Secara ideal-normatif, Islam sesungguhnya tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan bahkan meninggikan derajat perempuan. Al-Qur’an menjelaskan kedudukan laki-laki dan perempuan yang mendapat ganjaran sama atas amal perbuatan mereka. Namun masih didapati adanya penafsiran bias gender yang dianggap sebagai pemahaman mutlak dari Islam. (Husein Muhammad:2019, 7)
Padahal menurut Amina Wadud seseorang harus bisa membedakan mana teks al-Qur’an yang jelas kebenarannya dan tafsir al-Qur’an yang tidak terlepas dari peran subjektivitas mufasir dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, arah baru penafsiran al-Qur’an yang tidak bias gender menjadi sebuah keniscayaan untuk menghadirkan keadilan interpretasi yang sejalan dengan semangat universal Islam. (Amina Wadud; 2006, 16)
Wacana penafsiran al-Qur’an terus bergerak membawa implikasi yang lebih besar pada pemikiran-pemikiran Islam, terlebih lagi terkait isu perempuan. Arah baru penafsiran terkait isu-isu perempuan muncul bersamaan dengan tuduhan atas agama yang menjadi sumber budaya patriarkal. Kondisi umat, serta kritikan yang dilayangkan atas Islam menjadikan pemikir-pemikir Islam menganalisis kembali pemikiran yang sudah mengakar kuat di masyarakat.
Agama memang memuji perempuan dalam beberapa kedudukan tetapi disaat yang bersamaan juga “mendefinisikan” perempuan sebagai makhluk subordinat dari laki-laki. Maka dengan itu muncullah ragam perspektif terkait ayat-ayat yang menyapa perempuan di dalamnya seperti kepemimpinan laki-laki atas perempuan, nusyuz, poligami, warisan dan lain-lain. (Adrika Fithrotul Aini:2022, 2)
Berbicara tentang warisan, ini juga sering menjadi isu yang melabeli Islam sebagai Agama yang membentuk pola subordinasi bagi perempuan, terlihat dari pembagian warisan atas perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki atau dua banding satu. Pandangan ini dianggap mencerminkan bias gender. Maka kritik terhadap sistem pewarisan saat ini telah diajukan oleh beberapa pemikir salah satunya Muhammad Syahrur.
Pemikiran Muhammad Syahrur atas Ayat Warisan
Perspektif yang berbeda muncul oleh pemikir Islam asal Suriah, Muhammad Syahrur. Menurutnya, pemahaman warisan yang saat ini berkembang di masyarakat menetapkan sifat mutlak pada keputusan 2:1 dalam pembagian warisan yang kiranya perlu ditinjau ulang. Karena menurutnya logika warisan saat ini hanya berputar pada hitungan matematis yakni pengurangan, penjumlahan, pembagian dan perkalian. Sedangkan secara sosiologis keduanya masih sangat terpengaruh dengan budaya patrialkal Arab yang bias gender. (Moh, Khasan:2009, 98)
Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Arab pra-Islam mendiskriminasi perempuan dalam warisan, mereka tidak mendapat bagian warisan dan sering kali dianggap sebagai bagian dari harta yang diwariskan. Islam mereformasi sistem ini dengan memberikan hak warisan kepada perempuan, seperti yang diatur dalam surah al-Nisa’. Nyatanya pembagian 2:1 yang umum diketahui dari fiqh faraiḍ masih dianggap belum merepresentasikan keadilan yang dituju oleh ayat-ayat waris.
Pada persoalan ini, Muhammad Syahrur menawarkan teori Ḥudūdiyyah atau The Theory of Limit yaitu batasan-batasan dalam syariat Allah. Ia menyebutnya dengan batas minimum bagi Perempuan (al-Ḥadd al-ʿAdnā) dan batas maksimum bagi laki-laki (al-Ḥadd al-Aʿlā). Dalam hal ini perempuan bisa mewarisi lebih dari batas minimum tetapi tidak dapat melebihi batas maksimum lelaki.
Muhammad Syahrur kembali mendialogkan ayat-ayat seputar warisan, adapun ayat seputar warisan dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Nisa’ ayat 11-14
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۚ
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak Perempuan….”
Syahrur memandang, ketentuan 2:1 bukanlah ketentuan yang dapat ditolak secara mutlak, bahkan ia dapat diaplikasikan menurut batasan tertentu. Sehingga ketentuan ini tidak bisa dipandang sebagai ketentuan diskriminatif atas perempuan. Karena menurutnya, ayat-ayat waris ini termasuk kelompok ayat yang telah Allah tetapkan batasan-batasan di dalamnya atau ia menyebutnya dengan prinsip Ḥudūdiyyah (The Theory of Limit) yaitu batasan maksimal maupun batasan minimal.
