“Perempuan sebagai sumber fitnah” merupakan sebuah tema yang sebenarnya terdapat banyak hadis yang membincangnya. Di antaranya dalam kitab al-Sunan al-Kubrâ, Imam Nasa’i, mencantumkan bab khusus tentang pergaulan terhadap perempuan (‘isyrah al-nisâ’), tepat pada sub tema perkara yang ada pada perempuan (mâ dzukira fî al-nisâ’) sebagai berikut (al-Nasai, 2001: 8/298):
Versi Panjang:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَاءٌ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: شَهِدْتُ الصَّلَاةَ مَعَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ وَحَثَّهُمْ عَلَى طَاعَتِهِ، ثُمَّ مَضَى إِلَى النِّسَاءِ وَمَعَهُ بِلَالٌ، فَأَمَرَهُنَّ بِتَقْوَى اللهِ وَوَعَظَهُنَّ وَذَكَرَّهُنَّ، وَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ حَثَّهُنَّ عَلَى طَاعَتِهِ ثُمَّ قَالَ: «تَصَدَّقْنَ، فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ» فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سَفِلَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ: لِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، فَجَعَلْنَ يَنْزِعْنَ حُلِيَّهُنَّ قَلَائِدَهُنَّ وَأَقْرِطَتَهُنَّ وَخَوَاتِيمَهُنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ يَتَصَدَّقْنَ بِه.
Secara ringkas, “Diriwayatkan dari sahabat Jabir berkata, saya sholat sunnah hari raya bersama Rasulullah Saw–ketika selesai ritual sholatnya–kemudian, Rasulullah bergandengan bersama Bilal lewat bertemu dengan sekelompok perempuan, lalu memerintahkan untuk takwa pada Allah, menasehati, mengingatkan, memuji pada Allah dan mendorong untuk taat.
Lanjutan, Kemudian Rasul berkata “Bershadaqahlah kalian karena kebanyakan dari kalian adalah kayu bakar neraka Jahanam. Bertanya perempuan hitam kemerah-merahan di tengah-tengah mereka “Kenapa wahai Rasul?” Nabi menjawab, “kalian banyak malaknat, kufur terhadap rekan (suami)”, akhirnya perempuan tersebut melepas perhiasannya, kalung, anting, cincin, mereka lemparkan dalam kain sahabat Bilal dengan menshadaqahkan semuanya”.
Versi Pendek tanpa diterjemahkan kembali yang intinya sama mungkin hanya redaksinya saja sedikit ada perbedaan:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْحَكَمِ، قَالَ: سَمِعْتُ ذَرًّا، يُحَدِّثُ عَنْ وَائِلِ بْنِ مَهَانَةَ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «لِلنِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ، فَإِنَّكُنَّ أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ» فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: يَا رَسُولَ اللهِ فِيمَ؟ أَوْ لِمَ؟ أَوْ بِمَ؟ قَالَ: «إِنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ: حَفِظْنَاهُ مِنْ مَنْصُورٍ سَمِعَهُ مِنْ ذَرٍّ يُحَدِّثُ عَنْ وَائِلِ بْنِ مَهَانَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ، فَإِنَّكُنَّ أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ لَيْسَتْ مِنْ عِلْيَةِ النِّسَاءِ» وَلِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ.
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ سَهْلٍ قَالَ: حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ عَمْرٍو قَالَ: حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ أَبِي الْأَسْوَدِ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ ذَرٍّ، عَنْ حَسَّانَ، عَنْ وَائِلِ بْنِ مَهَانَةَ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللهِ: «تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ نَحْوَهُ» وَلَمْ يَرْفَعْهُ.
