Mendaras Ulang Besarnya Makna Sabar: Refleksi Q.S. Al-Baqarah: 177

Salah satu dari sekian ayat yang menerangkan sabar adalah Q.S. al-Baqarah: 177. Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan sabar sebagai salah satu dari sekian banyak bentuk kebajikan.

لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

Artinya: “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya; melaksanakan salat; menunaikan zakat; menepati janji apabila berjanji; sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Ayat tersebut menyebutkan beragam amal yang termasuk dalam al-birr (kebajikan) yang tercakup di dalamnya unsur teologi (keimanan) dan praktik (amaliah) yang terhimpun dalam rangkaian ibadah.

Terkait amaliah ada yang sifatnya untuk kemaslahatan individu seperti shalat dan ada juga untuk kemaslahatan orang banyak seperti zakat, memberikan harta kepada sanak kerabat hingga orang miskin dan semisalnya.

Tak luput juga disebutkannya sabar sebagai bagian dari amal kebajikan (birr). Sekilas tak ada bedanya dengan amalan lain yang telah disebutkan. Namun, jika kita telusuri kata “ash-shabirīn” dalam penggalan ayat tersebut maka akan didapati besarnya keutaman sabar ketimbang amalan lainnya.

Kata ash-shabirīn (orang-orang yang bersabar) memiliki perbedaan dari sisi i’rob (kedudukan dalam struktur kalimat) dengan lafal sebelumnya, yakni al-mufūn bi ‘ahdihim (orang-orang yang menepati janji). Ash-shabirīn memiliki i’rob nashab sedangkan al- mufūn beri’rob rafa’.

Semestinya, lafal ash-shabirīn beri’rob rafa’ dengan huruf waw menjadi ash-shabirūn karena menjadi ma’thūf (dihubungkan) dari kata al-mufūn. Seperti yang diketahui dalam ilmu Nahwu, tabi’ (pengikut) hukum asalnya mengikuti matbū’ (yang diikuti).

Menjawab hal itu, sebenarnya pembahasan ini masih dalam cakupan dari ilmu Nahwu itu sendiri. Lebih tepatnya, bahasan al-qat’u. Pengertiannya dapat diketahui dalam kitab Nahwu Al-Wafi sebagai berikut.

‌ الْقَطْعُ وَهُوَ الْمُخَالَفَةُ لِلْأَوَّلِ فِي حَرَكَتِهِ الْإِعْرَابِيَّةِ، وَالِانْفِصَالُ عَنْهَا إِلَى مَا يُخَالِفُهَا فِي الرَّفْعِ، أَوْ النَّصْبِ، بِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ الرَّفْعُ أَوْ النَّصْبُ غَيْرَ مَوْجُودٍ فِي الْأَوَّلِ، فَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ مَرْفُوعًا جَازَ قَطْعُ مَا بَعْدَهُ إِلَى النَّصْبِ، وَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ مَنْصُوبًا جَازَ قَطْعُ مَا بَعْدَهُ إِلَى الرَّفْعِ. وَإِنْ كَانَ الْأَوَّلُ مَجْرُورًا جَازَ فِيمَا بَعْدَهُ الْقَطْعُ إِلَى الرَّفْعِ

Artinya: “Al-Qat’u berarti perbedaan dari sisi harakat I’rob dengan kata pertama. Terpisahnya bisa dalam posisi rofa’, atau nasab, dengan syarat tanda rofa’ atau nashab tidak terdapat di kata pertama. Jika kata pertamanya rofa maka boleh qath’u (memutus I’robnya) pada kata setelahnya dengan nashab. Jika kata pertamanya nashab boleh memutus I’robnya pada kata setelahnya dengan rofa. Jika kata pertamanya jer boleh memutus I’robnya pada kata setelahnya dengan rofa”, (‘Abbas Hasan, Tt: 320)

Adanya al-qat’u bukan hadir tanpa faedah, karena memiliki makna besar terkandung di dalamnya. Fadhil As-Samira’i (w. 2021 M) memberikan keterangan terkait pembahasan ini serta aplikasinya terhadap Q.S. al-Baqarah: 177 dalam kitabnya, As’ilah Al-Bayāniyyāt fi Al-Qur’ān Al-Karīm.

 إِنَّ هَذَا مِمَّا يُسَمَّى فِي عِلْمِ النَّحْوِ بِالْقَطْعِ وَهُوَ يَكْثُرُ فِي الْمَدْحِ وَالذَّمِّ وَالتَّرَحُّمِ وَيَكُونُ ذَلِكَ لِأَهَمِّيَّةِ الْمَعْطُوفِ

Artinya: “Hal tersebut dalam ilmu Nahwu disebut dengan Al-Qath’u (pemutusan) yang banyak terdapat dalam ungkapan pujian, celaan, saling mengasihi.  Adanya hal tersebut menunjukkan akan pentingnya kata diathafkan (dihubungkan).” (Fadhil As-Samira’I, 2008: 46)

Tatkala terjadi perbedaan segi i’rob secara spontan akan memberi perhatian kepada orang yang mendengar ucapan tersebut. Sehingga menjadi dalih bahwa kata yang ma’thuf (dihubungkan) tadi mengandung hikmah besar dan membuatnya patut untuk diperhatikan.

Dalam contoh ayat di atas, ma’thūf-nya adalah ash-shabirīn yang dibaca nashob, putus i’robnya tidak mengikuti al-mufūn yang dibaca rofa’. Ini berarti sabar memiliki keunggulan dan keistimewaan dibandingkan yang lain.

فَقَطْعُ الصَّابِرِينَ لِفَضْلِهِمْ وَذَلِكَ أَنَّهُمْ صَابِرُونَ فِي الْفَقْرِ وَفِي الْمَرَضِ وَفِي الْقِتَالِ وَالْبَأْسَاءِ هِيَ الْبُؤْسُ وَالْفَقْرُ. وَالضَّرَّاءُ السَّقَمُ وَالْوَجَعُ وَحِينَ الْبَأْسِ أَيْ وَقْتُ الْقِتَالِ وَجِهَادُ الْعَدُوِّ

Adanya “Al-Qat’u di kata shabirin karena disebabkan keunggulan orang-orang yang bersabar. Mereka bersabar dalam situasi fakir, tatkala diberikan penyakit, bersabar dalam situasi peperangan, dan kondisi penuh kesempitan dan kefakiran. sabar ditimpa mara bahaya, rasa sakit, kondisi sulit yakni ketika berperang dalam berjihad melawan musuh.” (Fadhil As-Samira’I, 2008: 47)

Ketika ditimpa kesulitan dan kemalaratan, harus disikapi dengan sabar. Pun dalam kondisi tengah berjihad melawan musuh. Jika tidak bersabar, mungkin akan berhenti dari medan perang ataupun langsung melakukan penyerangan tanpa bersabar menunggu komando dan arahan.

Begitu juga dalam menghadapi kefakiran dan penyakit. Sabar menjadi poin penting menghadapi keduanya. Tanpa sabar, seseorang akan putus harapan dan kemudian melakukan tindakan negatif yang bisa mengancam dirinya maupun orang lain.

Gambaran keistimewaan ini menjadikan sabar sebagai dasar dari seluruh amal. Di sisi lain, seluruh amal tersebut terkumpul dalam sifat sabar karena tidak ada satupun amal atau perbuatan kecuali sabar hadir memberikan pengaruh besar dalam amalan tersebut. Sehingga posisi i’robnya berubah untuk mewujudkan tujuan itu. (Fadhil As-Samira’I, 2008: 47)

Amalan yang disebutkan di Q.S. al-Baqarah: 177, sifatnya adalah taklīf (pembebanan) yang membuat tiap orang merasakan kesulitan (masyaqqah). Untuk itu, diperlukan sikap sabar dalam pelaksanaannya. Sebagaimana yang tercantum dalam Tafsīr Asy-Sya’rowi, Syeikh Mutawali Asy-Sya’rowi (w. 1988 M) menyebutkan keistimewaan sabar dalam fungsinya mengerjakan beragam amalan dan perintah Allah.

