Di tengah arus perubahan sosial, kajian mengenai gender dan feminisme selalu relevan terhadap ruang dan waktu. Konstruksi gender dalam lintas kesejarahannya dipengaruhi oleh ragam faktor seperti kultural, sosial, ekonomi, politik, dan tafsiran pada teks-teks keagamaan. Realitas sosial antara relasi laki-laki dan perempuan yang diskriminatif serta asimetris pada gilirannya memantik sederet kaum feminis dengan menyebutnya sebagai ketidakadilan gender (Husein, 2001: 6).
Persoalan ketidakadilan gender adalah persoalan besar bagi gerakan feminisme. Pemikiran yang relatif baru yang dilakukan oleh kalangan feminis, berdasarkan pada kepedulian yang begitu kuat dalam menciptakan formulasi metodologi dengan konsisten, menjunjung tinggi nilai-nilai universal dan prinsip ideal al-Qur’an, serta menghasilkan suatu penafsiran al-Qur’an yang rasional dan peka pada konteks historis dan kultural.
Amina Wadud: Tokoh Feminis Pertama Pada Awal Abad Ke-20
Amina Wadud merupakan sarjana Muslimah asal Amerika Serikat. Namanya muncul ke permukaan luas dikarenakan sangat vokal menyuarakan isu gender dan feminisme. Gerakan dan pemikiran feminisme yang digagas oleh Amina, dilatarbelakangi oleh kegelisahan intelektual perihal fenomena patriarki pada masyarakat Muslim dan penafsiran al-Qur’an yang bias gender sesuai dengan yang dijalankan para mufassir klasik-konservatif (Amina, 2008: 4).
Kegelisahan Amina pada akhirnya termanifestasikan dalam gagasan intelektual berupa karya-karya monumental seperti “Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam” dan “Qur’an and Women”.Sebagai aktivis gender yang juga produktif dengan karya yang fokus kepada kajian tafsir al-Qur’an, menjadikan Amina sebagai tokoh feminis-reformis sekaligus mufassir perempuan pada abad modern-kontemporer.
Hermeneutika Feminisme: Metode Tafsir Berbasis Feminis
Hermeneutika feminisme ialah metode penafsiran al-Qur’an berbasis feminis, yang pada prinsipnya menganut azas kesetaraan dan keadilan gender. Bahwa kemudian dapat dikatakan sebagai sebuah metode penafsiran al-Qur’an dengan memberikan pertimbangan pada unsur realitas yang kekinian serta memiliki usaha dalam pemenuhan metode ilmiah dari permasalahan yang ditafsirkan dengan tujuan melakukan perwujudan kesetaraan gender dari ayat yang dinilai bias gender (Mardiansyah, 2018: 3).
Dalam penerapan metodenya tersebut, Amina menerapkan beberapa langkah penting untuk melakukan tafsir ayat bias gender, adalah; Pertama, analisis asbâb al-nuzûl (konteks saat al-Qur’an diturunkan). Kedua, analisis linguistik (gramatikal teks). Ketiga, analisis welstanchaung (pandangan dunia al-Qur’an). Metode ini pada kesimpulannya memungkinkan adanya depatriarkisasi tafsir al-Qur’an dan dehumanisasi perempuan dalam tafsir al-Qur’an (Ali, 2006: 19).
Selanjutnya, paradigma tafsir al-Qur’an berbasis feminis ini bermula dari suatu asumsi, bahwasannya prinsip dasar al-Qur’an pada relasi laki-laki dan perempuan ialah kesetaraan, keadilan, musyawarah dan kepantasan. Pendekatan hermeneutik berbasis tafsir tematik pada gilirannya menjadi relevan untuk melakukan kajian ayat-ayat gender. Karena dari metodologi seperti itu, harapannya penafsiran al-Qur’an yang lebih intersubyektif, kritis, dan konstruktif.
Gender dan Ketidakadilan
Menurut Husein Muhammad (Husein, 2001: 3-5), terdapat lima bentuk ketidakadilan gender, di antaranya: Pertama, marginalisasi. Gender yang memarginalkan perempuan antara lain disebabkan oleh berbagai program kebijakan yang diambil oleh pemerintah, kebiasaan, dan tafsiran agama. Kedua, subordinasi. Gender juga mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan, yang menyebabkan perempuan diletakkan dalam keadaan yang tidak penting.
Ketiga, stereotipe. Gender dan stereotipe merupakan label yang dikaitkan kepada seseorang yang kerapkali merugikan. Sebagai contoh, perempuan adalah pribadi yang emosional sedangkan laki-laki adalah pribadi yang rasional. Keempat, kekerasan. Gender mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan. Berbagai kekerasan seperti pemerkosaan, penyiksaan, dan pelecehan seringkali dialami oleh perempuan sebagai akibat perbedaan gender ini.
