Alquran berkali-kali menyinggung untuk berbakti kepada orang tua. Biasanya redaksi yang tertuang berbunyi seperti ini “wa bil walidaini ihsana”. Hal itu tertuang dalam QS Al-Isra: 23, QS al-Baqarah: 83, QS al-Nisa: 36, al-An’am: 151, dan QS al-Ahqaf: 15. Bahkan dalam beberapa riwayat telah menyandingkan keridhaan Allah terdapat pada keridhaan kedua orang tua dan murkaNya juga terletak pada murka mereka.
Terdapat suatu hal menarik dari pilihan diksi dari ayat tersebut. Mari kita dedah dari aspek penggunaan bahasanya, terkhusus penggunaan kata sambung “bi” dan pemilihan diksi “ihsan”. Mengapa bukan menggunakan kata sambung yang lain atau penggunaan diksi lain.
Andai kata kita hanya membacanya melalui Alquran terjemahan maka akan ditemukan arti seperti ini “dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua”. Namun jika hanya mengandalkan itu, apakah kita akan menangkap kedalaman makna yang terkandung di dalamnya?
Sekali lagi untuk menjamah samudera kedalaman makna Alquran tidak cukup, jika hanya bermodalkan terjemahan. Alangkah baiknya bila membuka kitab tafsir untuk belajar dari penjelasan dari para ulama yang memang memiliki kapabilitas dalam memahami Alquran, baik dari aspek kebahasaan (Bahasa Arab) dan kaidah ketafsiran (‘ulum al-tafsir).
Diakui atau tidak, terjemahan sebenarnya bagian kecil dari penafsiran, penerjemahan bukan hanya tentang pengalih-bahasaan dari Bahasa Arab ke dalam objek bahasa tertentu, tapi juga konteks dan pilihan redaksi yang dipilih, khususnya pada kata yang memiliki arti yang bercabang (multi-makna). Sehingga tidak jarang proses penerjemahan Alquran terdistraksi pemahaman dan penafsiran versinya sendiri, hal ini kemudian memicu munculnya model terjemahan yang berbeda meskipun masih dalam satu bahasa.
Kembali pada pokok persoalan, tulisan ini hendak mempreteli term “wa bil walidaini ihsana” dari aspek lughawiyyah-nya.
Pertama, mengapa redaksi tersebut menggunakan kata sambung “bi”? Padahal kalau secara bahasa (lughawiyyah) boleh juga menggunakan kata sambung “ila” (ke) maupun “li” (untuk), tapi mengapa tidak menggunakan keduanya, kok malah menggunakan “bi”?
Sebagai pengantar, akan saya nukilkan penjelasan dari Sayyid Thanthawy dalam tafsirnya al-Wasith sebagaimana dikutip Nadirsyah Hosen dalam bukunya Tafsir Alquran di Medsos sebagai berikut (2019, 316-317):
وَالإِحْسَانُ يُتَعَدَّى بِحَرْفِ الْبَاءِ وَإِلَى، فَقَالَ: أَحْسَنَ بِهِ، وَأَحْسَنَ إِلَيْهِ، وَبَيْنَهُمَا فَرْقٌ وَاضِحٌ، فَالْبَاءُ تَدُلُّ عَلَى الْإِلْصَاقِ، وَإِلَى تَدُلُّ عَلَى الْغَايَةِ، وَالْإِلْصَاقُ يُفِيْدُ اتِّصَالِ الْفِعْلِ بِمَدْخُوْلِ “البَاءِ” دُوْنَ انْفِصَالٍ وَلَامَسَافَةَ بَيْنَهُمَا، أَمَّا الْغَايَةُ فَتُفِيْدُ وُصُوْلَ الْفِعْلِ إِلَى مَدْخُوْلِ إِلَى وَلَوْ كَانَ مِنْهُ عَلَى بُعْدٍ أَوْ كَانَ بَيْنَهُمَا وَاسِطَةٌ.
