Antara Historisitas Teks Al-Qur’an dan Sakralitas Wahyu

Al-Qur’an sampai kepada umat Islam sebagai teks. Hal itu sepertinya sudah tidak bisa diperdebatkan lagi. Yang kadang menjadi perdebatan adalah apakah Al-Qur’an sampai kepada Nabi Muhammad Saw sebagai teks atau tidak. Jika tidak, maka teks yang sampai kepada umat Islam adalah teks dari Nabi Saw, bukan semata-mata dari Allah SWT. Itulah yang menjadi perdebatan.

Di antara yang mencoba mendiskusikan tentang asal-muasal teks Al-Qur’an adalah Fazlur Rahman. Dia menyebutnya dengan eksternalitas dan internalitas Al-Qur’an. Baginya, ada kegalauan di dalam pemahaman ulama terdahulu tentang hal itu. Di satu sisi mereka menekankan ‘kelainan’, objektivitas, serta eksternalitas wahyu, tetapi di sisi lain tidak setuju dengan ekternalitas wahyu via-a-vis Nabi Muhammad Saw. Berdasar kepada itu, maka sepertinya Fazlur Rahman sampai kepada pemahaman bahwa teks Al-Qur’an bersifat eksternal sekaligus internal.[1]

Celah yang ditemukan oleh Rahman juga ditemukan oleh Nasr Hamid Abu Zaid dalam perdebatan tentang relasi antara wahyu dan realitas. Abu Zaid melihat ada problem pada pandangan tentang hal tersebut. Di satu sisi dipahami bahwa wahyu adalah sesuatu yang independen dari realitas ruang dan waktu karena sifatnya yang qadîm (tidak hadîts). Di sisi lain, konsep asbâb an-nuzûl menegaskan bahwa wahyu tidak benar-benar independen dari realitas. Makanya, Abu Zaid cenderung kepada dialektika wahyu dan realitas.[2]

Barangkali kata “perdebatan” untuk pertanyaan apakah teks Al-Qur’an dari Allah SWT atau dari Nabi Saw tidaklah tepat. Yang lebih tepat adalah bahwa ada pihak yang “menghendaki” pemahaman bahwa teks Al-Qur’an dari Allah SWT dan ada pihak yang “menghendaki” pemahaman bahwa teks Al-Qur’an dari Nabi Saw. Kedua pihak yang berkehendak tersebut hadir karena masing-masing memiliki agenda.

Penjelasan ini dimulai dari kehendak yang kedua, yaitu teks Al-Qur’an berasal dari Nabi Saw dan agenda di balik kehendak tersebut. Kenyataan bahwa seorang yang membaca Al-Qur’an pasti menfasirkannya adalah hal yang sulit ditolak. Sesederhana apapun pengetahuan seorang, sebuta apapun dia tentang tata bahasa Arab dan disiplin keilmuan Islam lainnya, namun kala membaca Al-Qur’an, sebuah peristiwa penafsiran atau upaya pemahaman pasti terjadi. Untuk hal itu, si pembaca bisa memahami lewat panca ideranya, akalnya, bahkan hatinya. Semua itu adalah sebentuk penafsiran. Terserah orang lain menuduh bahwa penafsiran itu tidak valid, tidak bisa dipertanggungjawabkan atau keliru, tetap saja sebuah penafsiran terjadi tanpa bisa dicegah.

Saat indera atau akal atau hati atau keseluruhannya secara bersamaan mengupayakan pemahaman terhadap Al-Qur’an saat membacanya, maka yang sesungguhnya terjadi adalah si pembaca (si penafsir) sedang bertindak sebagai mediator antara teks-teks Al-Qur’an dengan keseluruhan dirinya hingga kenyataan yang melingkupinya.[3] Jadi, saat makna dalam pikirannya terbentuk (sesederhana apapun itu), maka makna tersebut adalah sebentuk intervensi si pembaca terhadap teks-teks Al-Qur’an yang sesungguhnya sakral, suci. Juga adalah sebentuk penyesuaian antara teks Al-Qur’an dengan kenyataan hidup pembaca. Penafsiran adalah sebentuk cemar bagi teks-teks Al-Qur’an itu sendiri.

