Kasus kekerasan pada anak masih marak terjadi di Indonesia. Salah satu pemicu maraknya kasus ini yaitu karena kurangnya pemahaman tentang bagaimana pola komunikasi yang baik antar anggota keluarga. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan ada 21.241 anak yang menjadi korban kekerasan di dalam negeri pada 2022.
Beragam kekerasan tersebut bukan hanya secara fisik, namun juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Secara rinci, ada 9.588 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 4.162 anak menjadi korban kekerasan psikis sepanjang tahun lalu. Kemudian, 3.746 anak menjadi korban kekerasan fisik. Ada pula 1.269 anak yang menjadi korban penelantaran.
Bukan hanya itu, anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia berjumlah 219 orang. Adapun 216 anak menjadi korban eksploitasi pada 2022. Sementara, 2.041 anak menjadi korban kekerasan dalam bentuk lainnya. (Pratiwi, 2023) Data ini menunjukkan bahwa perlu adanya penanaman pemahaman yang searah dengan spirit Islam.
Berangkat dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak, artikel ini mencoba mengurai konsep hubungan ketersalingan antara orang tua dan anak dari perspektif Gus Baha’. Gus Baha’ menjelaskan bagaimana Al-Quran menceritakan harmonisasi komunikasi antar anggota keluarga melalui kisah para Nabi, seperti kisah Nabi Ibrahim, Yusuf, Ismail, dan Maryam.
Berawal dari kisah Nabi yang dijuluki sebagai Bapak Tauhid, Nabi Ibrahim. Beliau dilimpahi keberkahan dengan lahirnya Ishak sebagai orang yang shaleh (QS. As-Saffat: 109-112). Bukan hanya itu, Allah memberkahi kemuliaan kepada keluarga Nabi Ibrahim hingga Ishak saja, namun juga kepada anak turunnya (QS. As-Saffat:113).
Ishak mempunyai keturunan Ya’kub (disebut sebagai Israel), kemudian keturunannya menisbahkan dirinya kepada beliau (Bani Israel). Dari keturunan ini banyak yang diangkat sebagai Nabi. Ada yang menyebutkan jumlahnya sangat banyak hingga tidak terhitung, kecuali yang telah diutus serta dikhususkan risalah dan kenabiannya (misalnya, Yusuf, Ayyub, Yunus, Musa, Daud, Sulaiman, dan lainnya).
Adapun dari jalur Ishak, penghujung kenabiannya yaitu Isa bin Maryam dari Bani Israel. Sementara dari keturunan Ismail, lahir Nabi akhir zaman, yaitu Muhammad SAW. (Falah 2020) Rantai tali kasih yang dikuatkan oleh Tauhid ini, mengantarkan pada terbentuknya hubungan yang erat antar anggota keluarga.
Tauhid sebagai Pondasi Jalinan Kasih antar Anggota Keluarga
Para ilmuwan dan agamawan sering menggunakan konsep tauhid dalam membangun ddan melanggengkan konsep ketersalingan dalam sebuah hubungan antar makhluk, salah satunya, Amina Wadud. Dalam bukunya “Qur’an and Woman: Rereading The Sacred Text From a Woman’s Perspective”, ia menjelaskan bagaimana ketertarikannya dalam mengkaji Al-Qur’an dan kaitannya dengan penerapan konsep tauhid dalam memahami kitab suci.
Menurutnya, Al-Qur’an merupakan katalisator perubahan politik, sosial, spritual, dan intelektual, termasuk pembahasan tentang pola hubungan orang tua dan anak yang digambarkan melalui kisah Nabi terdahulu. (Wadud, 1999: 10) Amina Wadud juga meyakini bahwa konsep tauhid mengajarkan bahwa hanya Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari sini mengindikasikan bahwa posisi antar makhluk setara, serta yang membedakan kedudukannya hanya ketakwaanya kepada Tuhan.
Senada dengan pemikiran Amina Wadud, Ahmad Bahauddin Nursalim yang akrab disapa dengan Gus Baha’, menerapkan konsep tauhid dalam lingkup keluarga. Kasus kekerasan yang kerap terjadi pada anak, salah satunya berawal dari anggapan bahwa anak itu milik orang tuanya. Untuk itu, penulis akan menguraikan pendapat Gus Baha’ terkait bagaimana membangun keluarga yang harmonis melalui pemahaman konsep tauhid.
Gus Baha’ dalam penggalan tausiyahnya mengatakan bahwa “Wong tuwo iku kudu hormat anak”, artinya orang tua itu harus hormat kepada anak. Beliau mengutip pendapat Abdul Wahab asy-Sya’rani dalam kitab Kitab Mizan Kubro, wa min adabil anbiya’ akrimul aulad, artinya adabnya Nabi memuliakan anak. Gus Baha’ juga menceritakan kisah-kisah para Nabi dan menjelaskan bagaimana hubungan mereka dengan keluarganya.
Menurutnya, orang tua adalah leluhur yang meyakini tauhid, sedangkan anak merupakan kader tauhid. Selama anak masih memegang kalimat tauhid, sebagai orang tua sebaiknya memperlakukannya dengan baik.
