bandung: Afkaruna, 2021
Mernissi, Fatima . Women and Islam an Historical and Theological, Oxford UK: British Library Cataloguing in Publicatin Data, 1991
Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsif, Yogyakarta: IDEA Press Yogyakarta, 2022
Aṭ- Ṭabāri, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay Al-Qur’ān, diterjemah oleh Ahmad Abdurraziq Al-Bakri dkk, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007
Al-Khalidi, Shalah Abdul Fattah. Pengantar Memahami Tafsir Fi Ẓilālil Qur’ān: Sayyid Qutub, Era Intermedia, 2001
Abu ‘Abdillah Al-Bukhari, Shaẖīẖ Al-bukhārīy, diterjemah oleh Muhammad Muhsin Khan, Riyadh: Dar as-salam, 1997, Vol. 7