Dari penjelasan singkat di atas, mulai tampak agenda yang sesungguhnya yang hendak diwujudkan oleh mereka yang menghendaki teks Al-Qur’an berasal dari Nabi Saw. Ada upaya untuk menegaskan bahwa Al-Qur’an mengandung historisitas yang sangat besar sehingga memungkinkan manusia (penafsir) yang juga historis mengakses maknanya, dalam arti, mengadaptasi historisitas Al-Qur’an dengan historisitas manusia sendiri sebagai penafsir. Jadi, agendanya adalah pendasaran yang kokoh bagi aktivitas penafsiran.

Jika dipahami bahwa teks Al-Qur’an berasal dari Allah SWT, maka tidak ada landasan bagi penafsir untuk mengakses maknanya karena teks yang hendak diakses adalah sesuatu yang suprahitoris karena berasal dari Allah SWT langsung. Kalaupun ada yang mampu mengaksesnya, maka hanyalah kapasitas kenabian, bukan kapasitas manusia biasa.

Gambaran seperti di atas membuat penafsiran tidak seharusnya terjadi, oleh manusia biasa. Jika teks tersebut berasal dari Allah SWT, maka konsekuensinya adalah tiap teks Al-Qur’an adalah titah yang seharusnya dilaksanakan saja tanpa lewat penafsiran apapun. Bahkan tidak ada ruang bagi penafsiran tekstual. Tidak perlu ada pencarian makna teks-teks Al-Qur’an karena teks-teks itu sendiri adalah maknanya. Pada saat itu, Al-Qur’an itu sendiri sudah merupakan tekstualisasi dalam bahasa manusiawi dari “maksud” Ilahi yang sesungguhnya. Tidak perlu penafsiran. Dengan demikian, agar penafsiran memiliki landasan kokoh, maka pihak ini berkehandak bahwa teks-teks suci Al-Qur’an “harus” tidak berasal dari Allah SWT, tetapi dari Nabi Saw.

Lalu, apa agenda yang berada di balik kehendak pertama, yaitu yang memahami teks Al-Qur’an berasal dari Allah SWT? Agendanya adalah peneguhan teks-teks Al-Qur’an sebagai rujukan dan bukan merujuk kepada penafsiran. Kalaupun penafsiran ada, maka itu tidak lebih dari ulasan sederhana yang tafsirannya jangan pernah lepas dari teks. Jika lepas, maka itu adalah penyimpangan. Lalu, dalam keadaan terpaksa penfasiran tetap dilakukan, maka sederet syarat-syarat panjang ditetapkan yang jika dicermati, maka syarat-syarat tersebut tidak akan pernah mampu dikuasai oleh lebih dari 5% manusia secara keseluruhan. Tentu saja cara berfikir seperti ini tidak asing. Kehendak untuk mensakralisasi teks-teks Al-Qur’an bisa menjadi bumerang karena itu sama saja tidak bisa diakesesnya Al-Qur’an oleh semua orang.

Jika dibandingkan antara kedua kehendak di atas, maka tampak betapa utopis agenda yang dikehendaki oleh pihak yang berkehendak bahwa teks-teks Al-Qur’an berasal dari Allah SWT. Utopis karena dua hal. Pertama, tidak mungkin menolak fakta bahwa manusia memang adalah makhluk penafsir (siapapun manusia itu) yang saat berhadapan apapun pasti akan menafsirkannya, termasuk kala berhadapan dengan teks-teks suci Al-Qur’an. Kedua, sederet persyaratan barangkali berhasil melindungi teks Al-Qur’an dari cemar, tetapi tidak ada jaminan jika manusia yang memenuhi syarat yang jumlahnya kurang dari 5% tersebut meyampaikan pemikirannya, maka orang yang mendengarnya tidak menjadi penafsir baru atas pemikiran yang mereka dengarkan. Jadi, pencemaran tetap saja pasti terjadi.

