Relasi Suami-Istri dalam Q.S. al-Nisa(4): 34: Studi Ragam Tafsir Nusyūz

Secara mendasar nusyūz yang dijelaskan melalui Q.S. al-Nisa(4): 34 adalah sebuah pembangkangan seorang istri terhadap suami karena dianggap tidak menunaikan kewajiban. Alasan lainnya, nusyūz yang dilakukan istri adalah ketika ia tidak melaksanakan hak-hak suami dalam konteks melayani dan memberikan apa yang semestinya didapatkan oleh seorang suami.

Dengan begitu, perbuatan nusyūz dapat diartikan secara beragam seperti tidak mentaati perintah suami, tidak mematuhi permintaan suami dan tidak puasnya suami terhadap istri. Secara rinci, Ahmad bin Ismail mengklasifikasikan perempuan yang nusyūz ke dalam tiga hal. Pertama, dengan menolak nafsu suami untuk tidur tanpa alasan syariat. Kedua, dengan keluar rumah tanpa izin suami, dan ketiga, memaafkan orang-orang yang tidak disukainya dan memperbolehkan mereka massuk ke dalam rumah.

Bacaan Lainnya

Hukum Islam dalam Q.S. al-Nisa(4): 34 menyoroti tiga langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi nusyūz perempuan. Dengan merujuk pada ayat tersebut, terdapat 3 (tiga) sikap dan perlakuan seorang suami ketika istri sedang mengalami Nusyūz. Adapun langkah tersebut adalah 1) memberi nasehat, 2) meninggalkan tempat tidur, dan 3) memukul (Ismail, 1991).

Ketiga hal tersebut dapat dilakukan secara bertahap. Poin terakhir dapat dilakukan dengan catatan tidak menyakiti seorang istri. Namun, hal ini sering kali disalahpahami dan justru dijadikan legitimasi pembenaran terhadap kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.

Banyak sarjana klasik dan modern menawarkan penafsiran berbeda dengan argumentasi berbeda. Ada yang mengartikan ini sebagai pemukulan terbatas pada bagian tubuh tertentu, sebagai wujud kasih sayang, sebagai teladan dan pengajaran, dan bahkan sebagai hubungan seksual atau perceraian. Namun demikian, persoalan yang perlu didiskusikan lebih lanjut adalah apakah benar nusyūz hanya dianggap sebagai pembangkangan istri terhadap suami?

Dengan kata lain, apakah suami terhindar dari nusyūz? Persoalan dan permasalah nusyūz yang demikian perlu dijawab dengan mengkaji ragam tafsir. Sebab, mayoritas umat manusia khususnya mereka yang beragama Islam masih menganggap nusyūz sebagai ketidakpatuhan seorang istri kepada suami.

Ragam Narasi Tafsir Term Nusyūz

Dalam persoalan nusyūz, Thahir bin Asyur menjelaskan bahwa ketidakpatuhan istri kepada suami dapat ditandai dengan selingkuh dan memberikan perhatian kepada laki-laki lain melebihi suaminya sendiri. Thahir bin Asyur memberikan batas tegas mengenai bagaimana seorang istri dapat disebut nusyūz dan bagaimana tidak.

Menurut Thahir bin Asyur, seorang istri tidak dapat disebut melakukan nusyūz perselingkuhan dengan catatan bahwa hal itu dilakukan karena faktor keterpaksaan. Selain keterpaksaan, seorang istri melakukannya karena ditekan dalam keadaan tidak sadar. Jika melebihi syarat yang diajukan Thahir bin Asyur, maka tindakan seorang istri dapat dianggap telah mengabaikan apa yang menjadi kehendak suami.

Namun demikin, untuk menjawab pertanyaan di atas Thahir bin Asyur menjelaskan bahwa nusyūz tidak hanya berlaku untuk seorang istri melainkan juga dapat dilakukan suami. Seorang istri dianggap nusyūz manakala ia tidak setia kepada suami yang mana tindakan itu diakibatkan oleh etika yang jelek (Asyur, 1997).

Thahir bin Asyur menyatakan nusyūznya seorang suami yang dapat dilakukan dengan cara berkhianat, selingkuh yang berakibat pada sikap suami yang tidak mau lagi menafkahi istri. Perbedaan tersebut tampaknya berkaitan erat dengan karakter yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Senada dengan pernyataan Thahir bin Asyur, Wahbah Zuhaili juga mengatakan bahwa nusyūz dapat terjadi dan dialami oleh suami dan istri.