Gus Baha’ mengutip QS. Maryam ayat 12-13 dalam menjelaskan bagaimana hubungan antar keluarga. Beliau memaknai kata حَنَانًا dalam ayat 13 sebagai sifat haris, yang berarti nyaman. Maksud “nyaman” di sini bukan karena nafsu, tapi sudah diikat dengan kalimat tauhid. Tauhid inilah yang menjadi bekal keharmonisan dalam keluarga. (Haq, 2020)
Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, berpendapat bahwa al-hannaan yaitu kasih sayang, belas kasih dan kecintaan. Ibnu Katsir bekata, “Dari susunan kalimat ayat ini tampak jelas bahwa firman Allah SWT diathafkan dengan وَاٰتَيْنٰهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا, dan Kami jadikan ia memiliki kasih sayang dan kesucian dari dosa. Jadi al-hannan adalah rasa cinta dalam belas kasihan dan kecenderungan. (Al-Zuhaili, 2013: 346)
Ketika Nabi Ya’kub akan wafat, ia meneguhkan anak-anaknya untuk tetap menyembah Allah (tauhid). Ia menanyakan kepada anak-anaknya tentang apa yang disembah mereka setelah sepeninggalnya. Anak-anaknya pun menjawab akan menyembah Allah sebagaimana nenek moyangnya (QS. Al-Baqarah: 133). Para pengidola Allah ini menunjukkan bahwa leluhurnya menjunjung kalimat Tauhid, begitu juga perilaku anak turunnya mengikuti leluhurnya.
Keterikatan kasih keluarga melalui tauhid juga tergambar dalam kisah Nabi Yusuf. Ketika ia berada di penjara, ia mempromosikan hubungannya dengan orangtuanya saat sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh rekannya tentang ta’wil sebuah mimpi. Nabi Yusuf mengatakan bahwa dia hanya patuh pada agama nenek moyangnya, yaitu Tauhid (QS. Yusuf: 38).
Dari cerita ini menggambarkan bahwa kenangan Yusuf yang tersimpan yaitu bapaknya bertauhid. Seirama dengan hal itu, kenangannya Ismail tentang bapaknya juga bertauhid. Begitu pun denggan Ibrahim, ia melihat anaknya sebagai kader tauhid. Namun saat ini, orang melihat anaknya dengan pandangan dan tujuan yang beragam. Bagi sebagian orang tua yang mempunyai aset bisnis, mereka melahirkan dan mengasuh anaknya dengan tujuan meneruskan bisnisnya.
Gus Baha’ mendapat paham ini dari bapaknya. Gus Baha’ dihormati, tidak pernah dibentak atau dimarahi oleh ayahnya. Ketika bapaknya sudah lanjut usia, ia mengatakan kepada Gus Baha’, “Ojo gemen hubungan anak bapak iku liyane urusan tauhid”.
Artinya, hubungan anak dan bapak itu jangan selain urusan tauhid. Kalimat ini menjadi pegangan Gus Baha’ hingga sekarang. Ia menerapkan apa yang dipesankan oleh bapaknya, juga menyebarkannya kepada masyarakat.
Sebagaimana adatnya nabi, kalau mengajarkan agama dimulai dari keluarga, khairukum khairukum liahli wa ana khairukum liahli. Jadi yang terbaik dari kalian adalah yang cara mengelola keluarga secara baik. “Kalau jajankan anak jangan karena keduniawian (haddun nafsi), tapi sebagai hadiah bagi orang yang sudah melafalkan kalimat tauhid”, celetuk Gus Baha’ dalam tausiyahnya. (Haq, 2020)
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Gus Baha’ mengkampanyekan komunikasi antar anggota yang didasarkan pemahaman Tauhid. Menumbuhkan sifat nyaman yang diikat dengan kalimat tauhid, kemudian menjadikan anak sebagai kader tauhid, bukan kader bisnis. Penerapan konsep tauhid ini, dapat menguatkan hubungan baik antar anggota keluarga. Ketersalingan akan tercipta dan menghapuskan dominasi satu sama lain.
Referensi
Al-Zuhaili, Wahbah. 2013. Tafsir Al-Munir. Jakarta: Gema Insani.
Falah, Saiful. 2020. “Pendidikan Karakter Berbasis Keluarga Pada Kisah Nabi Ibrahim Dan Ismail.” Ta’dibuna: Jurnal Pendidikan Islam 9(1):133. doi: 10.32832/tadibuna.v9i1.2976.
Haq, Dakwatul. 2020. “Gus Baha Orang Tua Harus Hormat Kepada Anak, Kalau Tidak Bisa Kualat.” Retrieved (https://www.youtube.com/watch?v=Q9KMb_0Hfcw).
Pratiwi, Febriana Sulistya. 2023. “Sebanyak 21.241 Anak Indonesia Jadi Korban Kekerasan Pada 2022.” Data Indonesia. Retrieved January 2, 2024 (https://dataindonesia.id/varia/detail/sebanyak-21241-anak-indonesia-jadi-korban-kekerasan-pada-2022).
Wadud, Amina. 1999. Qur’an and Woman: Rereading The Sacred Text From a Woman’s Perspective. 2nd ed. Oxford, New York: Oxford University Press.