Kelima, beban kerja. Beban kerja yang berat yang harus dipikul kaum perempuan juga dikarenakan oleh bias gender yang menganggap bahwa mereka memiliki sifat rajin, teliti, dan tidak pantas menjadi kepala rumah tangga. Sebagai konsekuensi logisnya, beban kerja domestik tersebut sepenuhnya menjadi tanggungjawab perempuan (istri). Jika ia juga bekerja di luar rumah, maka beban kerjanya akan semakin berat (Zulfa, 2009: 109).
Berbagai ketidakadilan gender tersebut pada gilirannya mempengaruhi berbagai kebijakan negara maupun organisasi tertentu. Sehingga banyak aturan-aturan yang dihasilkan menjadi adanya bias gender. Bahkan ketidakadilan gender ini kerapkali muncul dalam konteks domestik. Cukup sulit menghapus bentuk-bentuk ketidakadilan gender ini, sebab faktanya telah mengakar dalam masyarakat luas (Fakih, 1996: 23)
Tafsir Gender Atas QS. al-Nisâ’ [4]; 34
Salah satu isu gender adalah pembahasan tentang kepemimpinan dalam berumah tangga, superioritas laki-laki atas perempuan (QS. al-Nisâ’ [4]: 34). Yang menarik pada ayat tersebut adalah terdapat kata qawwâm, yang diartikan oleh al-Zamakhsyari sebagai keunggulan pada akal, ketegasan, semangat, dan ketangkasan. Oleh karenanya, kenabian dan kepemimpinan dalam ranah publik diserahkan untuk kaum laki-laki (Al-Zamakhsyari, 523).
Mufassir tersohor sekaligus sebagai pemikir Muslim Sunni, Fakhruddin al-Razi, juga turut melegitimasi tindakan superioritas laki-laki atas perempuan pada ayat tersebut. Menurutnya, laki-laki lebih unggul dalam hal ilmu pengetahuan dan kemampuan. Pengetahuan dan akal laki-laki lebih luas dan kemampuannya dalam bekerja keras untuk menafkahi keluarga lebih prima daripada perempuan (Al-Razi, 88).
Dari uraian kedua ahli tafsir diatas, sebetulnya tidak begitu menjadi permasalahan yang cukup serius sepanjang diposisikan dengan adil dan tidak bersifat diskriminatif. Namun, pada umumnya para ahli tafsir misalnya al-Zamakhsyari dan al-Razi berpendapat bahwa superioritas laki-laki dalam ayat tersebut bersifat mutlak dan merupakan ciptaan Tuhan yang tidak pernah dirubah dari zaman ke zaman.
Kendati demikian, contoh penafsiran tradisional di atas, tanpa disadari, merupakan bentuk legitimasi untuk budaya patriarki. Budaya ini begitu membedakan eksistensi laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki dinilai unggul daripada perempuan pada semua aspek, baik pada ruang domestik maupun publik. Oleh karenanya, tidak heran jika seorang Amina Wadud turut mengkritisi penafsiran-penafsiran tradisional yang cenderung bias gender.
Menuju Tafsir Al-Qur’an Berkeadilan Gender
Berbeda dengan pandangan para mufassir sebelumnya (baca: al-Zamakhsyari dan al-Razi), kata qawwâm (QS. al-Nisâ’ [4]: 34) dalam pandangan Amina Wadud lebih cenderung pada sebuah konsep fungsionalis. Adalah untuk menterjemahkan relasi fungsional dari laki-laki dan perempuan pada bingkai sosial-kemasyarakatan. Keduanya memiliki beban tanggungjawab yang berbeda-beda.
Untuk membentuk suatu masyarakat misalnya, tanggungjawab perempuan yaitu untuk membentuk generasi penerus bangsa. Tanggungjawab ini membutuhkan kekuatan fisik, komitmen, dan kecerdasan. Oleh sebab itu, laki-laki juga dituntut untuk mempunyai tanggungjawab yang sama seperti memberikan perlindungan, material, spiritual, intelektual, dan moral. Jika laki-laki tidak bisa memberikan pemenuhan tanggungjawabnya, maka ia tidak pantas dianggap pemimpin dalam rumah tangga (Amina, 1999: 72-74).
Penutup
Poin utama yang bisa dipetik berdasarkan pemikiran feminis asal Amerika ini ialah suatu upaya menciptakan sebuah tafsir al-Qur’an berkeadilan gender dari merebaknya penafsiran-penafsiran bias patriarki. Upaya Amina dalam gagasan hermeneutika feminisme adalah dengan melakukan rekonstruksi metodologi tafsir yang diharapkan dapat berimplikasi bagi rekonstruksi teologi dan sosial.
Ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat sangat tidak mencerminkan spirit al-Qur’an. Maka, kaitannya pada hal teks-teks keagamaan, yang seharusnya dijadikan dasar penafsiran yaitu prinsip ideal Islam seperti kesetaraan, keadilan, kebebasan, kerahmatan, dan kemaslahatan bagi semua, tanpa adanya batasan dari perbedaan jenis kelamin, baik laki-laki atau perempuan.
Wallahu A’lam.