Diikuti oleh hadis lain dalam sub bab yang sama:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ عَوْفٍ، عَنْ أَبِي رَجَاءٍ، عَنْ عِمْرَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «اطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ، وَاطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ
Selain Imam Nasa’i sebenarnya banyak dalam hadis lainnya dan mudah sekali untuk dijangkau karena memang banyak para imam hadis meriwayatkan dalam kitab mereka. Namun, contoh sampel di atas sudah cukup untuk dibedah dalam tulisan ini. Lantas, apa maksudnya dari hadis yang berbicara perempuan penguhuni neraka terbanyak? Kenapa demikian? Sehingga, terkesan menyudutkan para wanita bahkan tidak menghormati wanita.
Jika diterkesan meremehkan dan menyudutkan Wanita, padahal Nabi-lah pertama kali melakukannya, tapi apa iya nabi demikian? Tentu tidak. Malah yang memahami saja yang berlebihan atau salah memahami hadis tersebut. Mari kita coba lihat beberapa literatur para ulama terkait pembahasan ini.
Pada syarah al-Zurqani di dalamnya dijelaskan, Imam al-Raghib berkata, nasehat nabi pada perempuan tersebut mengandung teguran yang disertai dengan menakut-nakuti, sedangkan Imam Khalil mengatakan, sebatas mengingatkan dengan baik yang dapat meluluhkan hati (al-Zurqani, 1996: 11/68). Intinya dalam hadis ini nabi memberikan sebuah nasehat pada sekelompok perempuan tersebut.
Alasan kebanyakan masuk neraka karena banyak melaknat, ingkar pada suami. Dalam redaksi yang lain (al-Zurqani) karena banyak mengeluh pada suami (tuktsirna al-syakât) padahal sang suami telah berbuat baik padanya. Maka, hal semacam ini terkena pasal “tercelanya seseorang yang mengingkari kebaikan orang lain”. seperti yang dilakukan Asma’ binti Zaid bin al-Sakan yang viral–di masanya–dijuluki dengan al-Khatîbah al-Nisâ’ (tukang ngomong).
Sudah mulai ada titik terang dari hadis tersebut sebagai jawaban pertanyaan di atas bahwa perempuan yang suka melaknat, tidak mudah bersyukur, mengingkari kebaikan suami maka dipersiapkan sebagai kayu api neraka. Dalam keterangan dan redaksi hadis yang lain, karena perempuan lebih banyak cenderung pada dunia serta menghalang-halangi suaminya memilih akhirat. Buktinya lihat di ibihtafsir.id, Konkretisasi Tauladan Ulama’ dalam Memperlalukan Perempuan (al-Qari, 2002: 8/3285).
Sama halnya dengan Syaikh Amin al-Harari, para perempuan tersebut banyak suka pada keindahan dunia (‘âjilah) dari pada akhirat (âjilah) dalam syarah shahih muslim (al-Harari, 2009: 25/163). Ketika melihat realita yang ada, tidak bisa kita pungkiri banyak wanita yang sulit menerima kondisi suaminya, terjadinya perselingkuhan dengan laki-laki lain (na’ûdzubillah) karena faktor tertentu dan keterbatasan seorang suami.
Misal, ketika tetangganya mampu beli sepeda, mobil, emas dan lainnya, mereka mengeluh pada suaminya, ini realita yang dihadapi perempuan. Bukan berarti laki-lai tidak, tapi kebanyakan itu perlu disadari dengan hati. Supaya kita benar-benar memahami akan hal itu. Dan banyak juga perempuan yang taat pada agama mau menerima suaminya apa adanya dalam artian sabar selalu. Itu dibalik keterangan sabda Nabi Saw.
Jika melihat lebih detail lagi, suasanya saat nabi memberikan nasehat ialah suasana gembira yakni hari raya kemenangan (idul fitri), maka yang menjadi pertanyaan apa mungkin dalam keadaan senang, gembira, dan ringa nabi menyudutkan perempuan? Tentu jawabannya tidak. Justru nabi memberikan kabar gembira yakni solusi pada para perempuan yaitu dengan cara memperbanyak shadaqah dan memperbaiki perilakunya.