Dalam hal ini, Wahbah Zuhaili mengatakan nusyūz seorang istri lebih dipengaruhi oleh sifat kelembutan dan ketidak sempurnaan akalnya. Sementara nusyūz seorang suami lebih berkaitan dengan ketegasan sikapnya. Perbedaan di atas dapat dijadikan dasar untuk mendefinisikan nusyūz sebagai masalah dalam relasi suami istri, dan bukan pembangkangan istri kepada suami (Zuhaili, 2003).

Dengan demikian, nusyūz adalah kedurhakaan suami atau istri ketika mereka mengabaikan kewajibannya masing-masing. Nusyusnya seorang istri seringkali terjadi ketika mereka tanpa izin suami melakukan perjalanan yang mengakibatkan ia ke luar rumah. Itu pun disertai dengan niat melawan seorang suami. Sebaliknya, seorang suami disebut nusyūz ketika melakukan kekerasan dalam rumah tangga, berhenti menggauli istri dan juga berhenti memberikan nafkah serta bersikap acuh tak acuh kepada istri.

Sementara itu, M. Quraish Shihab menyebut nusyūznya suami sebagai keangkuhan seorang suami yang menyebabkannya meremehkan istrinya hingga memutuskan hak-hak sang istri. Lebih lanjut, Shihab mengartikan nusyūz suami sebagai sikap berpaling atau sikap tidak acuh sang suami terhadap istrinya hingga sang istri tidak mendapatkan keramahan suami dalam hubungan suami istri atau percakapan sehari-hari (Shihab, 2000).

Dalam penafsiran al-Suyuthi setidaknya dapat disimpulkan bahwa nusyūz seorang suami terkait dengan kelalaiannya untuk memberikan nafkah bagi istri baik nafkah yang bersifat materi maupun nafkah yang bersifat imateri. Menurut al-Suyuthi, Q.S. al-Nisa(4): 34 menjelaskan terkait bagaimana suami adalah pemimpin dalam rumah tangga.

Dengan demikian gagalnya suami dalam mengarahkan istri termasuk dalam hal ketakwaannya adalah tindakan nusyūz karena dengan demikian suami tidak mampu menunaikan amanat yang telah dimandatkan oleh Allah. Berdasarkan dengan Q.S. al-Nisa(4): 34 juga dapat diperoleh pengertian bahwa tindakan nusyus suami tercermin dari tindakan yang mencari-cari kesalahan seorang istri (Jalaludin bin Abdurrahman as-Suyuty dan Jalaluddin bin Muhammad al-Mahalliy, 1505).

Didalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan apabila sang suami sudah mulai ada tanda-tanda nusyūz terhadap istrinya. Maka pertama yang dilakukan dalam situasi demikian yakni, istri bisa menggugurkan haknya atau sebagian darinya dari nafkahnya atau pemberian pakaian atau giliran bermalam atau hak-hak lainnya atas suaminya.

Jika istri melakukan demikian, maka tidak mendapatkan dosa dan seorang suami diharapkan dapat menerima perlakuan istri tersebut. Kemudian cara yang kedua, suami istri supaya melakukan musyawarah, untuk menemukan sebab-sebab terjadi permasalahannya, dan apa yang menjadi kesepakatan keduanya itu dibolehkan (Katsir, 2015).

Hal ini diperkuat oleh pendapat ulama Hanafiyyah yang mengatakan nusyūz sebagai ketidaksenangan yang terjadi di antara suami dan isteri. Sedangkan ulama Syafi’iyyah mengartikan nusyūz sebagai perselisihan yang terjadi di antara suami isteri. Senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah, ulama Hanbaliyyah memberikan definisi sebagai bentuk dari rasa tidak suka baik oleh suami mau pun istri yang sekaligus menandai adanya relasi tidak harmonis (al-Sadlani, 1993).

Daftar Pustaka

Asyur, M. T. (1997). at-Tahrir wa at-Tanwir. Tunis: Dar Suhun.

Ismail, A. b. (1991). Adawat al-Hijab. Mesir: Dar ash-Shafwat.

Jalaludin bin Abdurrahman al-Suyuthi dan Jalaluddin bin Muhammad al-Mahalliy. (1505). Tafsir Jalalain. Kairo: Darul Hadits.

Katsir, I. (2015). Tafsir Al-Qur’an al-Azhim. Sukaharjo: Insan kamil.

As-Sadlani, S. b. (1993). Nusyūz , Konflik Suami Isteri dan Penyelesaiannya. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Shihab, Q. (2000). Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Volume 2. Ciputat: Lentera Hati.

Zuhaili, W. (2003). At-Tafsir Al-Munir fi Al- Aqidah wa asy-Syariah wal Manhaj Jilid 3. Damaskus: Dar al-Fikr.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *