Sekilas Mengenai Gadamer
G. Gadamer merupakan seorang intelektual sekaligus filsuf modern yang pemikirannya sampai saat ini masih selalu menarik untuk dikaji. Gadamer lahir di Marburg, 11 Februari 1990 dan berasal dari keluarga yang memiliki strata pendidikan yang tinggi. Ayahnya merupakan seorang ahli Kimia dan fanatik terhadap ilmu-ilmu saintifik sehingga memandang rendah ilmu-ilmu humaniora. Maka berbeda dengan ayahnya, Gadamer justru menjadi antitesisnya dan menjadi pencinta dunia filsafat. Menariknya Gadamer memulai kecintaannya pada filsafat melalui perpustakaan pribadi ayahnya, sebab di sana ia menemukan karya Immanuel Kant, Critique of Pure Reason (Hardiman, 2015: 156-157).
Tercatat bahwa Gadamer berguru kepada beberapa filsuf ternama semisal Rudolf Bultmann, Nikolai Hartman dan Heidegger, nama yang terakhir disebutkan menjadi salah satu yang paling berpengaruh pada pemikiran Gadamer. Pemikiran Gadamer mengenai proyeksi atau entwurf yang selalu menyertai seseorang dalam aktivitas interpretasi, tidak bisa dilepaskan dari ide pra-struktur pemahaman yang menurut Heidegger berada pada dimensi ontologis manusia atau yang disebut dasein (Hardiman, 2015: 168).
Gadamer dikenal sebagai seorang intelektual yang produktif sepanjang karier akademiknya. Adapun pemikiran hermeneutikanya dikenal sebagai kritik terhadap bapak hermeneutika modern serta penerusnya yaitu Schleiermacher dan Diltey. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Budi Hardiman bahwa Gadamer ingin meninggalkan romantisme Schleiermacher dan historisme Diltey. Bagi Gadamer merupakan sebuah kemustahilan bagi seorang pembaca untuk menjemput makna orisinil yang dimaksud oleh penulis teks sebab kesadaran manusia selalu bergerak di dalam sejarah dan dibentuk oleh sejarah, maka pemahaman akan selalu terikat dan terkait dalam sebuah horizon tertentu (Hardiman, 2015: 167)).
Fusion of Horizons Sebagai Representasi Hermeneutika Filosofis
Salah satu sebab hermeneutika Gadamer disebut hermeneutika filosofis ialah sebab ia mengilhami bahwa proses memahami merupakan sesuatu yang sifatnya eksistensial dan melekat dalam kesadaran manusia. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Heidegger yang menyatakan bahwa proses memahami bukanlah sesuatu yang bersifat metodologis melainkan ontologis, berbeda halnya dengan Schleiermacher maupun Diltey yang menyatakan bahwa ada langkah metodis yang harus dilalui dalam proses memahami (Palmer, 2005: 190).
Sahiron dalam Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an memberikan penjelasan lebih detail mengenai maksud dari hermeneutika filosofis. Ia menjelaskan bahwa hermeneutika filosofis tidak berwacana seputar metode penafsiran, namun berbicara pada hal-hal yang menyangkut conditions of possibility yang menjadi faktor seseorang dapat memahami sebuah teks. Salah satunya ialah apa yang diistilahkan dengan fusion of horizons (peleburan cakrawala) (Hardiman, 2017: 163), yang diibaratkan sebagai jangkauan penglihatan/ sudut pandang bagi seseorang (range of vision that includes everything that can be seen from a particular vantage point). Maka, pemahaman seseorang sangat bergantung pada keluasan horizon yang dimilikinya (Sahiron, 2017: 50).
Adapun yang dimaksud dengan fusion of horizons di sini ialah peleburan antara dua horizon yang terjadi saat seseorang memahami teks yaitu horizon teks dan horizon pembaca. Maka bagi Gadamer, interpretasi bukan aktivitas merekonstruksi makna melainkan upaya memproduksi makna baru. Maka kemudian yang menjadi persoalan lanjutan ialah bagaimana proses peleburan kedua horizon tersebut atau secara sederhana bagaimana horizon teks dan penafsir dapat saling berpadu serta apa katalisatornya. Dalam menjawab hal tersebut, ada pendapat menarik dan mendasar yang disampaikan oleh Richard E. Palmer dan dikuatkan oleh Komaruddin Hidayat.
Palmer (2005: 239) menyebut bahwa medium yang dapat mempertemukan antara horizon teks dan pembaca ialah bahasa. Bagi palmer, hermeneutical experience merupakan hasil perjumpaan antara warisan budaya dalam bentuk transmisi teks dan horizon penafsir yang tertuang melalui bahasa. Sebab bahasa merupakan wadah yang di dalamnya terepresentasikan kesejarahan yang terjadi dan mengalir melaluinya (Palmer, 2005: 246). Kemudian Hidayat mengamini gagasan Palmer dan mengemukakan bahwa teks yang mewakili bahasa dapat menjadi media yang membawa pengalaman masa lalu untuk dihadirkan kini dan di sini (now and here) (Hidayat, 1996: 37). Maka luas cakupan horizon seseorang dalam membaca teks sangat ditentukan oleh keluasan pemahaman kebahasaan yang dimilikinya (Rahmatullah, 2019: 157).