Buktinya, mereka semua langsung melepas perhiasannya dan memberika pada sahabat Bilal untuk disedekahkan. Bukan hanya sekedar melepas, dalam redaksi lain bergegas membuang perhiasan yang ada pada anggota badannya. Karena kaget dan merasa itu kabar gembira bagi mereka. Berarti ketaatan mereka pada agama sangat luar biasa, nabi menasehati langsung mereka melaksankaannya dengan senang hati.
Nah yang menjadi pertanyaan besar disini, apakah setelah mendengar hadis ini para perempuan yang merasa disudutkan mau melepas semua perhiasannya untuk agama Islam? katanya demi menegakkan agama Islam, membawa-bawa nama Islam. Perempuan zaman nabi di atas mau melepasnya untuk disedekahkan, demi diberikan pada agama dan orang yang tidak mampu, mereka menunjukkan pada nabi lebih milih akhirat dari pada dunia. Inilah ini dari hadis di atas.
Maka, penulis tidak pernah bosan mengutib nasehat Syaikh Maimoen Zubeir:
“Kalau memilih istri itu jangan yang terlalu mengerti dunia (materi). Karena seberapa sholeh anakmu, tergantung seberapa sholehah ibunya”.
Jika dipahami dari hadis dan perkataan ulama, perempuan bisa dikatakan sumber fitnah kalau dia suka melakanat, bicara kotor, tidak menerima atas jerih payah suami yang sudah maksimal untuk membahagiakan keluarga. Jangan salah dipahami, bukan berarti wanita saja yang sumber fitnah, laki-laki juga bisa! Namun, keterangan hadis tersebut merupakan fenomena yang secara global atau aghlabîyyah (kebanyakan) terjadi pada konteks tersebut. Makanya sebagai laki-laki mampu bersikap lemah lembut pada perempuan atas segala kekurangannya.
Buktinya, dalam al-Quran satu-satunya yang membahas tipu daya dalam hubungan laki-laki dan perempuan adalah tipu daya perempuan yakni kisah jatuh cintanya Siti Zulaikha pada Nabi Yusuf As. Redaksi al-Quran jelas Inna Kaidakunna ‘Adzîm, kata ‘adzîm sesuatu yang besar atau dahsyat. Maka tidak salah kalau wanita dikata sumber fitnah, karena wanita diciptakan oleh Allah sebagai perhiasan yang bebeda dengan perhiasan yang ada.
Mengintip penjelasan Imam Nasafi terkait ayat tersebut, perempuan tipu daya yang paling halus dan akibatnya fatal. Bahkan ulama mengatakan, tipu daya wanita lebih kuat dari pada setan (al-Nasafi, 1998: 2/106). Nabi Yusuf yang ma’shūm masih terkenal fitnah akhirnya dipenjara gara-gara wanita, padahal sudah terbukti tidak bersalah berdasarkan informasi yang disampaikan al-Quran. Seandainya ada CCTV, juga dipastikan tidak bersalah karna Nabi Yusuf yang dikejar.
Cukup jelas penjelasan perempuan penghuni negara terbanyak bukanlah menyudutkan perempuan bahkan menyelamatkan perempuan agar terhindar dari kobaran api neraka, begitu juga laki-laki jika mengabaikan kewajibannya dan menyalahgunakan apa yang Allah berikan lebih besar siksanya di akhirat nantinya.
Referensi:
Al-Harari, Muhammad al-Amin. Al-Kaukab al-Wahhâj wa al-Raudh al-Bahhâj, Dar al-Minhaj, Tahun 2002.
Al-Nasa’i, Abdurrahman. Al-Sunan al-Kubrâ, Bairut: Muassasah al-Risalah, Tahun 2001.
Al-Nasafi, Abdullah. Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, Bairut: Dar al-Kalam, Tahun 1998.
Al-Qari, Ali Mula bin Sulthan Muhammad. Mirqât al-Mafâtih Syarh Misykât al-Mashâbîh, Bairut: Dar al-fikr, Tahun 2002.
Al-Zurqani, Muhammad bin Abdul al-Baqi. Syarah al-Zurqâni ‘alâ al-Mawâhib al-Ladunnîyyah, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Tahun 1996.