Pembacaan yang umum dikenal terkait pembagian warisan bagi laki-laki dan perempuan adalah bagian laki-laki dua kali bagian perempuan tanpa melihat berapa jumlah perempuan tersebut. menurut Syahrur, Ini adalah pembacaan yang salah karena pembagian 2:1 telah ditetapkan Allah sesuai dengan realitas objektif yang hanya berlaku bagi kondisi dimana jumlah laki-laki adalah satu dan perempuan berjumlah dua orang sebagai pewaris harta mayit. (Muhammad Syahrur:2000, 236)
Menurut Syahrur, laki-laki hanya disebutkan sekali pada ayat itu karena memang ayat warisan adalah ayat yang menjadikan wanita sebagai variabel bebas (independen), maka penyebutan dan kondisinya berbeda-beda. Karena perempuan sebagai dasar dalam hukum waris, jika ia disebutkan sendiri hal itu sudah mengindikasikan bahwa adanya keberadaan laki-laki. Jika disebutkan ibu maka itu sudah mencakup ayah sebagai pasangan. Begitu juga jika disebutkan lebih dari dua atau seorang saja perempuan maka itu sudah mengimplikasikan laki-laki sebagai saudaranya. (Muhammad Syahrur:2000, 240)
konsep variabel yang ada dalam matematika, variabel tetap (al-Mutaḥawwil) dan variabel pengikut (al-Tābiʿ) yang dapat dijelaskan melalui rumus persamaan fungsi Y=F(X). Dalam hal ini, X (Perempuan) berperan sebagai variabel tetap, sedangkan Y(laki-laki) adalah variabel pengikut. Nilai Y bergantung sepenuhnya pada nilai yang dimiliki oleh X. Dengan kata lain, setiap perubahan pada nilai X akan menyebabkan nilai Y turut berubah sesuai dengan fungsi yang menghubungkan keduanya.
The Theory of Limit (Hududiyah) Muhammad Syahrur
Allah telah memberikan tiga contoh dalam QS al-Nisa ayat 11 pada kondisi “pertama” yang juga disebut olehnya sebagai batasan pertama adalah لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۚ. Maksudnya, bahwa 2:1 hanya berlaku pada kondisi seorang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Maka bagi laki-laki adalah setengah dan perempuan setengah dengan masing-masing dari mereka mendapatkan seperempat. Kondisi ini juga berlaku jika jumlah Perempuan dua kali jumlah laki-laki seperti perempuan empat dan laki-laki dua. (Muhammad Syahrur:2000, 248)
Kemudian batasan “kedua” menurut syahrur adalahفإن كُنَّ نِسَاۤءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۚ. Jika anak perempuan lebih dari dua maka mereka mendapatkan dua per tiga dan laki-laki mendapatkan sepertiga dari harta. Contoh jika satu anak laki-laki dengan tiga anak perempuan atau dua laki-laki dan lima perempuan maka dalam hal ini laki-laki mewarisi sepertiga dan perempuan mewarisi dua pertiga yang kemudian pembagian itu dibagi lagi sesuai jumlah mereka dengan konsep yang berimbang.
Adapun batasan “ketiga” وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُۗ. Jika yang ditinggalkan adalah seorang anak perempuan saja maka ia mendapatkan setengah warisan. Ini adalah batasan yang menetapkan jika jumlah perempuan dan laki-laki sama yaitu satu laki-laki dan satu perempuan atau dua laki-laki dengan dua perempuan maka masing-masing mereka mendapatkan setengah dari harta warisan. Dalam hal ini laki-laki tidak mendapatkan dua bagian perempuan. batasan ini adalah sangat wajar menurut Syahrur. (Muhammad Syahrur:2000, 249)
Mayoritas ulama juga mengatakan bahwa anak laki-laki menjadi hijab bagi kerabat lain untuk mendapatkan harta warisan. (Maimun Nawawi;2016, 134) Kata waladun pada QS al-Nisa’ ayat 176 yang diartikan hanya anak laki-laki menuai kontra dari Syahrur, ia mengatakan bahwa kata waladun juga termasuk di dalamnya anak perempuan. Sehingga jika hanya meninggalkan seorang anak perempuan maka ia layak atas seluruh harta warisan orang tuanya sebagaimana yang berlaku pada anak laki-laki.
Menurutnya beberapa kata dalam bahasa Arab sudah mengandung arti feminim. Seperti kata ‘abus (kegentingan), armal (janda atau duda), zawj (pasangan suami-istri), walad (anak). Dalam bahasa Arab tidak ditemukan pemakaian kata waladah, sehingga melakukan reduksi pada kata ini menyalahi keistimewaan bahasa Arab. Sehingga posisi anak perempuan sebagai hijab atas kerabat lain mendapat warisan adalah makna yang telah ada secara literal. (Musda Asmara, dkk; 2020, 23)
Syahrur juga menolak anggapan kebanyakan ulama yang mengatakan bahwa banyaknya jatah atas laki-laki dikarenakan ia memberi nafkah kepada perempuan, kemudian adanya anggapan karena perempuan kurang dari segi akal dan agamanya. Menurutnya ini adalah subjektivitas para penafsir yang dipengaruhi oleh budaya patrialkal dan semangat masyarakat yang berorientasi pada dominasi laki-laki. Padahal Allah terbebas dari sifat bias dan pilih kasih. Allah hanya melihat manusia berdasarkan kualitas takwanya. Sepertinya Syahrur ingin mendobrak sakralitas fikih yang mengakar kuat di masyarakat Islam.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Adrika Fithrotul Aini, Al-Qur’an Menolak Patriarki.Malang: Madza Media,2022.
Khasan,Moh. Rekonstruksi Fiqh Perempuan: Telaah atas pemikiran Muhammad Syahrur. Semarang: AKFI Media,2009.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan.Yogyakarta: IRCiSoD,2019.
Musda Asmara, dkk. “Teori Batas Kewarisan Muhammad Syahrur dan Relevansinya dengan Keadilan Sosial”, dalam De Jure: Jurnal Hukum dan Syar’iah, Vol.12, No.1 tahun 2020.
Syahrur, Muhammad. Nahwu Uṣūl Jadīdah lil-Fiqh al-Islāmī: Fiqh al-Mar’ah. Suriah: Al-Ahāli,2000.
Wadud ,Amina. Qur’an menurut Perempuan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.