لِأَنَّ التَّكْلِيْفَاتِ كُلَّهَا تُعْطِي مَشَقَّاتٍ عَلىَ النَّفْسِ، وَلَا يَسْتَطِيْعُ تَحَمُّلِ هَذِهِ الْمَشَقَّاتِ إِلَّا مَنْ يَقْدِرُ عَلَى الصَّبْرِ. وَمَادَامَ قَدْ قَدَرَ عَلَى الصَّبْرِ فَكُلُّ ذَلِكَ يهون. وَمِنْ هُنَا خَصَّ اللَّهُ الصَّبْرَ بِهَذِهِ الْمَيْزَةِ

“Karena seluruh taklif itu membuat jiwa merasa sulit (masyaqqah), dan tidak mampu menanggungnya kecuali orang yang bisa berlaku sabar. Selama seseorang mampu bersabar semua itu akan membuatnya ringan. Dari sini Allah mengkhususkan sabar dengan kelebihan ini.” (Mutawali Asy-Sya’rowi, 1991: 741)

Ketika mengeluarkan hartanya juga demikian. Baik kepada sanak kerabat, orang miskin, dan fakir, semuanya disertai rasa sabar. Harta yang telah didapati dari hasil keringat dan kerja kemudian harus dikeluarkan ketika diminta. Pada saat itu, tidak menutup kemungkinan akan timbul rasa marah. Untuk itu, perlu sabar untuk menahan dan mengekangnya. Sama halnya dengan orang yang menepati janji, ia harus sabar dalam memenuhi janji yang ia lakukan.

Redaksi sabar dalam ayat tersebut yang tidak mengikuti kedudukan kata sebelumnya mengindikasikan pesan penting bahwa sabar merupakan suatu hal memiliki makna yang besar dan istimewa dibandingkan dengan amal kebajikan lain. Seakan-akan sabar itu sendiri berbeda atau tidak termasuk dari bagian kebaikan (birr).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ibnu Katsir (w. 1374 M) tatkala menafsirkan ayat tersebut.

وَإِنَّمَا نُصِبَ ﴿وَالصَّابِرِينَ﴾ عَلَى الْمَدْحِ وَالْحَثّ عَلَى الصَّبْرِ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ لِشِدَّتِهِ وَصُعُوبَتِهِ

Artinya: “Dinashabkannya lafal ash-shabirīn berfungsi sebagai pujian dan anjuran untuk bersabar dalam kondisi perang dan sakit karena sulit dan susahnya sabar pada saat itu” (Ibnu Katsir, 1999:  488)

Setelah mendaras makna sabar dari Q.S. al-Baqarah: 177, dapat kita ketahui bahwa sabar bukanlah amalan sembarang dan remeh. Ia memiliki kandungan besar dan hikmah melimpah yang terdapat di dalamnya, sehingga redaksinya yang di-qat’u dengan lafal yang seharusnya ikut dalam segi i’rob. Semua itu untuk menunjukkan keunggulan sabar dibandingkan dengan deretan amal lain.

Wallahu A’lam

Penulis: Muhammad Izharuddin (Mahasantri STKQ Al-Hikam) *

Referensi:

‘Abbas Hasan, T.t. Nahwu Al-Wafi, Juz 1, Dar Al-Ma’arif: T.tp.

Fadhil As-Samira’I, 2008. As’ilat Al-Bayaniyyat fi Al-Qur’an Al-Karim, Juz 1, Cet. I, Kairo: Maktabah As-Shahabah.

Mutawali Asy-Sya’rowi, 1991. Tafsir Asy-Sya’rowi, Dar Akhbar Al-Yaum: T.tp.

Ibnu Katsir, 1999. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzhim, Juz 1 Dar As-Salamah: T.tp.

*Biodata Penulis telah dicantumkan di artikel sebelumnya.

Muhammad Izharuddin
Mahasiswa Prodi IAT STKQ Al-Hikam