Mengurai Keniscayaan Pluralitas Penafsiran Melalui Kacamata Gadamer
Uraian sebelumnya setidaknya menggambarkan bahwa horizon pembaca dan kemampuan pembaca dalam menangkap horizon teks menjadi dua hal yang krusial dalam memahami teks. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa setiap orang selalu membawa “warna” khasnya sendiri yang dibentuk oleh lingkungannya dan begitu pula kemampuan nalar serta penguasaan masing-masing orang terhadap bahasa tidaklah sama antara satu dengan lainnya. Maka melalui gagasan fusion of horizons Gadamer, ada gambaran teoretis yang bisa didapati yaitu keniscayaan terjadinya pluralitas penafsiran terhadap suatu teks.
Konsepsi teoretis ini akan semakin jelas apabila melihat ragam penafsiran terhadap salah satu ayat al-Qur’an. Semisal Q.S. Al-Rum (30)/41 yang menjadi salah satu basis ayat bagi wacana studi al-Qur’an dan ekologi (Kurdi, 2020: 2). Jika dinamika penafsiran terhadap ayat ini dilihat berdasarkan alur historis sebagaimana kategorisasi madzahib al-tafsir versi Abdul Mustaqim yaitu era klasik, pertengahan serta modern dan kontemporer, maka akan menampilkan ragam penafsiran (Mustaqim, 2014: 55).
Pertama, mufasir era klasik seperti Imam al-Thabari menafsirkan bahwa bentuk kerusakan di darat ialah fenomena pembunuhan dan di laut ialah fenomena perampasan kapal secara semena-mena oleh para raja (al-Thabari, 2000: 108). Kedua, mufasir era pertengahan seperti al-Razi yang menyebut bahwa bentuk kerusakan di darat maupun di laut ialah kesyirikan (al-Razi, 2000: 105). Ketiga, mufasir era kontemporer semisal Ibn ‘Asyur yang memaknai bahwa bentuk kerusakan di darat ialah hilangnya kebermanfaatan dan munculnya krisis-krisis seperti langkanya makanan pokok dan buah-buahan serta matinya hewan-hewan yang biasa diambil manfaatnya serta tersebarnya wabah. Lalu bentuk kerusakan di laut ialah berkurangnya kebermanfaatan laut bagi manusia seperti sedikitnya pasokan ikan, mutiara serta terjadinya bencana-bencana dalam perjalanan laut (Ibn ‘Asyur, 1984: 110).
Berdasarkan ketiga ragam penafsiran di atas dapat dilihat bahwa perbedaan zaman menandai perbedaan pra-pemahaman mufasir. Sebab perbedaan zaman mengisyaratkan perbedaan lingkungan yang kemudian berimplikasi pada perbedaan cara pandang masing-masing mufasir terhadap apa yang dimaksud kerusakan baik di darat maupun di laut tatkala berjumpa dengan teks. Maka uraian di atas juga memberikan legitimasi teoretis bahwa fusion of horizons Gadamer juga bisa diaplikasikan untuk memahami faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya perbedaan penafsiran di kalangan mufasir maupun alasan di balik lahirnya sebuah penafsiran.
Terakhir, meminjam istilah dari hasil analisa Ramatullah bahwa fusion of horizons juga dapat menjadi kritik atas tafsir (Rahmatullah, 2019: 160). Sebab kadar dominasi dialektika antar horizon dapat menghadirkan ekstremitas di antaranya terlalu mengedepankan makna literal teks maupun yang mengabaikan sisi literal teks serta terlalu mengutamakan kontekstualisasi dan bersikap seakan al-Qur’an sama dengan teks-teks lainnya (Mustaqim, 2019: 6). Maka melalui kacamata Gadamer terutama pada gagasan fusion of horizons, didapati penegasan bahwa pluralitas dalam penafsiran dalam pembacaan terhadap teks merupakan sebuah keniscayaan. Namun selain itu, gagasan tersebut juga dapat diaplikasikan sebagai basis kritis dalam mencerna dan menganalisis pluralitas penafsiran itu sendiri.
BIBLIOGRAFI
Al-Thabari, Muhammad Ibn Jarir. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Juz XX. Beirut: Mu’asasah Risalah. 2000.
Al-Razi, Fakhruddin. Mafatih al-Ghaib. Juz XXV. Beirut: Dar al-Ihya’ Turats al-‘Arabi. 2000.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius. 2015.
Hidayat, Komaruddin. Mehamahi Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina. 1996.
Ibn ‘Asyur, Al-Thahir. Al-Tahrir wa Al-Tanwir. Juz XI. Tunisia: al-Dar al-Tunisia li al-Nasyr. 1984.
Kurdi, Alif Jabal. “Tafsir Ekologi: Telaah atas Penafsiran Yusuf al-Qaradawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam”. Skripsi UIN Sunan Kalijaga. 2020.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press. 2014.
__________. Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Islam. Pidato Pengukuhan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga. 2019.
Palmer, Richard E.. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.
Rahmatullah. “Menakar Hermeneutika Fusion of Horizons H.G. Gadamer dalam Pengembangan Tafsir Maqasid al-Qur’an”. Jurnal Nun. Vol. 3. No. 2. 2019.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Nawasea Press. 2017.