Quraish Shihab Jelaskan Indikator Seseorang Mendapatkan Lailatul Qadar

Setiap muslim mendambakan untuk bertemu dengan malam Lailatul Qadar, sebuah malam yang istimewa yang ada pada salah satu malam di bulan puasa Ramadan. Para ulama menyebut malam mulia ini tiba pada tanggal-tanggal ganjil di 10 hari terakhir bulan puasa Ramadan.

Bacaan Lainnya

Masyarakat muslim umumnya mengetahui malam Lailatul Qadar lebih baik dibandingkan dengan 1000 bulan. Mereka berbondong-bondong mencari malam tersebut setiap tahun di bulan suci Ramadan.

Quraish Shihab menjelaskan makna harfiah dari ‘Lailatul Qadar’ dengan tiga makna, pertama, malam ketentuan, yang karena mal tersebut ditentukan diturunkannya Al-Qur’an; kedua, malam kemuliaan; dan ketiga, malam yang sempit, karena ada banyak malaikat yang turun ke muka bumi.

Beliau juga menjelaskan bahwa pada hakikatnya, manusia tak bisa mengetahui malam Lailatul Qadar secara sepenuhnya. Karena manusia memiliki akal yang terbatas. Sebab itu dalam surah Al-Qadr ayat 2, Allah menyatakan ‘wama adrokama Lailatul Qadar’ yang artinya: apa yang menjadikanmu tahu tentang Lailatul Qadar?

Pendiri Pusat Studi Qur’an (PSQ) itu lanjut memaparkan, jika merujuk pada Al-Qur’an, ada dua indikator seseorang mendapatkan malam Lailatul Qadar. Disebut dalam Surah Al-Qadr ayat 4; Tanaz zalul malaa-ikatu war ruuhu fiiha bi izni-rab bihim min kulli amr; Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.

Pada malam kemuliaan itu turun malaikat memenuhi bumi. Makhluk Allah itu turun untuk mendorong manusia melakukan kebaikan. Indikator utama seseorang mendapatkan malam Lailatul Qadar ia banyak melakukan kebaikan. Hakikatnya, ia didorong oleh para malaikat untuk selalu istikamah di jalan kebajikan.

Indikator yang berikutnya diisyaratkan dalam Surah yang sama ayat ke lima; Salaamun hiya hattaa mat la’il fajr, artinya; damailah di malam itu sampai terbit matahari. Menurut penulis Tafsir Al-Mishbah, orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar pribadinya selalu damai. Damai dengan urusan dirinya maupun dengan orang yang lain.

Mengutip pandangan para Mufasir Al-Qur’an, tokoh tafsir lulusan Universitas Al-Azhar Kairo itu menyebut, damai yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan sebatas sampai tiba waktu fajar, namun sampai tiba kehidupan manusia yang berikutnya, setelah kehidupan di dunia.

Wallahu A’lam.[]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *