Problem Ta’ẓim dalam Konteks Kekerasan Seksual
Dewasa ini, muncul banyak pola kasus yang berhubungan dengan kekerasan seksual di pesantren oleh oknum kiyai atau pengasuh pesantren. Beberapa kasus tersebut di antaranya kasus pencabulan santri di Demak (Meilikhah, 2024), pondok pesantren Irsyadul Mubtadiien di Magelang (Amani, 2024), salah satu pondok pesantren di Sidoarjo (Suparno, 2024), dan sebagainya.
Salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual tersebut adalah faktor budaya, di mana budaya di pesantren sangat erat kaitannya dengan pola hubungan yang melahirkan relasi kuasa (Pebriaisyah, Wilodati, and Komariah, 2022: 140). Hal ini dapat dilihat pada budaya Taʻẓim kepada guru sehingga apa pun perintah guru tidak boleh dilanggar apalagi ditentang.
Budaya ini sebenarnya dilandaskan pada teks kitab klasik yang salah satunya mengambil dari kitab Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji. Dalam kitab ini, adab terhadap guru sangat ditekankan, bahkan dalam isinya disebutkan perkataan dari Ali bin Abi Thalib tentang mengagungkan ilmu dengan bersedia menjadi hamba sahaya sang guru sebagai berikut:
“Saya menjadi hamba sahaya orang yang telah mengajariku satu huruf. Terserah padanya, saya mau dijual, dimerdekakan ataupun tetap menjadi hambanya” (Az-Zarnuji, 2009: 28)
Penggunaan kata Taʻẓim dalam budaya ini sebenarnya tidak pernah disebutkan dalam al-Qur’an sendiri sebagai sumber mutlak bagi umat Islam. Dalam al-Qur’an justru menggunakan kata kunci lainnya, yakni al-ʻaẓim yang disebutkan 107 kali, aʻẓama yang disebutkan sebanyak 3 kali, sedangkan kata yu’az}z}im disebutkan sebanyak 2 kali di dalam al-Qur’an.
Dari 3 kata tersebut, yang paling mewakili kata ta’zim adalah kata yu’azzim karena ta’zim berasal dari kata ‘azzama-yu’azzimu-ta’ziman. Artinya, kata ta’zim merupakan bentuk mas}dar dari kata ‘az}z}ama. Sedangkan kata yu’azzim merupakan bentuk fi’il mud}ari’ dari kata azzama.
Kata yu’azzim dalam al-Qur’an disebutkan dalam QS. Al-Hajj: 30 dan 32 sebagai berikut.
ذَ ٰلِكَۖ وَمَنْ يُّعَظِّمْ حُرُمٰتِ اللّٰهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۗ وَاُحِلَّتْ لَكُمُ الْاَنْعَامُ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْاَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوْا قَوْلَ الزُّوْرِۙ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (ḥurumāt),maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.” (QS. Al-Hajj: 30)
ذَ ٰلِكَۖ وَمَن یُعَظِّمۡ شَعَـٰۤىِٕرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah,maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
Makna Taʻẓim QS. Al-Hajj: 30 & 32 dalam Beberapa Kitab Tafsir
Dalam beberapa kitab tafsir, makna taʻẓim di atas ditujukan kepada menghormati batasan-batasan Allah selama ihram (dalam ayat 30), dan kepada syiar-syiar Allah yang digambarkan dengan ibadah seperti tawaf, wukuf di Arafah, melempar jumrah dan sebagainya.
Dalam tafsir ath-Thabari, dijelaskan bahwa konteks taʻẓim di ayat 30 merujuk kepada pengagungan terhadap hurumat. Adapun hurumat di sini ditujukan kepada batasan-batasan Allah ketika melakukan ibadah haji, sehingga dalam melakukan ibadah haji tersebut, orang yang mengagungkan hurumat tidak akan pernah melanggarnya ataupun menghalalkannya (Ath-Thabari, 2007: 482).
Selanjutnya, dalam tafsir al-Qurthubi, lebih banyak dijelaskan sisi kebahasaan, yang mana kata zalika dalam ayat 30 sebelum disebutkan wa man yu’azzim dapat berkedudukan sebagai rofa’ yang dimaknai ”kewajiban kalian adalah demikian” dan nas}ab yang dimaknai “laksanakanlah hal itu”. Pada dua kedudukan ini, kesimpulannya adalah sama, yakni merujuk kepada kewajiban yang telah disebutkan sebelumnya (Al-Qurthubi, 2007: 134).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan mengagungkan (yu’azzim) hurumat dalam ayat tersebut merujuk kepada perbuatan yang telah di sebutkan sebelumnya di ayat 29, yakni menghilangkan kotoran yang ada di badan, melakukan penyempurnaan terhadap nazar serta melakukan tawaf di Baitul ‘Atiq atau tanah haram (ketika melakukan haji atau umrah). Adapun pengagungan yang dimaksud adalah kebaikan yang dapat memberikan manfaat.