“Menurut para pakar gramatika Arab, kata sambung ‘bi’ salah satunya mengandung makna ‘lil ilshaq’, yakni menunjukkan hubungan yang dekat dan erat antara dua hal atau lebih. Faedahnya ialah untuk menunjukkan kedekatan atau kelekatan. Sementara penggunaan kata sambung ‘ila’ mengandung makna jarak dari satu hal ke hal yang lainnya. Misalnya, kita menuju ke Makkah dari Madinah. Ini menunjukkan adaya jarak antara kedua kota tersebut.”
Setelah melihat perbedaan tersebut hanya dari sektor kata saja, redaksi tersebut yang menggunakan kata sambung ‘bi’ menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki jarak sedikitpun dalam hubungan berbakti pada kedua orang tua, bahkan di situ bermakna ‘lil ilshaq’ yang menghendaki hubungan yang bukan hanya dekat, tapi juga lekat. Kedekatan tersebut bukan sekadar diartikan hubungan secara fisik, juga secara emosional dan spiritual. Dan jauh berbeda dengan penggunaan kata sambung ‘ila’ yang justru menghadirkan jarak.
Kedua, mengapa tidak menggunakan kata sambung ‘li’, lantaran kata sambung tersebut memiliki maka ‘peruntukan’. Sehingga menurut penjelasan tafsir al-Misbah bahwa kebaikan atau manfaat dalam urusan berbakti pada orang tua sejatinya bukan untuk kepentingan orang tua, akan tetapi untuk kepentingan si anak itu sendiri.
Menurut keterangan yang lain, kata tersebut bermakna ‘kepemilikan’. Mengapa tidak menggunakan ‘li’ menurut Ibn Asyur sebagaimana dijelaskan dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir, bisa jadi mengindikasikan bahwa berbakti pada orang tua bukan hanya tentang memberi manfaat material, melainkan menekankan dan mengedepankan penghormatan pribadi kedua orang tua.
Ketiga, Mengapa untuk berbakti pada orang tua dalam ayat-ayat tersebut menggunakan diksi ‘ihsan’? Mengapa tidak menggunakan kata ‘adil’? Padahal Islam merupakan agama yang mengandaikan keadilan (Lloyd: 2007; Ahmad: 2009; Adonis: 2016). Kalau kata pepatah “No Justice, No Peace” tangga awal menuju kedamaian adalah keadilan.
Kembali bila menukil dari Tafsir al-Misbah yang merujuk pada pendapat al-Raghib al-Isfahani yang dikenal sebagai pakar kosa kata Alquran menyebut bahwa derivasi kata ‘ihsan’ digunakan untuk mencakup yang membahagiakan manusia atas nikmat yang diperoleh, baik yang berkaitan dengan diri, jasmani, maupun kondisinya. (Nadirsyah Hosen: 2019, 317).
Itulah mengapa kata “ihsan” dipilih, sebab kandungan maknanya lebih dalam dibandingkan kata “adil”. Kalau adil itu memperlakukan orang lain sesuai perlakuannya kepada kita, sementara ihsan memiliki makna bahwa kita memperlakukannya lebih baik lagi.
Dengan begitu, hendaknya seorang anak berlaku baik, lebih baik, dan baik lagi, hingga berlaku baik terus pada orang tua. Betapa pun seandainya orang tua kita berlaku buruk dan melakukan pengabaian. Sebab di sana menggunakan kata “ihsan” bukan “adil”. Andai kata di sana menggunakan kata adil, bilamana orang tua kita berlaku buruk pada kita, berarti dibalas dengan tindakan yang setimpal seadil-adilnya.
Ini hanya pesona keindahan Alquran dari sektor pilihan kata sambung dan pilihan kata saja, belum lagi menggunakan aspek asbab al-nuzul, konteks ayat, korelasinya dengan ayat-ayat lain, penjelasan Nabi saw melalui hadis-hadisnya, serta pandangan ulama yang turut serta memberikan khazanah kekayaan maknanya. Saya yakin hal semacam ini, tidak akan ditemukan ketika hanya mengandalkan Alquran terjemahan.