Katakanlah begini, Nabi Saw sendiri “tidak berani” melakukan penafsiran terhadap wahyu yang diterimanya, lalu mengapa umatnya begitu lancang menafsirkan Al-Qur’an hingga menciptakan ribuan jilid dari semata i’rab terhadap ayat-ayat hingga penafsiran-penafsiran yang mengikuti kepakaran umatnya? Begitu kira-kira yang agenda yang hendak disampaikan oleh pihak yang menghendaki pemahaman bahwa teks Al-Qur’an berasal dari Allah SWT. Itu benar-benar pemahaman yang tidak menghendaki penafsiran terjadi, selain oleh Nabi Saw sendiri, dan sekali lagi, itu tidak mungkin.

Oleh pihak yang menghendaki pemahaman bahwa teks Al-Qur’an berasal dari Nabi Saw, maka agendanya kira-kira seperti ini: Al-Qur’an adalah hasil dari kenyataan objektif seorang Nabi Muhammad Saw, maka itu menjadi jalan bagi umat Islam untuk melakukan hal yang sama, yaitu teks-teks Al-Qur’an dipahami dalam kerangka keyataan objektif umat Islam sendiri dengan segala kompleksitasnya dan dengan segala kelebihan dan kealpaannya.

Apapun agenda masing-masing pihak yang telah dibahas di atas, keduanya seperti berjalan di tepian jurang terjal hingga menyerempet bahaya. Pemahaman bahwa teks Al-Qur’an berasal dari Allah SWT memang berhasil meneguhkan sakralitas teks, tetapi gagal mencari pendasaran absah bagi setiap upaya penafsiran manusiawi. Sebaliknya, pemahaman bahwa teks Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad Saw berhasil membangun dasar absah bagi setiap penafsiran, tetapi gagal menjaga sakralitas wahyu Ilahi.

Carl W. Ernst berkisah. Selulusnya dia dari Harvard, sebuah studi tentang Al-Qur’an hendak dilakukannya. Namun betapa terkejutnya dia kala menemukan kartu katalog yang memuat daftar Al-Qur’an menyebutkan rujukan silang kepada Muhammad sebagai penulisnya. Hal berbeda terjadi pada Injil yang terdaftar tanpa penulis.[4] Bisa jadi, ada ketidakberanian orang Barat untuk menyebutkan Injil tidak berasal dari Tuhan. Bisa jadi pula karena begitu banyak penyusun Injil, maka sebaiknya tidak ditulis daripada harus ditulis semua.[]

Daftar Pustaka

Rahman, Fazlur. Islam, terjemahan Ahsin Mohammad, terjemahan Khoiron Nahdiyyin, Bandung: Pustaka, 2000.

Abu Zaid, Nasr Hamid. Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: LKiS, 2003.

Zimmermann, Jens. Hermeneutika: Sebuah Pengantar Singkat, terjemahan Leonart Maruli, Yogyakarta: IRCiSoD, 2021.

Ernst, Carl W.. Pergulatan Islam di Dunia Kontemporer: Doktrin dan Peradaban, terjemahan Anna Farida dkk., Bandung: Mizan, 2016.


[1] Fazlur Rahman, Islam, terjemahan Ahsin Mohammad, terjemahan Khoiron Nahdiyyin, Bandung: Pustaka, 2000, hal. 32-34. Eksternalitas Al-Qur’an berarti teksnya berasal dari Allah SWT. Internalitas Al-Qur’an berarti teksnya berasal dari Nabi Muhammad Saw.

[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, Yogyakarta: LKiS, 2003, hal. 206-209. Al-Qur’an bersifat qadîm berarti independen dari ruang dan waktu profan. Lawannya adalah hadîts yang berarti Al-Qur’an tidak independen dari ruang dan waktu profan.

[3] Jens Zimmermann, Hermeneutika: Sebuah Pengantar Singkat, terjemahan Leonart Maruli, Yogyakarta: IRCiSoD, 2021, hal. 136.

[4] Carl W. Ernst, Pergulatan Islam di Dunia Kontemporer: Doktrin dan Peradaban, terjemahan Anna Farida dkk., Bandung: Mizan, 2016, hal. 95.

Editor: AMN

Abdul Muid Nawawi
Dosen Institut PTIQ Jakarta