Sedangkan dalam ayat 32, dalam tafsir al-Qurthubi penjelasan mengenai kata zalika sama dengan ayat 30 sebelumnya, dengan penambahan penjelasan bahwa kata ini juga dapat berkedudukan sebagai khobar yang ibtida’-nya dibuang. Adapun syiar yang dimaksud dalam ayat ini bisa 2 maksud. Maksud pertama adalah segala hal yang dijadikan oleh Allah sebagai tanda, sedangkan maksud kedua dimaksudkan pada hewan kurban dengan memperhatikannya (Al-Qurthubi, 2007: 140).
Selanjutnya, dalam tafsir lainnya, yakni tafsir al-Kasysyāf, penjelasannya tidak jauh berbeda. Dalam ayat 32, konteks berkaitan dengan hewan kurban dengan memilih yang terbaik merupakan bagian dari mengagungkan syiar-syiar Allah. Di samping itu, terdapat tambahan terkait perintah Rasulullah kepada Ibnu Umar untuk menghadiahkan unta betinanya sebagai kurban dibandingkan untuk dijual. Begitu pun Rasulullah sendiri mencontohkannya dengan berkurban seratus unta (Az-Zamakhsyari, 2009: 695).
Berdasarkan penjelasan dari 3 tafsir di atas, kata yu’az}z}im dalam QS. Al-Hajj: 30 & 32 di sini hanya berbicara pada persoalan pengagungan terhadap syiar-syiar Allah dan tempat-tempat penting dalam ibadah haji. Dengan demikian, kata yang sepadan dengan kata taʻẓim dalam al-Qur’an justru tidak ditujukan untuk manusia, melainkan untuk ibadah-ibadah dan tempat-tempat terbaik di sisi Allah.
Reinterpretasi Taʻẓim dalam Pembacaan Relasi Kuasa Foucault pada Konteks Kekerasan Seksual di Pesantren
Berdasarkan makna taʻẓim yang merupakan masdar dari kata azzama-yu’azzimu dalam analisis QS. Al-Hajj: 30 & 32 di atas, sebenarnya menandakan tidak ada ayat yang secara eksplisit menyebutkan tentang budaya taʻẓim seperti yang biasa dilakukan di pesantren-pesantren. Justru ayat yang menyebutkan kata yu’azzimu sebagai bentuk fi’il mud}ari’ hanya terdapat dalam QS. Al-Hajj: 30 & 32 dan ditujukan untuk syiar-syiar Allah dan tempat berhaji.
Adapun kata lainnya, yakni al-‘azim sebagai bentuk isim ma’rifat, ‘azimun atau ‘aziman sebagai bentuk isim nakirah dan kata a’z}ama justru lebih banyak ditujukan kepada hal yang bersifat nilai, bukan langsung ditujukan kepada manusia sebagai subjek. Jikalau kata al-azim ditujukan langsung kepada subjek, maka subjek tersebut adalah Allah, bukan manusia.
Hal ini memberikan sebuah isyarat bahwa keagungan atau bahkan pengagungan terhadap manusia tidak terlepas dari nilai yang melekat. Dengan demikian, manusia diagungkan bergantung pada nilai yang ada dalam dirinya. Jika tidak ada nilai yang melekat, maka konsep pengagungan tidak dapat diimplementasikan. Misalnya, nilai dari sikap manusia dan ilmu yang dimilikinya menjadikannya mulia.
Hal inilah yang menjadi pesan yang secara eksplisit disebutkan dalam ayat lainnya, yakni QS. Al-Mujadalah: 11, bahwa orang-orang yang beriman dan berilmu diangkat derajatnya oleh Allah. Artinya, nilai iman dan ilmu tersebut harus melekat dulu dalam diri seseorang untuk mendapatkan derajat yang dimaksud. Dalam tafsir ath-Thabari dijelaskan bahwa Allah mengangkat orang-orang yang berilmu dikarenakan keutamaan ilmu mereka (bi fadli ‘ilmihim).
Dengan melihat makna sesungguhnya dari taʻẓim atau pengagungan dengan berfokus kepada nilai, maka tidak semestinya budaya taʻẓim tersebut disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk dapat melakukan kekerasan kepada orang lain. Budaya ini selayaknya diinterpretasikan kembali untuk dapat diimplementasikan dalam konteks yang positif.
Dalam konteks kekerasan seksual oleh oknum pengasuh dari berbagai pondok pesantren, QS. Al-Hajj: 30 & 32 dengan pembacaan ulangnya justru bisa menjadi sebuah kritik perilaku. Konteks taʻẓim dalam ayat ini digunakan untuk hal-hal yang bersifat nilai, bukan subjek secara langsung. Artinya, jika oknum pengasuh pesantren melakukan kekerasan seksual, maka nilai itu hilang dari dirinya sehingga tidak berhak mengklaim konsep taʻẓim tersebut.
Konsep taʻẓim yang telah diklaim dalam berbagai budaya pesantren oleh oknum kiyai yang melakukan kekerasan seksual pada akhirnya hanya melahirkan konsep relasi kuasa. Dalam konsep relasi kuasa Foucault, kekuasaan seperti halnya jaring laba-laba yang tidak terlihat. Jaring itu menyelimuti semua santri yang terjebak di dalamnya. Di dalamnya, kekuasaan tidak hanya menekan, tetapi juga membentuk konsep berpikir.
Artinya, berdasarkan konsep relasi kuasa, para santri diberikan doktrin untuk tidak menolak sama sekali perintah dari sang guru (konsep berpikir). Jika, salah seorang santri tidak sejalur atau menolak, bahkan menentang perintah guru, maka dianggap tidak taʻẓim dan akibatnya ilmunya tidak akan berkah.
Konsep berpikir ini sebenarnya akan baik-baik saja dalam konteks lingkungan yang positif. Sebaliknya, konsep berpikir ini akan menjadi neraka dalam konteks lingkungan yang negatif. Inilah yang dimaksud oleh Michel Foucault sebagai hubungan antara wacana dan kekuasaan. Konsep berpikir yang ditanamkan kepada para santri dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus mengeksploitasi secara seksual (Syafiuddin, 2018: 144–45).
Konsep relasi kuasa demikian yang pada akhirnya mengakibatkan kekerasan seksual tidak sejalur dengan makna taʻẓim yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada dasarnya, relasi kuasa mutlak hanya ada pada subjek tunggal, yakni Allah, sehingga tidak heran jika subjek yang dituju secara langsung tanpa adanya syarat nilai melekat hanyalah Allah (al-‘azim), berbeda taʻẓim dalam QS. Al-Hajj: 30 & 32, pengagungan karena adanya nilai utama yang melekat padanya.
Referensi
Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad. 2007. Tafsir Al-Qurthubi. Translated by Ahmad Hotib Fathurrahman. Jakarta: Pustaka Azzam.
Amani, Asef Farid. 2024. “Polresta Magelang Tahan Pengasuh Pondok Pesantren Irsyadul Mubtadiien Tempuran.” Suara Merdeka. Agustus 2024. https://www.google.com/amp/s/kedu.suaramerdeka.com/kedu/amp/2113280514/polresta-magelang-tahan-pengasuh-pondok-pesantren-irsyadul-mubtadiien-tempuran.
Ath-Thabari, Ibnu Jarir. 2007. Tafsir Ath-Thabari. Translated by Ahmad Abdurraziq Al-Bakri, Muhammad Adil Muhammad, Muhammad Abdul Lathif Khalaf, and Mahmud Mursi Abdul Hamid. Jakarta: Pustaka Azzam.
Az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar. 2009. Tafsir Al-Kasyaf. Beirut, Lebanon: Dar El-Marefah.
Az-Zarnuji. 2009. Ta’lim Muta’allim. Translated by Abdul Kadir Aljufri. 1st ed. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Meilikhah. 2024. “Terbukti Cabuli Santri, Pengasuh Pondok Pesantren di Demak Dijatuhi 15 Tahun Bui.” MetroTV. Oktober 2024. https://www.metrotvnews.com/read/k8oC6ArW-terbukti-cabuli-santri-pengasuh-pondok-pesantren-di-demak-dijatuhi-15-tahun-bui.
Pebriaisyah, Fitri, Wilodati Wilodati, and Siti Komariah. 2022. “Kekerasan Seksual Di Lembaga Pendidikan Keagamaan: Relasi Kuasa Kyai Terhadap Santri Perempuan Di Pesantren.” Sosietas: Jurnal Pendidikan Sosiologi 12 (1).
Suparno. 2024. “Pengasuh Ponpes di Buduran Sidoarjo Tersangka Pencabulan Akhirnya Ditahan.” Detik Jatim. July 3, 2024. https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/jatim/hukum-dan-kriminal/d-7421567/pengasuh-ponpes-di-buduran-sidoarjo-tersangka-pencabulan-akhirnya-ditahan/amp.
Syafiuddin, Arif. 2018. “Pengaruh Kekuasaan Atas Pengetahuan (Memahami Teori Relasi Kuasa Michel Foucault).” Refleksi Jurnal Filsafat Dan Pemikiran Islam 18 (2).